ilustrasi dokter dan pasien

Sungguh meresahkan. Sejumlah kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan dokter terhadap pasien atau keluarga pasien mencuat di beberapa daerah beberapa waktu belakangan. Berita-berita ini menambah panjang daftar kejahatan seksual dengan modus analisa medis.

Di RSHS Bandung, pelakunya merupakan dokter residen anestesi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. Ia melancarkan aksi bejatnya dengan modus melakukan analisa anestesi dan kedua dilakukan uji alergi terhadap obat bius. Lalu di Garut, pelecehan dilakukan dokter kandungan berinisial MSF. Sebelumnya, di media sosial beredar video aksi MSF yang diduga melakukan pelecehan seksual terhadap seorang wanita saat pemeriksaan USG. Dalam video yang beredar, terlihat dokter tengah mengecek kondisi kandungan pasien. Namun saat dilakukan pengecekan, tangan dari dokter tersebut diduga memegang bagian dada korban.

Sementara di Malang, seorang pasien berinisial QAR diduga dilakukan dokter berinisial AY. Kejadian dugaan pelecehan itu terjadi 27 September, dia di ruang VIP sendirian dan dokternya datang pakai pakaian kasual karena mungkin sedang tidak bertugas. Saat di ruang tempat QAR dirawat, AY diduga meminta korban membuka baju pasiennya, dengan alasan dia akan melakukan pemeriksaan menggunakan stetoskop.

Fenomena pelecehan seksual semacam ini tidak hanya menunjukkan penyalahgunaan profesi mulia seorang tenaga medis, tetapi juga menyingkap akar masalah utamanya yang terlanjur diabaikan: yaitu acuh akan upaya syariat menjaga kehormatan diri seseorang, khususnya wanita. Yang sering menjadi objek pelecehan seksual itu sendiri.

Terlepas dari beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pelecehan seksual, baik adanya kesempatan dalam kesempitan, otoritas pelaku dan ketidakberdayaan korban, ketimpangan status sosial, dan lain sebagainya. Namun, cara menghindarinya mungkin sama, sebagaimana para ulama sudah mewanti-wanti sejak berabad-abad sebelumnya, dan penerapan pada konteks kekinian dirasa semakin relevan. Namun sayang seribu sayang, manusianya saja yang terkadang masih bandel. Atau bahkan skeptis dan menolak, merasa mampu menjaga dirinya sendiri tanpa mengindahkan aturan fiqih.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Di dalam kitab Fath al-Qorib dijelasakan; berobat kepada lawan jenis memiliki syarat dan ketentuan tersendiri. Sebagaimana ibarot di bawah ini.

(والخامس النظر للمداواة؛ فيجوز) نظر الطبيب من الأجنبية (إلى المواضع التي يحتاج إليها) في المُداواة حتى مداواة الفرج. ويكون ذلك بحضور محرم أو زوج أو سيد، وأن لا تكون هناك امرأة تُعالجها

Artinya: “Seorang dokter laki-laki diperbolehkan melihat pasien perempuan hanya pada area yang dibutuhkan saat pengobatan, bahkan di area kemaluan sekalipun. Dan pengobatan itu bisa dilakukan jika pasiennya ditemani mahrom, suami, atau tuannya (bagi budak perempuan). Seorang wanita diperbolehkan berobat dengan lawan jenis dengan syarat tidak ada dokter perempuan yang bisa mengobatinya”.

Di dalam kitab Hasyiyah al-Bajuri ditambahkan keterangan, bahwa orang yang bisa menemani pasien wanita untuk berobat kepada dokter laki-laki tidak hanya mahrom, suami, atau tuannya saja. Namun juga wanita yang terpercaya, jika kita mengikuti pendapat sebagian ulama’ (dan ini adalah pendapat yang unggul) yang memperbolehkan seorang laki-laki ber-kholwat dengan dua perempuan, selama keduanya terpercaya. Dengan pertimbangan bahwa dua orang wanita tersebut pastinya enggan untuk berbuat sesuatu yang tak senonoh di hadapan wanita lain.

وقوله بحضرة محرم او زوج او سيد او امرأة ثقة ان جوزنا خلوة رجل بامرأتين وهو الراجح حيث كانتا ثقتين لأن كلا منهما تستحيي أن تفعل الفاحشة بحضرة مثلها (حاشية الباجوري)

Sudut pandang tentang adanya ibarot ini berbeda-beda. Ada yang memandangnya sebagai bentuk perhatian syariat terhadap kehormatan wanita. Ada pula yang menganggap ini adalah bentuk pengekangan agama terhadap pemeluknya. Namun sekali lagi, bukankah aturan ini sangat relevan jika melihat maraknya kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh para tenaga medis?

Tulisan ini tidak dibuat untuk menyalahkan pihak pasien. Namun menjadi sebuah peringatan bahwa alangkah baiknya, seorang wanita tetap merasa bahwa dirinya tidak aman meskipun berada di ruang-ruang publik. Sehingga ia tetap mengindahkan perhatian syariat Islam terhadap dirinya. Karena faktanya, banyak sekali pelecehan seksual yang terjadi tidak hanya di tempat-tempat sepi, namun juga lokasi yang padat manusia. Nauzubillah min zalik.

Reaksi keras ini tidak hanya membidik korban saja, namun juga pada pelaku. Karena bagaimanapun yang paling patut disalahkan adalah pelaku. Menghukum pelaku tidaklah cukup, namun juga harus diselesaikan akar permasalahannya. yakni: pendidikan, baik pendidikan agama, maupun sosial. Karena pada akhirnya, tidak ada keadilan tanpa pengetahuan. Dan tidak ada perlindungan tanpa pencegahan.  Tidak lupa pula, keikutsertaan pemerintah dalam menciptakan ruang yang aman untuk rakyatnya. Agar ke depan, tidak ada lagi kasus-kasus semacam yang membuat resah dan trauma berkepanjangan.

Baca Juga: Khitan Perempuan dalam Fikih dan Medis


Penulis: Umu Salamah, Pengajar di Pesantren Raudhatul Ulum Pati.

Editor: Muh. Sutan