“Ahlul ilmi secara umum sepakat bahwa orang yang menghina Nabi harus dibunuh,” sebut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dari Ibnu Mundzir dalam kitabnya as-Sharim al-Maslul.
Biasanya, seorang penembak akan membidik dengan memicingkan sebelah mata. Tanggal 7 Januari 2015, dua orang (mungkin) Islam bersenjata mendatangi kantor majalah Charlie Hebdo, lalu menembak dan menewaskan dua belas anggota redaksi majalah tersebut termasuk dua orang polisi. Motif dari penembakan ini adalah karikatur Nabi Muhammad di cover Charlie Hebdo yang dinilai menghina dan menyakiti hati umat Islam.
Sontak, penembakan ini membuat kabut kesedihan menyelimuti seluruh dunia, khususnya umat Islam. Namun setelah kasus penembakan ini, redaksi Charlie Hebdo yang selamat dari tembakan malah menerbitkan kembali karikatur bergambar Nabi Muhammad. Dalam cover tersebut, nampak Nabi Muhammad menangis dengan membawa tulisan Je suis Charlie yang artinya “Saya adalah Charlie”. Dan di atasnya tertulis lagi Tout est Pardonne yang artinya “Semuanya dimaafkan”.
Tak tanggung-tanggung, majalah Perancis yang biasanya mencetak 60.000 eksemplar di tiap edisinya itu, dalam edisi ini menerbitkan 3 juta eksemplar. Sungguh peningkatan jumlah yang luar biasa. Dan lagi, ternyata Charlie Hebdo terjual laris manis di toko-toko.
Menurut BBC di Paris, karikatur semacam ini menerima ancaman keras dari berbagai militan Islam. Apalagi kelompok-kelompok ekstremis seperti al-Qaeda dan ISIS. Karikatur Nabi Muhammad hanya terdapat di cover. Dan di halaman berikutnya hanya terdapat gambar kaum muslim ekstremis. Dalam salah satu karikatur terlihat dua orang teroris yang berada di surga dan bertanya, “Di manakah 70 perawan yang dijanjikan?” Di belakang mereka terlihat staf Charlie Hebdo yang sedang menikmati orgy.
Bunuh atau Tidak?
Orang Islam dilarang menghina non-muslim sebagaimana tercantum dalam surat al-An’am ayat 108, “Dan janganlah kalian memaki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka akan memaki Allah melampaui batas tanpa pengetahuan.” Dalam ayat tersebut, umat muslim tidak diperbolehkan memulai penyerangan terhadap orang-orang non-muslim, karena akan berakibat fatal. Jihad pula, semata-mata hanya dipergunakan untuk pertahanan diri (self defence), bukan untuk menyebarkan Islam bahkan memojokkan non-muslim.
Akan tetapi bila umat non-muslim memulai hinaan terhadap Nabi, rata-rata referensi salaf menghalalkan darah mereka. Seperti yang tertera dalam (catatan kaki) kitab Jami’ Lathoif at-Tafsir, termasuk Imam Malik, al-Laits, Ahmad, dan Ishaq dari Madzhab Syafi’i menghalalkan penghina Nabi untuk dibunuh. Begitu pula Ishaq bin Rohawaih, Umar bin Abdul Aziz, dan Abu al-Mawahib. Sudah jelas alasannya, Nabi Muhammad adalah manusia suci yang menjadi junjungan agung setiap muslim, memiliki akhlak yang luhur, dan sopan santun. Tindakan yang dilakukan Charlie Hebdo merupakan tindakan yang tak bermoral.
Di bilik lain, umat muslim moderat ingin menunjukkan bahwa Islam adalah agama rahmatan lil alamin. Pernah suatu ketika Abu Bakar mendengar Abu Quhafah mencela Nabi. Seketika itu Abu Bakar memukul dengan keras wajahnya, dan ketika ia bertemu Nabi ia berkata, “Demi Allah, bila saja ada pedang di dekatku, niscaya aku akan menyabetnya dengan itu.” Tetapi, Allah menurunkan ayat ke-22 surat al-Mujadalah yang menepis tindakan Abu Bakar tersebut.
Islam yang rahmatan lil alamin selalu dicerminkan oleh Rasulullah dalam setiap tindakannya. Allah pernah menyuruh Nabi untuk memerangi orang kafir dan munafik, serta bersikap kasar terhadap mereka (surat at-Taubah ayat 73 dan at-Tahrim ayat 9). Akan tetapi, sifat dan sikap Nabi Muhammad tidak dapat dirubah. Dengan rahmat Allah, Beliau tetap lemah lembut dan santun (surat Ali Imran ayat 159). Tersebut dalam ayat tersebut jika Nabi bersikap kasar, tentu orang-orang akan menjauhinya.
