ilustrasi anti rasisme

Oleh: Rasyida Rifa’ati Husna*

Sebagai negara yang memiliki keberagaman suku, etnis, agama, dan ras, sekaligus negara dengan warga muslim terbanyak di dunia, sudah sepatutnya masyarakat kita belajar dan paham bahwa hikmah dari penciptaan manusia yang beragam merupakan sunnatullah. Karenanya, berbagai tindakan rasis merupakan suatu sikap yang tidak sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri. Dalam konteks sosial, larangan rasisme harus digalakkan demi keharmonisan dan kerukunan bersama.

Dalam Q.S. al-Hujurat ayat 13, Allah berfirman:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (Q.S. al-Hujurat [49]: 13).

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dari ayat tersebut, dapat kita ketahui bersama bahwa hikmah dan tujuan diciptakannya manusia dengan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku tidak lain untuk saling mengenal dan melengkapi antara yang satu dengan yang lainnya, bukan untuk saling membangga-banggakan suku, etnis, dan keturunan masing-masing orang.

Larangan Rasisme dalam Islam

Hal itu sebagaimana pendapat Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir (26/259) bahwa Allah menciptakan manusia (dengan berbeda-beda suku dan bangsa) adalah untuk saling mengenal, bukan untuk saling membanggakan keturunan (rasisme). Sesungguhnya keunggulan hanya bisa diraih dengan takwa. Siapa saja yang bersifat dengannya (takwa), maka dialah yang lebih terhormat, lebih mulia dan lebih utama, maka tinggalkanlah rasisme.

Dari penjelasan di atas, maka tentu sudah sangat jelas bahwa keturunan tidak memiliki nilai apa pun dalam menentukan derajat dan kemuliaan seseorang. Membanggakan diri atas keturunan justru menjadi sebuah tindakan yang sama sekali tidak dibenarkan dalam Islam. Dengan demikian, rasisme sudah seharusnya tidak lagi terjadi pada seseorang, baik secara individual maupun secara kelompok.

Pendapat yang serupa juga disampaikan oleh Imam ar-Razi dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib (28/112), ia menjelaskan bahwa kedudukan semua manusia sama, dan rasisme sangatlah tidak dibenarkan. Keturunan dan etnis apa saja tidak memiliki nilai apapun jika tidak dilandasi dengan ketakwaan, sekalipun dari keturunan terhormat menurut pandangan manusia secara umum.

Sementara menurut Ibnu Abbas dalam Tafsir Tanwir al-Miqbas (1/437) sebab ayat di atas turun ialah untuk merespons sikap rasis sebagian orang Quraisy terhadap Bilal bin Rabah. Kisahnya, ketika penaklukkan Kota Makkah, Nabi saw. memerintahkan sahabat Bilal naik ke atas Ka’bah guna mengumandangkan adzan.

Orang-orang Quraisy yang menyaksikan kejadiaan tersebut kemudian berkata, “Apakah Nabi Muhammad tidak menemukan orang lain untuk mengumandangkaan adzan selain budak hitam ini?” Kemudian turunlah ayat ini sebagai teguran atas sikap rasis mereka terhadap sahabat Bilal.

Dalam sejarah Islam, tindakan rasis rupanya sudah eksis sejak masa kenabian bahkan jauh sebelumnya. Tindakan rasis telah mengakar dalam budaya masyarakat Arab terutama terhadap perbedaan warna kulit. Mereka yang memiliki warna kulit hitam biasanya diasosiasikan dengan budak atau kaum rendahan yang berasal dari rakyat jelata. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya larangan rasisme dan diskriminasi.

Namun setelah kedatangan Rasulullah dengan mentalitas anti-rasisnya membantu orang-orang Arab keluar dari kegelapan dan masuk ke cahaya melalui membimbing ke jalan keadilan dan kesetaraan. Karenanya tidak heran sosiolog barat menyebut Rasulullah tokok pertama yang mengajarkan antirasialisme. Nabi Muhammad sebelum terjadinya kampanye, gerakan, ataupun undang-undang tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis lahir, sudah terlebih dahulu berkecimpung dalam permasalahan-permasalahan rasisme di Arab.

Dengan tegas dan berani, Rasulullah membantah gagasan yang menilai orang dan kelompok hanya berdasarkan garis keturunan dan warna kulit saja. Manifestasi anti-rasisme yang paling mencolok dari Rasulullah dapat dilihat saat khutbah terakhir beliau saw di Arafat pada 362 M. Pesan terakhir Nabi Muhammad yang menguras air mata para sahabat kala itu sarat makna.

Nabi SAW berpesan, “orang Arab tidak lebih unggul dari non-Arab, atau orang non-Arab tidak lebih superior dari orang Arab, kecuali dengan ketakwaan. Dengarlah: sudahkah aku sampaikan?”

Para sahabat menjawab, “Sudah ya Rasul, engkau sudah menyampaikan dan kami telah mendengarnya.” Nabi lantas melanjutkan khutbahnya, “Hendaklah yang menyaksikan menyampaikan kepada yang tidak hadir.”

Kita seharusnya mengikuti petuah Nabi Muhammad ketika Haji Wada’ tersebut. Nabi mengemukakan sebuah pesan yang universal, bahwa tidak ada orang yang derajatnya lebih tinggi. Dengan demikian, orang kulit kuning langsat atau sawo matang tidak lebih unggul daripada orang berkulit hitam, begitu pula sebaliknya, kecuali karena kesalehan dan amal perbuatan yang baik.

Baca Juga: Sikap Toleran Meredam Diskriminasi dan Rasisme

*Mahasantri Ma’had Aly An-Nur II Al-Murtadlo.