Para santriwati berdiskusi.

Aku adalah seorang anak yang jauh dari orang tuaku. Kini, aku sedang berada di pondok pesantren yang terletak di Semarang, sementara orang tuaku tinggal di Medan. Saat mereka mengantarku, kedua orang tuaku tampak memelukku dengan erat, sambil tersenyum dan menatapku dengan penuh kasih sayang.

“Yang betah yaa, sayang, di sana,” ucap papah, sambil meneteskan air mata.

“Iya, mah… pah,” jawabku, juga dengan air mata yang berlinang, memeluk mereka erat sebelum akhirnya kami berpisah untuk beberapa waktu.

Sejujurnya, perasaan kami sangat berat untuk berpisah. Namun, ini adalah jalan yang aku pilih untuk melanjutkan pendidikan di pondok, meski harus jauh dari orang tua. Saat aku menoleh ke sekitar, ternyata aku bukan satu-satunya yang bersedih. Banyak santri baru lain yang juga sedang menangis, berpelukan dengan orang tuanya.

Setelah itu, aku melangkah masuk ke dalam pondok dan bersiap-siap untuk bertemu dengan teman-teman baru. Di sudut kanan kamar, aku melihat sekumpulan orang yang sedang berkumpul.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Heiii, kamu!” seru salah satu dari mereka, memanggilku.

“Kenapa, ya?” jawabku, sambil menghampiri mereka dengan ekspresi bingung.

“Boleh kenalan nggak?” tanya salah seorang dari mereka, sambil mengulurkan tangan ke arahku.

“Boleh, lah… Kenapa nggak?” jawabku, tersenyum sambil menjabat tangannya.

“Aku Acha. Nama kalian siapa?” tanyaku, sambil memandang mereka satu per satu.

Setelah aku memperkenalkan diri, mereka semua terdiam sejenak dan saling berbisik-bisik. “Apa ada yang salah, ya, sama aku?” pikirku dalam hati, merasa bingung dengan reaksinya.

“Perasaan penampilanku biasa aja, deh,” gumamku dalam hati sambil memperhatikan diriku sendiri.

“Hai, Acha!” jawab mereka serempak, membuatku terkejut.

“Kenalin, nama aku Alika. Sebelah kanan kamu ada Tata, sama Fafa. Terus, sebelah kiri kamu ada Siska, dan yang ujung itu namanya Keysha,” ucap Alika sambil memperkenalkan teman-temannya.

“Salam kenal ya, semuanya.”

“Iya, Acha, salam kenal juga,” jawab Keysha, mewakili teman-temannya.

“Eh, duduk, Cha. Duduk,” ucap Fafa, menyuruhku duduk di samping Keysha.

“Iya, iya,” jawabku sambil duduk.

Acha merasa sangat bahagia karena akhirnya ada yang mau mengajaknya berkenalan. Padahal, sebelumnya dia sempat berpikir tidak ada yang akan mau berteman dengannya. “Ternyata benar kata papah, kalau aku bakal cepat dapat teman baru di sini,” pikirku sendiri, sambil mengingat ucapan papah.

“Eh, kamu orang mana, deh, Cha?” tanya Fafa, dengan logat Sundanya yang kental.

“Aku orang Medan,” jawabku.

“Emang kalian orang mana aja?” lanjutku, penasaran.

“Aku orang Malang, Alika Jogja, Fafa Bandung, kalau Siska dan Keysha mereka sama-sama orang Lampung,” jawab Fafa.

“Ooohhh,” jawabku, sambil mengangguk-anggukkan kepala.

Setelah saling berkenalan, kami pun mulai bercerita banyak, berbagi pengalaman, dan tertawa-tawa. Ternyata, banyak kisah mengesankan dari mereka. Fafa adalah mantan ketua OSIS, Alika seorang atlet karate yang meraih medali perak, dan masih banyak lagi hal-hal yang mengagumkan dari mereka.

“Nduk, ayo segera bersiap-siap untuk persiapan shalat Ashar,” panggil salah satu ustadzah.

“Nggeh,” jawab kami serempak.

“Ayo semuanya, kita persiapan shalat,” ajakku kepada mereka.

“Iya, ayo,” jawab mereka.

Kami semua pun segera membersihkan diri dan bersiap untuk shalat Ashar bersama di masjid pondok.

“Setelah ini kita jadwalnya ngapain, ya?” tanya Alika, sambil membereskan mukena.

“Gak tahu, paling juga kita masih diberi waktu buat beres-beres lemari,” jawab Siska.

Setelah membereskan mukena, kami pun pulang menuju kamar untuk membereskan barang-barang yang masih berantakan. Agar tidak bosan, kami membereskan lemari sambil bercanda.

“Eh, kalian tahu nggak sih?” ucap Siska, memulai pembicaraan.

