sumber gambar: google.com

Oleh: Iryan Ramdhani*

“…aku tidak mau selain kamu yang pakai kopiah rotan ini. Kamu tahu kan pemberian dari siapa kopiah rotanku ini ini…?” pesan terakhir teman terbaik yang pernah aku kenal di sebuah pesantren.

Aku segera menerima kopiah rotan tersebut, walaupun sebenarnya aku masih tidak yakin ingin memilikinya. Aku amat mengenal rekan aku ini, dia sangat rajin mengaji dan tidak pernah absen shalat sunah. Apapun shalat sunah itu ia pasti kerjakan.

Namya adalah Dika. Sejak sebulan terakhir, kondisinya makin memburuk, dokter menyarankan aku selalu menjenguknya. Karena Dika yang meminta kepada dokter, agar aku saja yang menunggu di dalam ruangan Dika.

Dika selalu mempercayaiku untuk melakukan suatu hal, termasuk memintaku untuk menjaganya ketika Ia sedang sakit. Anehnya, sejauh apapun aku pergi, aku pasti akan datang menemuinya. Kalaupun itu diluar provinsi bahkan pulau sekalipun. Aah, barangkali inilah definisi sahabat rasa saudara sendiri.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

***

Dika adalah teman sejak aku masuk ke sebuah pesantren. Kami bertemu pertama kali di ruang penginapan yang dekat dengan lokasi pondok pesantren yang sebentar lagi akan menjadi rumah kedua kami. Awalnya aku sangat canggung sekali, karena ini pertama kalinya aku mempunyai kawan dari luar pulau. Sumbawa.

Aku pikir, ia adalah kawan pertama yang berasal dari daerah jauh yang pernah aku punya. Tidak ada salahnya jika aku memiliki banyak teman dari berbagai daerah. 

Ia ramah dan baik kepada siapa pun, hingga ia sangat hafal ke semua staf kebersihan yang ada di dalam asrama. Kalaupun ada adik kelas, ia pasti langsung akrab dengannya. Banyak sekali yang mengenal Dika, tak terkecuali pak satpam sekalipun tahu mana walaupun ia sedang memakai masker.

Dari intonasi suaranya, pak satpam akan langsung memanggilnya, “Oh Dika toh, gimana kabar di Sumbawa? Katanya kemarin lagi panen buah? Pak Rudi juga mau toh dibawain, kurang lebih begitu bentuk percakapan antara Pak Satpam kepadanya.

Pondok Pesantren Al-Ikhsan yang sedang aku tempati sekarang memiliki banyak program kegiatan. Ada empat hingga lima kali pengajian kitab kuning. Santri yang ingin mengikuti bisa memilih hanya satu saja kitab yang ia ingin pilih atau bisa hingga tiga kitab. Tiga kitab saja sudah terbilang bisa mengikuti selama lima hari, dan dua hari sisanya merupakan hari libur.

Hampir setiap pengajian kitab Dika pasti mengikuti, berbeda denganku yang hanya mengikuti satu kitab saja. Itupun kalau aku tidak malas dan tidak ketiduran di kamar asrama. Meski begitu, Dika tetap mengingatkanku untuk tidak malas-malasan selama belajar di pondok pesantren ini.

            “Kalau kamu malas, aku punya teman buat diajak mengobrol Han. Kan kamu biasanya suka punya cerita lucu,” kata Dika sambil melepas sepatunya.

            “Ah bisa aja kamu Dik. Eh, nanti malam ada penutupan pengajian kitab ya? Aku boleh ikutan? Kan aku tidak pernah ikutan pengajian kitabnya,” tanyaku. “Boleh aja, kan selama gak dilarang kenapa enggak?” jawabnya dengan santai.

Malam harinya, akupun mengikuti penutupan pengajian kitab tersebut. Dika sudah berada di baris paling depan. Sementara aku memilih di barisan paling belakang.

