
Tebuireng.online- Membahas perjuangan Indonesia yang seringkali hilang secara tiba-tiba dalam sejarah, Lies Marcoes melalui definisi dari Prof. Azyumardi Azra ketika membicarakan Islam Nusantara yang menggambarkan Islam distingtif, ia membedakan antara Islam Indonesia dengan Islam di luar. Topik ini ia sampaikan di Konferensi Pemikiran Islam Indonesia 2024, Sabtu (24/08/2024) di Museum Islam Indonesia Hasyim Asy’ari Tebuireng (MINHA).
Menurutnya, terdapat 4 karakter yang dapat kita gunakan sebagai penanda perbedaan Islam Indonesia dengan Islam di luar. Pertama adalah arsitektur, kemudian bahasa, kebudayaan, dan hal-hal yang dihadirkan oleh perempuan. Yang mana hal-hal yang sering dilupakan dari perempuan adalah kuliner, yang memperlihatkan Islam Indonesia dalam menghubungkan Islam Jawa dan non Jawa di luar sana. Kemudian dari segi pakaian, bahwa alat sholat perempuan/mukena hanya ada di Indonesia.
Mengutip teori Ruth Indiah Rahayu, yang mengatakan bahwa catatan sejarah nasional Indonesia yang sering dilupakan ada 2 yaitu hadirnya perempuan, sebagai bagian dari gerakan menumbuhkan Indonesia, dan yang kedua adalah Islam.
“Sering dalam sejarah, atau bahkan dalam novel-novel misalnya, melupakan bagaimana Islam berinteraksi, Islam mewujudkan kebudayaan dan bisa digambarkan pada wajah Indonesia,” katanya.
Hal ini dikritik oleh para ahli sejarah, seandainya perempuan hadir dalam sejarah, akan memiliki 3 karakteristik, yang pertama seperti perempuan di Aceh yang diidealkan seperti perempuan yang bisa membangun dialog dengan ulu balang, sehingga ia bisa seperti malaikat dan begitu sempurnanya, kemudian yang kedua adalah citra perempuan yang melawan, seperti Cut Nyak Dien yang menggambarkan perempuan penuh keberanian, kegagahan melakukan perlawanan, dan yang ketiga adalah perempuan yang luar biasa cerdas, sehingga melahirkan orang yang sempurna seperti R.A. Kartini.
Menurutnya ini adalah sebuah contoh berbeda yang pernah dirasakannya, terutama dalam menggambarkan pesantren yang berkaitan dengan negara bangsa. Di dalam penggambaran MINHA ini, menurutnya sudah sangat lengkap menjelaskan nusantara tidak hanya tentang Jawa, tetapi juga berbagai kepulauan yang terhubung dalam pembentukan dasar-dasar Nation State Indonesia.
“Kalau kita membicarakn soal Islam Nusantara, selalu dibilang kok Jawa terus, dan di museum ini membuktikan kalau tidak begitu,” jelasnya.
Mendukung apa yang dikatakan oleh Irfan Afifi, bahasa Indonesia, bahasa Melayu yang kita kenali, tidak hanya tentang bahasa tetapi juga berkaitan dengan pemikiran dan filsafat Islam.
Menurutnya, perempuan zaman sekarang memiliki kesempatan besar untuk mengenyam pendidikan agar dapat menjadi seperti tokoh-tokoh perempuan Indonesia, sebab tidak ada batasan, dari data statistik juga menunjukan perempuan lebih banyak, dan juga kurikulum yang tidak dibedakan antara perempuan dan laki-laki, sehingga dapat mengejar nilai yang diharapkan. Selain itu, perempuan juga dapat berkembang dengan mengikuti berbagai aktivitas atau kegiatan seperti mengikuti organisasi perempuan di lingkungan pesantren, yang kemudian melahirkan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). KUPI menunjukan bahwa makna tentang ulama’ tidak hanya jenis kelaminnya, tetapi perspektifnya.
Baca Juga:Islam Indonesia, Tatanan Kebudayaan Para Wali
Pewarta: Ilvi Mariana