“Tahu apa, Sis?” tanyaku penasaran.

“Aku waktu tadi di jalan, mau kesini, lihat orang tabrakan,” ucapnya, tubuhnya merinding sendiri.

“Innalillahi,” ucap kami serempak.

“Terus gimana, Sis? Ada berapa korban jiwa di situ?” tanya Alika.

“Kurang tahu, ya kalau ada berapa korban jiwa, tapi kayaknya nggak banyak deh,” jawab Siska.

“Ouuhh, semoga mereka hanya luka-luka ringan saja, ya,” doaku untuk semua korban.

“Aamiin,” jawab mereka serempak.

“Udah, ih, jangan dibahas lagi. Aku ngeri denger begituan,” kata Tata.

“Iyaaa,” jawab kami.

Kami pun lanjut membereskan lemari masing-masing sampai akhirnya adzan Maghrib tiba.

“Udah adzan tuh, shalat yuk!” ajak Keysha.

“Iya, ayo,” jawab kami semua.

Setelah itu, kami semua mandi, berwudhu, dan berjalan bersama menuju masjid untuk shalat Maghrib. Di sepanjang jalan, kami berbincang-bincang.

“Eh, Ta, kira-kira di sini ada ustadz yang ganteng kayak di novel-novel nggak, ya?” ujarku, sambil berangan-angan.

“Yee… dasar kamu, Acha,” sahut Tata, sambil menjitak kepalaku.

“Aduh! Sakit, Tata!” dengusku kesal.

“Hehe, maaf-maaf,” jawab Tata, sambil menyengir.

“Ya, aku kan cuma nanya doang,” jawabku cemberut.

“Udah-udah, malah pada ribut. Lihat nih, kita udah sampai depan masjid,” kata Alika, menengahi perdebatan kami.

“LAAHHH!” seru kami bertiga.

“Cepet banget, perasaan tadi masih jauh, deh,” kata Tata sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

“Ya gimana mau nyadar, orang kalian bertiga debat mulu,” timpal Siska.

“Hehe,” tawaku, Fafa, dan Tata.

“Udah lah, masuk yuk. Udah mau dimulai tuh shalatnya,” ajak Keysha.

“Iya, ayo, ayo,” jawab kami serempak.

Kami semua memang baru saling mengenal di sini, tetapi entah kenapa, kami bisa menjadi sangat akrab dalam waktu singkat. Bahkan, banyak orang yang mengira kami sudah lama berteman dan datang ke sini bersama.

Setelah selesai shalat Maghrib, kami pulang ke kamar, merapikan mukena dan sajadah yang tadi digunakan, lalu menuju tempat makan.

“Waahh… rame juga, ya,” kata Siska, sambil melihat ke sekeliling kami, yang memang ramai dengan orang.

“Ya iyalah, rame. Namanya juga pondok, bukan kuburan,” ujar Fafa, menimpali.

“Hehe, iya juga, ya,” kata Siska, sambil menyengir.

Setelah mengambil piring, kami pun berbaris di antrian yang sudah ada untuk mengambil makanan. Setelah tiba giliran kami, kami mencari tempat duduk yang kosong.

“Duduk di pojok sana aja yuk, itu masih kosong tuh,” ajak Alika, sambil menunjuk ke arah pojok kanan.

“Iya, iya,” sahut kami semua.

Kami pun duduk di sana dan menyantap makanan dengan sesekali bercanda ria. Setelah makan, kami kembali ke kamar dan bersiap untuk shalat Isya.

Setelah shalat Isya, kami kembali ke kamar. Karena ini hari pertama, kami langsung tidur tanpa ada pelajaran diniyah atau pelajaran lainnya.

“Capek juga, ya, ternyata,” keluh Siska.

“Baru sehari, Sis, udah ngeluh aja kamu ini,” seru Keysha.

“Gimana selanjutnya?” tanya Siska, penasaran.

“Ya, namanya juga baru pertama mondok,” balas Siska, membela diri.

Setelah perdebatan kecil itu, kami pun bergegas bersiap untuk tidur.

Mereka memang orang-orang yang baru saling mengenal, tetapi entah mengapa, dalam waktu singkat kami bisa menjadi sangat akrab, seolah sudah lama berteman. Acha yang sebelumnya takut untuk berbaur dengan orang lain, kini bisa merasa nyaman bersama teman-teman barunya.

Kita sering kali memikirkan hal-hal buruk tentang masa depan, tanpa menyadari bahwa banyak hal baik yang bisa terjadi. Jangan biarkan rasa takut menghalangimu untuk berpikir lebih jernih, agar tidak terjebak dalam kecemasan yang tidak tentu kebenarannya.



Penulis: Alifah, siswa SMK Plus Khoiriyah Hasyim Tebuireng.