Sumber: Profil Pesantren Tebuireng, Pustaka Tebuireng, 2011.

Oleh: Wahidul Halim*

Berbicara tentangTebuireng tidak terlepas dari konflik agraria. Konflik yang terjadi antara pemerintah Hindia-Belanda dengan warga dusun Tebuireng. Belanda secara paksa menyewa tanah kepada warga untuk ditanami perkebunan tebu. Tanaman inilah yang nantinya akan dijadikan pemasok utama pembuatan gula pasir. Karena pada saat itu perdagangan gula pasir paling diminati orang-orang Eropa.

Tebuireng sendiri merupakan salah satu dusun di desa Cukir, kecamatan Diwek, kabupaten Jombang. Nama Tebuireng diambil dari nama punggawa kerajaan Majapahit (Aguk : 2014). Pendapat lain mengatakan bahwa Tebuireng diambil dari kisah warga yang kehilangan kerbau bule atau kerbau putih. Kerbau ini menghilang beberapa hari. Saat ditemukan oleh warga dalam keadaan berwarna hitam. Sekujur tubuhnya diselimuti lintah. Semenjak itu warga menyebut keboireng (lihat : Panduan Santri Tebuireng).

Saya tidak menemukan kejelasan kenapa kok tiba-tiba berubah jadi Tebuireng. Dugaan saya jatuh pada banyaknya tebu yang berwarna hitam. Karena penanaman tebu oleh Belanda, mendominasi di kecamatan Diwek. Sehingga saking banyaknya tebu yang berwarna hitam, dusun ini dijuluki sebagai dusun Tebuireng.

Pada tahun 1870 Belanda mendidirikan pabrik gula di dusun Tebuireng. Berdirinya pabrik menjadikan tanah-tanah produktif dan subur disewa habis oleh pabrik. Warga yang tadinya menggarap tanah untuk kehidupan sehari-hari, setelah memberikan tanahnya kepada Belanda, mereka tidak memiliki penghasilan. Karena alat produksi berupa tanah garapaan sudah direbut oleh Belanda.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Belanda tidak sendiri dalam memuluskan penyewaan tanah. Negara Penjajah itu dibantu oleh pejabat sekitar Tebuireng. Belanda membayar para Pejabat Tebuireng untuk bagaimana warga memberikan tanahnya. Warga yang menolak memberikan tanahnya kepada Belanda akan diintimidasi. Bahkan, Belanda tidak nanggung-nanggung untuk menyiksa.

Ada dua cara yang digunakan untuk membebaskan tanah. Pertama, persebaran wacana oleh penjajah. Wacana yang berkembang pada saat itu, warga akan mendapatkan uang banyak. Padahal, uang sewa yang diberikan Belanda terbilang alakadarnya. Artinya, Belanda hanya menghitung panjang dan lebar ukuran tanah. Ketika pemilik tanah setuju, perjanjian dinyatakan selesai.

Kedua, Belanda memberikan iming-iming pekerjaan kepada pemilik lahan. Walaupun sudah menyewakan tanahnya, mereka dapat bekerja di pabrik. Gaji dari hasil bekerja ini yang kemudian memperkuat wacana sebelumnya. Dengan kata lain, warga masih memiliki penghasilan untuk kehidupannya sehari-hari.

Setelah tanah warga diberikan kepada Belanda. Keadaan yang terjadi di lapangan sangat berbeda. Pekerjaan kasar seperti menanam, membabat, dan membawa tebu dari ladang ke tempat penggilingan, yang bekerja bukan warga dusun Tebuireng. Belanda mendatangkan buruh dari luar daerah. Sedangkan, pekerjaan mencatat serta menjaga pabrik (non-kasar), Belanda mempekerjakan warga Tebuireng. Namun, berasal dari keluarga pejabat Tebuireng yang memiliki peran dalam pembebasan lahan.

Apa yang dialami warga Tebuireng? Kehidupan mereka tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan secara tetap. Sehingga, mereka bermalas-malasan dan tidak memiliki kegiatan apapun. Mereka habiskan hidup yang tidak jelas itu, untuk berkecimpung di tempat pelacuran, perjudian, maling, begal, dan lain sebagainya. Dimana tempat tersebut tidak jauh dari pabrik. Bahkan, uang yang diterima warga hasil sewa tanah dihabiskan di situ.

Tempat semacam pelacuran dan perjudian terdapat di bilik-bilik bambu. Ternyata, ini menjadi ladang baru penghasilan warga. Seperti tidak memiliki cara lain. Ada warga yang menjadi mucikari, penyedia botol minuman sampai menjadi preman yang siap menjagal. Mereka hanya berpikiran bagaimana mendapatkan uang dari tempat tersebut.

Hal ini ternyata disiapkan oleh Belanda sebagai strategi menghancurkan tanah jajahannya. Mula-mula, pekerjaan utama mereka berladang harus ditiadakan. Dengan begitu, warga akan bergantungan pada tempat tersebut.

Tempat yang terbilang kumuh, juga dimanfaatkan oleh Belanda sebagai tempat hiburan mereka. Biasanya, Belanda datang di waktu-waktu tertentu hanya sekedar melepas lelah. Belanda juga mendatangkan wanita-wanita pribumi yang cantik. Baik untuk mengisi hiburan yang ada, maupun dipekerjakan sebagai pelacur.