***

Beberapa hari kemudian, sejak setelah penutupan kitab kuning tersebut ada sesuatu yang selalu Dika bawa setiap saat. Saat ia makan di tempat makan, shalat, sekolah, hingga saat hari libur ia berada di luar area pondok pun masih ia pakai. Apakah itu jam tangan? Ponsel? Atau gelang? Tentu saja semua itu diluar dugaan. Ternyata Dika menerima sebuah pemberian kopiah rotan.

Aku pun baru menyadari seberapa sering ia mengenakan kopiah itu. Kopiah rotan itu tidak lain adalah pemberian dari seorang kiai atau biasa disebut oleh beberapa santri-santri di pondok ini sebagai Gus. Sosok yang sangat dihormati dan sangat ditakdzimi oleh semua santri-santri, Gus Yaqub.

Begitu menakjubkan, Dika diberi langsung oleh Gus Yaqub saat penutupan kegiatan pegajian kitab malam itu. Tak semua santri-santri di pondok pesantren ini dapat menerima pemberian dari seseorang yang sangat ditakdzimi oleh seisi pondok Al-Ikhlas. Sungguh ia sangat beruntung sekali mendapatkan pemberian kopiah rotan dari Gus Yaqub. Saat Dika mengenakan kopiah tersebut, ia tampak seperti Gus Yaqub yang sangat dermawan, baik, sangat ditakdzimi, dan berwibawa.

Terkadang yang membuat aku iri untuk meniru kebiasaan Dika adalah ketaatannya mengerjakan banyak sekali amalan-amalan shalat. Tidak lupa juga ia berpuasa setiap hari Senin dan Kamis, itu merupakan puasa sunah yang rutin ia kerjakan. Tak peduli jika jam malam sekalipun, ia tetap meluangkan waktu untuk membaca Al Qur’an di masjid hingga dini hari. Sekaligus mengerjakan shalat Tahajud, aku sudah mengenal segala kebiasaannya.

Aku pun sesekali mengingatkan untuk tidak lupa beristirahat, tidak perlu selalu mengerjakan semua amalan-amalan ibadah tersebut secara bersamaan. Gus Yaqub pernah mengatakan kepada semua santrinya setiap ia mengisi khutbah shalat Jum’at untuk cukup mengerjakan ibadah yang wajib saja. Tapi jika ia tidak mengikuti saranku, aku tidak akan memaksa.

***

Hingga beriringnya waktu setelah melewati waktu yang panjang. Tiga tahun kemudian, kami berdua pun akhirnya lulus dari Pondok Pesantren Al-Ikhlas. Sebelum sempat berpisah dan akan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi lagi yaitu perguruan tinggi.

Diawal-awal memasuki semester pertama, kami masih sering berkomunikasi melalui telpon seluler. Membicarakan hal-hal baru yang kami alami saat baru menginjak bangku kuliah. Memang tak mudah, terkadang aku selalu meminta saran pada Dika. Ia selalu merespon pesanku. Aku merasa Dika sudah menjadi bagian dari keluargaku saat ini. Ia juga menceritakan kesibukannya yang makin bertambah selama belajar di kampus.

Seminggu kemudian, aku menerima pesan dari Dika. Ia memintaku untuk datang ke rumah sakit di Bandung. Aku yang sedang mengikuti seminar di luar kota mau tidak mau segera berangkat menuju alamat dan nomer ruangan Rumah Sakit yang Dika berikan. Dalam perjalanan menggunakan mobil, aku merasakan firasat yang buruk.

Setibanya di Rumah Sakit, aku langsung duduk di samping Dika yang sedang dirawat di ruang ICU. Wajahnya terlihat sangat pucat sekalI dan badannya terbaring lemas tidak berdaya bagaikan orang yang sedang lumpuh. Beberapa jarum infus menancap di tangannya, membantu agar kondisi Dika tidak semakin buruk. Sungguh aku kaget melihat semua ini.

