
Dian duduk di pinggir jalan dengan tubuh yang kotor dan rambut kusut. Matanya yang kosong memandang ke arah lampu-lampu kota yang terus bergerak tanpa henti. Jalanan ini, dengan hiruk-pikuknya, terasa lebih menenangkan daripada rumah yang dulu ia tinggali. Rumah yang dulu penuh dengan teriakan, kemarahan, dan sepi yang tak pernah hilang. Rumah yang kini tinggal kenangan.
Dia anak broken home. Dari kecil, rumahnya hanya tempat bertengkar. Ibunya menikah lagi, begitu juga ayahnya. Semua rasa cinta yang dulu ada, menguap begitu saja seiring waktu. Dian, yang dulu ceria, kini berubah menjadi anak nakal yang sering terjebak dalam pergaulan buruk. Sekolah? Itu sudah bukan hal yang penting baginya. Dipecat dari sekolah demi sekolah. Dia bukan siapa-siapa. Tak ada yang peduli, tak ada yang memperhatikan.
Hingga suatu hari, di tengah hujan deras, Dian terjatuh di tengah jalan. Seorang pria dengan pakaian sederhana datang dan membantunya. “Kamu tidak apa-apa?” tanya pria itu sambil memapah Dian yang pusing.
“Tidak apa-apa,” jawab Dian pelan, meskipun dia tahu badannya terasa sakit. “Mengapa Anda mau menolong saya?”
Pria itu tersenyum lembut. “Tidak ada apa-apa, hanya ingin membantu. Nama saya Ustadz Amir. Kamu siapa?”
Dian hanya diam. Pertanyaan itu terasa asing baginya. Tapi tanpa disadari, Ustadz Amir seperti melihat sesuatu yang lebih dalam di mata Dian. Dia bercerita tentang kehidupannya, tentang ibu yang sibuk dengan hidup barunya, tentang ayah yang tak pernah peduli. Ustadz Amir hanya mendengarkan dengan sabar.
Hari demi hari, Ustadz Amir menemani Dian. Tak hanya memberi nasehat, tetapi juga perhatian. Dian merasa ada yang berbeda. Ia merasa dihargai, sesuatu yang belum pernah ia rasakan dari orang tuanya. Perlahan, hatinya mulai terbuka. Perubahan kecil terjadi. Dian yang dulu selalu mencaci, kini lebih sering berbicara dengan lembut. Dia mulai sholat, mulai mendekat pada Allah, dan mulai menyadari bahwa hidupnya bisa lebih baik.
Namun, konflik kembali datang. Ayahnya yang sudah menikah lagi memaksanya untuk tinggal bersamanya. Walaupun ia tak ingin, ayahnya tetap memaksanya pulang.
“Dian, kamu harus ikut ayah. Kamu tidak bisa terus-terusan hidup sama orang yang bukan keluargamu!” kata ayahnya, dengan suara tinggi.
“Saya tidak mau! Saya tidak mau tinggal sama Anda!” Dian membentak, matanya penuh amarah.
Ustadz Amir pun berusaha menghalangi, namun Dian tetap dipaksa pulang. Satu minggu di rumah ayahnya, Dian merasa hidupnya malah semakin buruk. Ayahnya yang baru menikah itu memperlakukannya seperti babu. Suruh kerja keras tanpa diberi makan layak. Setiap hari, Dian diperlakukan kasar. Ia merasa dirinya lebih buruk daripada seorang pembantu.
Hingga suatu hari, tubuhnya mulai melemah. Sakit yang dideritanya semakin parah. Sebelum ia jatuh tak berdaya, ibunya datang mengunjunginya. Ibunya menangis saat melihat kondisi anaknya yang semakin lemah.
“Apa yang terjadi, Nak? Kenapa kamu bisa seperti ini?” tanya ibu dengan suara bergetar, mengusap wajah anaknya yang pucat.
“Ayah… ayah… dia nyiksa saya, Bu. Saya tidak tahan, Bu. Saya tidak tahu harus gimana lagi,” ujar Dian, air matanya mengalir deras.
“Dian, kita semua salah, Nak. Kita tidak bisa biarkan ini terus terjadi. Kamu harus sembuh, Nak,” kata ibunya, menangis.
Dian menatap ibu dan Ustadz Amir yang sudah merawatnya. Dia tahu sudah waktunya untuk meminta bantuan. “Ustadz, saya minta tolong, tolong ruqyah ayah saya… supaya dia mendapatkan hidayah. Dia harus berubah, Bu. Saya tidak mau dia terus nyiksa saya.”
Ustadz Amir hanya mengangguk pelan. “InsyaAllah, Allah akan memberi jalan, Nak.”
Namun, tak lama setelah itu, Dian jatuh koma. Badannya lemah dan suhu tubuhnya semakin tinggi. Ia merasakan sakit luar biasa, namun ada kedamaian dalam hatinya. Ia sudah mengikhlaskan semuanya.
Dan tak lama kemudian, Ustadz Amir menerima kabar buruk. Ayah Dian ditemukan tewas di rumahnya, terbunuh oleh istri barunya yang marah karena harta warisan. Dunia serasa berhenti sejenak bagi Dian, meskipun jiwanya sudah pergi.
Sebelum nafasnya terakhir, Dian sempat tersenyum. “Akhirnya… saya bisa bebas, dan ayah juga… Semoga Allah beri ampunan.”
Ustadz Amir menatap tubuh Dian yang kini terbaring tenang. Amanah yang diberikan padanya untuk merawat Dian telah selesai. Hidayah datang pada waktunya, namun terlalu banyak luka yang harus sembuh. Semua yang terjadi adalah takdir yang sudah digariskan. Satu hal yang pasti, hidayah selalu datang pada orang yang mau menerima, dan Dian telah menemukannya, meskipun di ujung jalan yang penuh kesakitan.
Penulis: Wan Nurlaila Putri
Editor: Rara Zarary