ilustrasi toleransi

Agama merupakan fondasi utama dalam kehidupan manusia, berperan sebagai penuntun menuju jalan yang benar bagi setiap pemeluknya dalam menentukan arah dan tujuan hidup. Bagaikan seperti bangunan yang kokoh bergantung pada kekuatan fondasi, kehidupan manusia juga bertumpu pada kekuatan fondasi agama. Apabila fondasi kuat, maka keimanan akan kuat jika fondasi lemah, keimanan juga akan goyah/lemah. Selain membimbing umat dalam aspek spiritual, agama juga memiliki peran penting dalam membangun kerukunan antar umat beragama.

Toleransi antar umat beragama sangat penting bagi kehidupan karena dapat menjaga kerukunan dan persatuan bangsa, tanpa toleransi maka kerukunan antar umat beragama sulit bahkan tidak akan pernah terjadi. Hal ini toleransi merupakan dasar dalam menjalin hubungan sosial dengan damai dan saling menghormati. Indonesia merupakan negara yang sangat beragam dari suku dan agama, ada 6 agama Indonesia yaitu Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu dan Konghucu, setiap agama pastinya mengajarkan tentang nilai – nilai kebaikan terhadap manusia terutama mengenai toleransi.

Toleransi berasal dari bahasa Inggris, toleration yang berarti toleransi, di Arab disebut Al-tasamuh artinya sikap tenggang rasa. Secara terminologi, toleransi adalah sikap memperbolehkan orang lain melakukan sesuatu sesuai dengan kepentingannya. Toleransi menjadi salah satu bentuk untuk saling menghormati antar sesama dan tidak memaksa kehendak orang lain[1]. Hakikat toleransi yaitu usaha bersama untuk mewujudkan kebaikan di lingkungan yang penuh keberagaman tujuannya untuk mencapai kerukunan. Al-Quran menjelaskan keberagaman sebagai bagian dari sunnatullah dan di dalam al-Quran terdapat surat Al-Hujurat ayat 13 dan Al- Baqarah ayat 256 yang artinya:

“Wahai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, lalu Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.” (Q.S. Al-Hujurat: 13)

“Tidak ada paksaan untuk memeluk agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka seungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Q.S. al-Baqarah 256)

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Toleransi dalam beragama merupakan bentuk toleransi yang berkaitan dengan kepercayaan individu terhadap ajaran agama, khususnya yang menyangkut keyakinan dan hubungan dengan Tuhan. Setiap orang berhak untuk memilih dan menjalankan agama yang diyakininya, serta harus dihormati dalam menjalankan ajaran yang menjadi bagian dari keyakinannya. Sikap toleran antar pemeluk agama menjadi landasan penting dalam membangun kerukunan hidup. Hidup bersama dengan saling menghormati dan menghargai perbedaan merupakan cerminan nyata dari sikap toleransi.

Untuk mewujudkan hal ini, diperlukan adanya sistem sosial yang mendukung masyarakat dalam menghadapi keberagaman secara bijak. Toleransi hanya bisa tumbuh dalam lingkungan sosial yang harmonis, yang terbangun melalui interaksi yang positif dan berkesinambungan. Setiap individu membawa nilai-nilai yang dipercaya dan dijalankan sebagai pedoman hidup demi menjaga keharmonisan dalam kehidupan bersama.

Walaupun kesadaran toleransi antar umat beragama semakin meningkat, dalam kenyataannya masih banyak tantangan yang menghambat terciptanya kehidupan yang rukun dan damai. Salah satu hambatan utama adalah munculnya sikap fanatisme dan radikalisme yaitu pandangan yang meyakini bahwa agamanya sendiri paling benar dan menyalahkan ajaran agama lain bahkan hingga menimbulkan tindakan kekerasan. Selain itu, penyebaran ajaran agama kepada pemeluk agama lain tanpa memperhatikan etika antar keyakinan hal ini menyebabkan terjadinya konflik. Sikap sinkretisme yakni pencampuran ajaran keyakinan dan ibadah dari berbagai agama yang menimbulkan kontroversi karena dianggap menyalahi batas-batas keimanan masing-masing agama.[2]

Selain toleransi, pluralisme juga penting untuk dipahami dalam kehidupan beragama. Pluralisme berasal dari kata “plural” dalam bahasa Inggris yang berarti keberagaman. Pluralisme adalah sikap yang mengakui, menghargai, dan menjaga keberagaman, serta berusaha mengembangkan sikap hidup yang terbuka terhadap perbedaan. Dalam agama, pluralisme berarti memahami dan menerima bahwa ada banyak pandangan, cara beribadah, dan keyakinan tentang Tuhan. Tujuannya saling menghormati dan hidup berdampingan secara damai. Pluralisme agama membangun hubungan yang baik antar umat beragama untuk mencapai kerukunan. Dengan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan yang ada dalam setiap agama, dengan pluralisme agama merupakan landasan penting dalam membangun masyarakat yang saling menghormati dan bersatu dalam keberagaman.

Toleransi dan pluralisme bukan sekadar konsep, tetapi menjadikan nilai penting yang harus dijalani dalam kehidupan sehari-hari, terutama di negara seperti Indonesia yang penuh dengan keberagaman. Agama sejatinya hadir untuk membawa kedamaian, bukan perpecahan. Hal ini penting bagi setiap individu untuk saling menghargai perbedaan, tidak memaksakan keyakinan, dan hidup berdampingan dalam semangat saling memahami.

Toleransi menjadikan jembatan untuk menjaga kerukunan antar umat, sedangkan pluralisme mengajarkan kita bahwa perbedaan bukan halangan, melainkan kekuatan dan mampu menerima keberagaman dengan hal tersebut maka perdamaian dan persatuan akan terjadi. Sebagai masyarakat yang hidup dalam keberagaman, mari kita tumbuhkan sikap saling menghormati, memperkuat persaudaraan, dan membangun bangsa ini dengan semangat persatuan. Karena sejatinya, perbedaan bukan alasan untuk terpecah tetapi kesempatan untuk saling mengenal dan memperkaya kehidupan bersama.

Baca Juga: Peran Pesantren dalam Membangun Toleransi di Tengah Perbedaan


[1] Shofiah Fitriani, “Keberagaman Dan Toleransi Antar Umat Beragama,” Analisis: Jurnal Studi Keislaman 20, no. 2 (2020): 179–92, https://doi.org/10.24042/ajsk.v20i2.5489.

[2] Suryan Suryan, “Toleransi Antarumat Beragama: Perspektif Islam,” Jurnal Ushuluddin 23, no. 2 (2017): 185, https://doi.org/10.24014/jush.v23i2.1201.


Penulis: Dimas Bagus Panuntun