Suara jarum jam berputar seakan menjadi saksi bahwa aku sekali lagi datang menjenguk Dika yang beberapa belakangan ini sakit. Aku duduk di samping Dika, termenung mengingat banyak sekali hal-hal yang kami lakukan bersama saat masih belajar di Pondok Pesantren Al-Ikhlas. Seakan tidak percaya, aku tatap dengan serius melihat wajah kawanku ini. Tiba-tiba ia tersadar dan memanggilku.

            “Han… Rehan… kamu ada di sini kan?” ucap Dika dengan nada lirih.

            “Iya ini aku Dika. Sudah kamu istirahat saja, aku tahu kamu pasti sangat kelelahan.” Aku tak tega melihatnya selemah itu.

            “Kamu masih… sehat kan Han?…” Nada bicara Dika terputus-putus.

            “Iya aku masih sehat kok. Aku tahu kenapa kamu memanggilku datang kemari.”

            “Terima kasih sudah datang ya…. Aku ingin mengatakan sesuatu. Aku mohon…”

            “Baik, aku akan mendengarkan.”

            “Terima kasih sudah menjadi kawan yang baik dan selalu ada Rehan… aku minta satu hal, jangan lupa membaca Al-Qur’an sebelum tidur. Dan terakhir, aku menitipkan sebuah surat kepada dokter untukmu.”

Aku pun tak kuasa menahan rasa tangis di wajahku, dan mencoba tetap meresponnya dengan cara mengangguk. Aku masih memegang tangan kiri Dika yang kian melemas. Kemudian dokter dan beberapa perawat datang mengecek kondisi Dika dan memintaku untuk menunggu di luar ruangan.

Dengan perasaan khawatir aku terus berdoa agar Dika cepat sembuh. Malang sekali, setelah 3 jam menunggu, dokter menghampiriku dan memberi tahu bahwa Dika sudah tidak bisa bertahan.

Hatiku hancur berkeping-keping seakan tidak percaya apa yang aku dengar saat ini. Tubuhku terduduk lemas saat aku masuk ke dalam ruangan kawanku yang telah tiada ini. Poenyesalan demi penyesalan kian menghampiriku, seharusnya aku selalu mengingatkannya untuk tidak lupa berisitirahat. Disela isak tangisku, dokter menyerahkan sebuah kertas padaku.

Isi surat yang semakin membuatku makin tak bisa menahan tangis atas kehilangan sahabat yang selama ini sudah banyak berbagi denganku;

terima kasih kawanku yang baik telah membaca surat ini. Aku tidak pernah memberitahu bahwa akhir-akhir ini aku sakit. Dokter mendiaknosa bahwa aku terkena kanker otak karena kelelahan. Dan waktuku tidak akan lama lagi. Gus Yaqub, pengasuh kita pernah memberitahu bahwa orang baik itu sedikit jumlahnya dan susah untuk ditemukan. Bila kamu tidak menemukan orang baik lagi, jadilah orang yang baik kepada orang lain. Aku tak mau selain kamu yang pakai kopiah rotan ini. Kamu tahu kan pemberian dari siapa kopiah rotanku ini? Jangan lupa perbaiki shalat sunahmu ya…

Aku hanya bisa menangis tanpa bisa mengatakan apa-apa lagi, sebab bagaimana pun penulis surat ini sudah benar-benar kembali pada Tuhan. Dan aku hanya bisa mendoakan.

“Allah, terima kasih telah mengirimkan sahabat yang baik untukku. Aku mohon terima kembalinya dengan baik. Aku bersaksi, bahwa dia manusia yang baik.” Tangisku riuh.

Sejak saat itu, kehidupanku mulai berubah, salah satunya terus berusaha shalat lima waktu tepat waktu. “Jika suatu saat nanti aku belum menemukan sebuah pengingat hidup, cukup kematianlah yang memberikan peringatan dan arti kehidupan bagiku.” Lirihku pada diri sendiri.

*Alumni Pesantren Tebuireng Jombang.