
Allah Swt menjelaskan dalam Al-Quran, generasi setelah kenabian akan banyak para penyeleweng yang akan Ia masukkan ke dalam jurang jahanam. Hal itu tertuang dalam surah Maryam ayat 59:
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ ۖ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
Artinya: “Maka datanglah sesudah mereka (para nabi), pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.”
Memang sudah sunatullah, manusia selalu berdosa. Bahkan dalam suatu hadis meriwayatkan jika terdapat suatu kaum yang tidak melakukan dosa sama sekali, Allah akan membinasakannya dan menggati dengan kaum yang berdosa. Sehingga mereka akan meminta ampunan dan Allah mengampuninya. Berikut hadisnya
عن أبي هريرة رضي الله عنه مرفوعاً: والذي نفسي بيده، لو لم تذنبوا، لذهب الله بكم، وجاء بقوم يُذْنِبُونَ، فيستغفرون اللهَ تعالى، فيغفر لهم
“Dari Abu Hurairah ra., secara marfu’, ‘Demi Zat yang jiwaku berada di tangannya, kalau seandainya kalian tidak berbuat dosa, sungguh Allah akan membinasakan kalian, dan Allah akan mendatangkan suatu kaum yang berbuat dosa, lalu mereka beristigfar kepada Allah Ta’ala, lalu Allah mengampuni mereka.” (H.R. Muslim)
Pemahaman hadis tersebut bukan berarti Allah tidak suka pada hamba yang taat. Hadis di atas bisa kita pahami Allah itu cinta pada hambaNya yang setelah berbuat salah meminta ampun kepada-Nya. Hal itu juga menunjukkan begitu agung pengampunan-Nya untuk makhluk-Nya yang pasti akan Ia ampuni segala kesalahannya, asalkan mau bertobat. Sebagaiman isi kadungan ayat selanjutnya:
إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَٰئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ شَيْئًا
Artinya: “Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun.” (QS. Maryam ayat 60)
Menjadi Pendosa yang Allah Cinta
Dari keterangan di atas kita tahu manusia tidak akan lepas dari dosa. Agar Allah tetap mencintai kita meski pernah berbuat dosa, ialah dengan tobat. Seorang ulama mengatakan manusia terbaik bukan yang tidak pernah salah melainkan yang salah kemudian langsung bertobat. Lantas bagaimana supaya tobat kita diterima?
Dalam syarah kitab Kiafayatu Al-‘Awam, tobat secara bahasa kembali. Sedangkan secara istilah merupakan ungkapan bagi seseorang yang meninggalkan perbuatan dosanya sekaligus adanya penyesalan serta tekad untuk tidak mengulangi lagi. Dengan demikian syarat bertobat ada tiga yaitu meninggalkan maksiat, menyesal, dan bertekad tidak mengulangi lagi. Jika salah satu syarat ini tidak ada, maka belum bisa dianggap seseorang itu bertobat.
Kita juga tidak usah ragu ketika berulang kali terjerumus maksiat. Kapan pun kembali pada-Nya, Ia akan selalu menerima kita. Pengampunan-Nya lebih besar dari pada dosa kita. Ia tidak akan marah meski kamu telah melanggar perintah. Tidak seperti manusi biasanya yang akan kesal mungkin juga dedam tatkala kita berbuat jelek padanya.
Seandainya kamu akan berpergian dengan kuda. Semua barang dan perbekalanmu termuat di punggungnya. Suatu saat kamu ingin istirahat untuk tidur sejenak di bawah pohon. Ketika bangun kamu terkejut kuda yang menopang semua barang bawaanmu hilang entah ke mana. Kamu panik dan mencoba mencarinya. Segala arah telah kamu telusuri tapi tidak membuahkan hasil. Kamu kembali ke bawah pohon itu hingga tertidur di sana. Keajaiban datang, ketika kamu membuka mata kudamu sudah kembali ketempat semula.
Pertanyaannya apakah kamu akan marah ke kudamu hingga menyiksa atau membunuhnya? Atau malah kamu sangat bahagia dan akan lebih menjaga kudamu? Begitu juga Allah pada hamba-Nya yang tersesat. Ia akan sangat menerima kedatangan seorang hamba yang ingin mendekat pada-Nya.
Obrolan Kiai dan Sopirnya
Mungkin di antara kita berpikiran buat apa dikit-dikit tobat kalau masih sering maksiat. Mending menunggu sampai memang tidak akan bermaksiat lagi. Argument seperti ini adalah kesalahan besar. Mau sampai kapan kita akan benar-benar suci dari dosa. Sebagaimana pernyataan tadi, manusia tak akan lepas dari dosa, maka segera bertobat selagi sempat. Berdosa langsung tobat, berdosa lagi, tobat lagi.
Terdapat kisah seorang sopir yang bertanya pada kiainya. Dalam mobil ia bertanya bagaimana jika kita berbuat dosa? Kiai itu menjawab, “Ya tobat.” Ia melontarkan pertanyan lagi “Kalau berdosa lagi?”. “Tobat lagi.” timpal kiainya. Ia menegaskan kembali “Kalau berdosa lagi?”. “Ya tobat lagi.” Kebingungan merasuki pikirannya, “Buat apa sering tobat kalau masih sering berdosa?” belum sempat kiainya menjawab sudah datang di tempat acara.
Setelah acara kiainya melihatnya mencuci mobil. Ia bertanya padanya, “Kenapa kok dicuci?” “Supaya bersih kiai,” jawabnya. Kiainya lanjut bertanya, “Nanti ‘kan kotor lagi, buat apa kamu cuci?” Ia menjelaskan, agar mobil tetap bersih kapan pun saat ingin memakainya. Kemudian kiainya menjawab pertanyaan yang belum sempat ia jawab tadi “Seperti itu juga manusia, kalau berdosa langsung tobat, berdosa lagi tobat lagi, supaya kapan pun ajal datang ia sudah dalam keadaan bersih.”
Baca Juga: Tiga Tingkatan Taubat
Penulis: Ahmad Basunjaya Ikhsan Kamal Fathoni