Nabi Muhammad pula yang mengajari umat muslim untuk mudah memaafkan. Tindakan Charlie Hebdo yang menghina Nabi pun harus dimaafkan. Untungnya, umat muslim di Indonesia tidak terjebak dengan provokasi tersebut. Apalagi, Indonesia jauh dari Perancis. Tidak mungkin menggunakan pendapat pertama tentang eksekusi kematian penghina Nabi. Selain itu, mereka juga dilindungi oleh pemerintah Prancis dan kebebasan berekspresi (freedom of expression). Paling-paling, kita hanya bisa mengamalkan nasehat Gus Dur, “Maafkanlah musuhmu, tapi jangan lupakan kesalahannya.”
Bila dikritisi lebih jauh lagi, tindakan penembakan anggota redaksi Charlie Hebdo benar-benar tidak dapat dibenarkan. Selain pimpinan redaksi Stephane Carbonnier yang tewas, dari 12 orang tersebut ternyata ada yang beragama Islam, yaitu seorang polisi yang bernama Ahmed Merabet. Sudah jelas bahwa aksi penembakan ini tidak dipikir lebih dahulu dengan renungan yang panjang. Selain itu, mestinya dua orang penembak itu tidak membunuh staf-staf redaksi Charlie Hebdo. Karena penghina Nabi Muhammad bukan mereka, melainkan Charlie Hebdo itu sendiri. Karena itu, seharusnya yang mereka bunuh adalah Charlie Hebdo, bukan staf-stafnya. Satu hal yang mestinya dilakukan (bila masih memakai pendapat pertama) adalah pemberedelan majalah Charlie Hebdo.
Islam dan Jati Diri Charlie Hebdo
Seperti bunga yang sedang bersemi, Islam tumbuh subur di daratan Eropa. Dalam survei yang dilakukan pada 2006, jumlah umat muslim di Eropa mencapai 51 juta jiwa, terhitung dari keseluruhan jumlah penduduk Eropa yaitu 730 juta. Dengan kata lain, sebanyak 6,8 % penduduk Eropa beragama Islam. Jumlah ini akan terus meningkat. Karena perkembangan Islam di Eropa sangat pesat, ditambah dengan pendatang (imigran) dari luar Eropa. Dan diperkirakan, pada tahun 2050, 1 dari 5 orang penduduk Eropa beragama Islam. Trouw, sebuah harian Belanda mengatakan bahwa 3-4 orang Belanda masuk Islam tiap minggu.
Islam di Eropa kini sedang laris manis. Beberapa sumber menyebutkan, peristiwa penembakan anggota redaksi ini tidak ada sangkut pautnya dengan orang Islam. Duta Besar Mesir untuk Indonesia Bahaa Dessouki, sekertaris pers Gedung Putih Josh Earnest, Duta Besar Jerman untuk Indonesia Georg Witschel, bahkan Presiden Prancis Francois Hollande menyatakan bahwa kejadian ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan orang Islam. Serangan tersebut tak ada kaitannya dengan agama Islam. Orang-orang bersenjata itu tak ada kaitannya dengan keimanan muslim.
Charlie Hebdo sendiri, memang merupakan majalah satir mingguan yang memuat kartun, lelucon, laporan, dan polemik. Majalah yang dipandang anti-religi dan sayap kiri ini, bukan berisi kekerasan, melainkan sindiran terhadap sesuatu yang dianggap serius, menurut Richard Malka, salah seorang karyawan Charlie Hebdo. Ia juga bilang, “Di tiap edisi selama 22 tahun terakhir, tidak ada satu pun yang tanpa karikatur Paus, Yesus, rabi, imam, dan Muhammad.”
Karena itu, Charlie Hebdo kemungkinan tidak berniat mencela dan menghina Islam ataupun Nabi Muhammad. Ia hanya ingin mengekspresikan pemikiran lewat sebuah karikatur. Buktinya, setelah penembakan Charlie Hebdo masih saja terbit dengan cover Nabi Muhammad. Dan besar kemungkinan pula, penembak-penembak itu bukanlah orang Islam. Mereka hanya mengaku, dan bisa saja ini adalah alat untuk mengadu domba.
Sebagai umat muslim kita harus tetap waspada. Kita tertampar oleh sebuah perkataan Slavoj Zizek, kritikus budaya juga filsuf aliran Marx. “Kepercayaan ekstremis Islam sangatlah rapuh jika terancam hanya oleh sebuah karikatur.” Kita mesti harus menanggapi segala sesuatu dengan pikiran yang jernih dan pertimbangan yang panjang. Keimanan harus tetap diperkuat agar tidak mudah goyah oleh serangan dari pihak lain. Kemanusiaan tidak boleh dikalahkan oleh apapun, karena ia berada di atas segala-galanya. Dan tetaplah gunakan dua mata kita untuk melihat dunia. Jangan menggunakan satu mata lalu menembak apa yang tidak dilihat oleh mata yang tertutup.
*Hilmi Abdillah
Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari, juga layouter Majalah Tebuireng dan aktif di Sanggar Penulis Muda Tebuireng (Kepoedang)
activate javascript