Sumber gambar: http://metodeakurat.blogspot.com

Oleh: KH. Fawaid Abdullah*

Edisi ini, masih tentang Zuhud. Saya ingin lebih detail lagi membahas materi ini, karena saya anggap Zuhud sebagai ajaran Islam penting sekali untuk terus kita kaji dan kita jadikan pondasi hidup (apalagi) dalam konteks kekinian. Zaman Milenial. Zaman teknologi informasi dan digital.

Zuhud Milenial? Lho kok ada istilah Zuhud Milenial. Iya, era digitalisasi informasi dan komunikasi serta teknologi industri yang saat ini terus berkembang pesat, butuh sekali tetap ada pijakan prinsip dasar hidup yang tetap mengedepankan nilai-nilai keislaman.

Tidak sekedar casing saja. Sebagaimana yang saat ini banyak dijumpai. Simbolisasi Agama. Agama hanya jadi alat dan live service saja. Sebagai gaya hidup, bukan menjadi tujuan hidup. Bukan masalah penting dan tidak penting saja, tapi seharusnya ruh agama itu harus menjadi kekuatan ruhaniyah bagi setiap muslim yang mengatasnamakan dirinya hamba Allah.

Contoh sederhananya itu begini. Ketika Kekuasaan itu menjadi tujuan utama dalam hidup, disitulah kecenderungan seseorang untuk berbuat semena-mena dan menghalalkan segala cara pasti akan dilakukan oleh seseorang. Disitulah butuh implementasi doktrin “Zuhud Milenial” konteks kekinian.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dikala dunia saat ini serba canggih, serba cepat, dan serba milenial, berada dalam genggaman tangan, disaat yang sama pula justru nilai-nilai Zuhud semakin penting untuk diimplementasikan dalam konteks nyata dalam kehidupan kita sehari-hari.

Imam Hamid Al Laqaf Rahimahullah suatu ketika didatangi seorang laki-laki dan memberikan wasiat begini: “Jadikan agama itu bagimu sebagai tempat bergantung.”

Agama itu atau dalam bahasa lainnya, lazim kita sebut dengan syari’at. Harusnya menjadi jalan hidup atau yang saya katakan diatas tadi sebagai sebuah jalan hidup, istilah lainnya dinamakan madzhab. Bukan malah sebagai gaya hidup.

Misalnya, tinggalkanlah bicara, kecuali hanya ketika butuh dan seperlunya saja. Ini juga nilai-nilai “Zuhud Milenial” menurut saya. Saat ini banyak sekali kita temukan, justru sebaliknya. Banyak bicara, banyak omong, hoaks terjadi dimana-mana, bahkan disetiap sektor kehidupan. Produksi hoaks bertebaran dimana-mana. Yang sejatinya justru menjadikan lemahnya syari’at agama. Itulah kenapa, bagi seorang zuhud sejati, bicara dalam kebaikan itu bagaikan perak, sedangkan diam dari keburukan itu justru bagaikan emas.  Tinggalkan perhiasan dunia itu kecuali seperlunya saja. Bi Qodril Hajah. Sesuai kebutuhannya saja. Ini juga prinsip Zuhud.

Dasar dan prinsip Zuhud itu adalah menjauhi segala hal yang dapat menyebabkan terhalangnya ibadah dan taqarrub kepada Allah. Sekecil dan sebesar apapun menjauhi dari segala sesuatu yang syubhat. Syubhat adalah Maa Bainal Halal wal Haram, sesuatu yang remang-remang antara halal dan haram. Orang yang Zuhud itu mesti bersikap wara’. Orang wara’ itu pasti menjauhi sesuatu yang syubhat. Karena perkara yang syubhat itu dapat menyebabkan terhalangnya ibadah, mengabdi, dan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah secara totalitas.

Dalam konteks milenial, prinsip dasar hidup Zuhud ini sangat penting sekali. Profesinya apa saja, boleh jadi pedagang, petani, penguasa, ustadz, pendakwah, guru, seniman, pelukis, budayawan, sopir, karyawan, bos, atau apapun saja, tetapi prinsip dasar Zuhud dalam konteks kekinian (milenial) haruslah tetap menjadi tujuan dan pegangan hidup. InsyaAllah hidupnya pasti akan tenang, berkah, manfaat, dan selalu berada dalam ridla Allah SWT. Wallahu A’lam..

Disarikan dari kandungan isi kitab Nashoihul ‘Ibad.

*Khadim Pesantren AL-AULA KOMBANGAN Bangkalan Madura.