Ilustrasi dan narasi toxic positivity (sumber: untar)

Di tengah gempuran budaya motivasi dan semangat “stay positive” yang semakin mengakar di masyarakat modern, kita dihadapkan pada fenomena yang sekilas tampak membangun namun justru merusak secara perlahan, yakni toxic positivity. Istilah ini merujuk pada dorongan berlebihan untuk berpikir positif dalam segala situasi, termasuk saat seseorang sedang mengalami kesedihan, kemarahan, atau frustasi. Meskipun berpikir positif adalah kebiasaan yang sehat dan dapat membantu seseorang menghadapi tantangan, namun ketika dilakukan secara ekstrem hingga menolak realitas emosi negatif, hal ini justru bisa berbahaya.

Secara umum, toxic positivity muncul dalam bentuk komentar-komentar klise seperti “semua pasti ada hikmahnya”, “jangan sedih terus, bisa kok dilawan”, atau “masih banyak yang lebih menderita daripada kamu”. Kalimat-kalimat ini memang terdengar baik, tapi jika dikatakan pada waktu yang tidak tepat atau tanpa empati, bisa menjadi bumerang. Alih-alih membantu, mereka malah menekan individu untuk menolak atau menutupi emosi mereka yang sebenarnya.

Baca Juga: Terjebak dalam Pertemanan Toxic

Salah satu contoh nyata datang dari kasus yang viral pada awal pandemi COVID-19. Seorang perawat muda di Jakarta sempat membagikan kisahnya di media sosial tentang betapa beratnya bekerja di garda depan dengan alat pelindung diri yang panas dan lembur berjam-jam tanpa henti. Bukannya mendapatkan empati, ia justru menerima banyak komentar yang menyalahkan perasaannya, “Harusnya kamu bersyukur masih punya pekerjaan”, atau “Jangan mengeluh, kamu pahlawan loh”. Perawat ini akhirnya memilih menutup akunnya karena tekanan psikologis yang ia terima. Komentar-komentar itu tampak positif, namun sebenarnya menafikan emosi dan pengalaman traumatisnya. Inilah bentuk toxic positivity yang kerap tidak disadari.

Fenomena ini diperkuat oleh budaya media sosial, di mana orang cenderung hanya membagikan sisi positif hidup mereka. Unggahan tentang pencapaian, kebahagiaan, dan motivasi diri membuat kita berpikir bahwa merasa sedih atau lelah adalah tanda kelemahan. Tanpa sadar, masyarakat menciptakan standar palsu bahwa bahagia adalah satu-satunya emosi yang diterima secara sosial. Orang-orang yang sedang berjuang pun akhirnya merasa bersalah karena tidak “cukup kuat” untuk tetap tersenyum.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Penting untuk memahami bahwa emosi negatif adalah bagian alami dari kehidupan manusia. Marah, sedih, kecewa, frustasi – semuanya memiliki fungsi psikologis yang penting. Mereka adalah sinyal bahwa ada sesuatu yang perlu diperhatikan atau diselesaikan. Memaksakan diri untuk bahagia sepanjang waktu justru dapat menyebabkan masalah kesehatan mental seperti kecemasan, depresi, bahkan kelelahan emosional.

Tentu saja, ini bukan berarti kita harus membenarkan pesimisme atau membiarkan emosi negatif menguasai kita sepenuhnya. Keseimbangan adalah kunci. Kita perlu menciptakan ruang untuk mengakui emosi negatif tanpa takut dihakimi, dan di saat yang sama membangun ketahanan diri agar tidak terjebak terlalu lama dalam kesedihan. Di sinilah pentingnya peran masyarakat untuk menciptakan ekosistem empati, bukan sekadar motivasi.

Menanggulangi toxic positivity memerlukan kesadaran kolektif. Pertama, kita perlu belajar untuk menjadi pendengar yang baik. Saat seseorang curhat, kita tidak harus langsung menawarkan solusi atau kalimat penyemangat. Kadang, cukup dengan mengatakan, “Saya mengerti kamu sedang merasa seperti itu. Itu wajar.” Hal sesederhana itu bisa sangat menenangkan. Kita harus membiarkan orang merasakan emosi mereka sepenuhnya sebelum menyarankan langkah perbaikan.

Kedua, penting untuk merefleksikan kalimat-kalimat yang kita ucapkan kepada orang lain maupun diri sendiri. Apakah kata-kata itu membantu, atau justru menekan emosi yang valid? Misalnya, alih-alih mengatakan “jangan sedih”, kita bisa mengatakan “aku tahu ini menyedihkan, dan tidak apa-apa merasa seperti itu.”

Baca Juga: Mengatasi Toxic Parenting

Ketiga, kita perlu menyadari bahwa menjadi positif itu bukan berarti menolak kenyataan. Positivitas yang sehat adalah menerima emosi secara utuh dan tetap percaya bahwa situasi bisa membaik – bukan dengan menyangkal masalah, tetapi dengan menghadapinya.

Kasus lain yang menggambarkan dampak toxic positivity terjadi di kalangan mahasiswa. Dalam sebuah studi yang dilakukan di Universitas Indonesia pada tahun 2022, ditemukan bahwa sebagian mahasiswa merasa enggan berkonsultasi dengan konselor kampus karena takut dianggap lemah atau “tidak bersyukur”. Sebab, narasi yang dominan di sekeliling mereka adalah: “Kamu pintar, kamu pasti bisa atasi itu sendiri”, atau “Jangan manja, semua orang juga capek.” Padahal, permintaan bantuan bukanlah tanda kelemahan, melainkan keberanian untuk merawat diri sendiri.

Untuk tidak menjadi tersangka toxic positivity, kita perlu mengedepankan empati dan mendahulukan mendengarkan daripada memberi nasihat. Sedangkan untuk tidak menjadi korban, kita perlu belajar mengenali batas emosi kita sendiri, serta membebaskan diri dari tekanan untuk selalu tampil “baik-baik saja”. Terapi, journaling, atau bahkan percakapan jujur dengan teman yang dipercaya bisa menjadi langkah awal yang sehat.

Pada akhirnya, sehat secara emosional bukan berarti selalu positif, tapi mampu mengenali, menerima, dan mengelola emosi yang muncul, baik maupun buruk. Karena justru dalam kejujuran menerima luka, kita menemukan jalan menuju pemulihan yang utuh. Positivitas itu penting, tapi jangan sampai mengabaikan realitas yang sedang dihadapi. Dunia tidak selalu cerah, dan itu tidak apa-apa. Yang penting, kita tidak berjalan sendiri.



Penulis: Albii
Editor: Rara Zarary