Suatu kisah yang menarik di dalam kubangan penciptaan Belanda. Sepasang Suami-Istri menjadi aktor sirkulasi kegiatan tersebut. Laki-laki sebut saja A melakukan kegiatan perjudian. Hasil judi yang ketika pemainnya menang, uang langsung diterimanya. Hal ini menjadi alasan tersendiri mengapa masih bertahan dan menjadi ladang favorit untuk mendapatkan uang. Dia menggantungkan hidupnya bermain judi. Karena tidak ada ladang yang dapat menghasilkan uang selain itu.

Sedangkan, si istri akan menjadi pelacur, siap melayani siapa saja yang membayarnya. Pelacuran yang dilakukan oleh istri didukung oleh suaminya sendiri. Sebab, uang yang dihasilkan dari pelacuran dipakai suami untuk bermain judi. Sirkuit akumulasi inilah yang kemudian membuat mereka bergantungan pada tempat tersebut.

Datangnya KH. Hasyim Asy’ari

Suasana pelacuran dan perjudian di Tebuireng tidak melulu didukung oleh seluruh warga. Ada sebagian warga yang melakukan perlawanan untuk memberantas praktik keji yang diciptakan Belanda. Namun, perlawanan yang dilakukan kerap kali gagal. Karena kekuatan mereka tidak sebesar kubu abangan yang membekingi tempat tersebut. Markas kubu abangan terletak di depan pasar Cukir, tidak jauh dari pabrik (buku:Guru Sejati).

Warga yang menolak akhirnya mendapatkan jalan cerah. Ada salah satu warga yang mengenal kealiman ilmu seorang santri. Dia baru saja pulang dari menuntut ilmu di Makkah. Namanya Hasyim Asy’ari, bertempat tinggal di desa Keras, kurang lebih 1 KM dari dusun Tebuireng. Warga menginginkan agar Hasyim memberantas praktik semacam itu dengan menanamkan nilai-nilai keislaman.

Bujukan warga ternyata direspon baik oleh Hasyim untuk tinggal di dusun Tebuireng. Namun, ketika sowan kepada ayahnya Yai Asy’ari. Sang ayah yang sempat tidak menyetujuinya. “Apa jadinya para santri nanti kalau tempat belajarnya berdekatan dengan tempat yang banyak orang melakukan maksiat.” kata Yai Asy’ari. Hasyim menjawab “Menyiarkan agama Islam ini artinya memperbaiki manusia.” (lihat:Sang Penakluk Badai). Pada akhirnya Hasyim mendapatkan restu dari orang tuanya.

Saat tinggal di Tebuireng, Hasyim ditawari sepetak tanah oleh seorang Dalang. Tawaran untuk mendiami satu bilik rumah bekas tempat pelacuran ditolak oleh Hasyim. Beliau lebih memilih untuk membeli tanah tersebut. Karena berpandangan bahwa, tanah yang dijadikan tempat belajar harus lah tanah yang jelas asal usulnya. Agar dikemudiaan hari tidak diakuisisi oleh orang lain.

Pada awal kepindahannya di dusun Tebuireng, Hasyim tinggal bersama istri dan santri-santri ayahnya. Ini langkah pertama Hasyim berdakwah mengamalkan ilmu yang didapat sesuai anjuran kanjeng Nabi. Namun, saat itu juga hampir setiap malam merasa was-was. Bilik yang tempat tinggalnya mendapat ancaman berupa tusukan senjata tajam. Sehingga, santri dan keluarganya harus ngrungkel di tengah dan tidak tidur di samping, agar tidak mendapat sabetan.

Ancaman tersebut berakhir setelah Hasyim mendatangkan santri dari Cirebon yang jago silat. Santri ini yang kemudian membantu Hasyim mengusir ancaman tersebut. Serta melatih santri-santri untuk belajar bela diri.

Keseharian yang dijalani Hasyim besama dengan santrinya yakni mengaji dan berdiskusi. Rutinitas itu dianggap aneh oleh para warga Tebuireng yang melihatnya. Selain itu, Hasyim juga melakukan kegiatan bertani. Kegiatan tersebut dilakukan oleh para santrinya di Tanah belakang bilik. Walaupun tidak begitu luas, tanah Jombang yang memiliki kategori subur dan produktif menjadikan tanamannya tumbuh segar.

Kegiatan bertani oleh Hasyim dijadikan misi tersendiri. Dengan bertani, diharapkan para santrinya ketika pulang sudah terbiasa merawat ladang. Selain itu, hasil pertanian juga digunakan untuk makan sehari-hari. Tujuan paling utama bertani yakni memberikan contoh kepada warga dusun Tebuireng. Dengan bertani diharapkan warga bisa menghidupi dirinya sendiri tanpa melakukan perjudian dan pelacuran.

Hasyim melihat permasalahan pokok yang terjadi di Tebuireng adalah masalah ekonomi. Dimana, para warga tidak memiliki pendapatan yang jelas untuk penghidupannya. Sehingga mereka berkecimpung di dunia yang dianggap keji.

Hasil sayuran yang memiliki untung lebih. Selanjutnya digunakan untuk membeli tanah sekitar pondok. Pembelian tersebut oleh Hasyim, selain bertujuan untuk pertaniaannya, tanah juga sebagai alat mempersempit ruang maksiat sekitar.

Strategi Hasyim untuk mendapat hati para warga Tebuireng, sedikit demi sedikit mendapat respon baik. Tanaman hasil panen yang akan dijual, mendapatkan pujian oleh para pelacur dan mucikari yang melihatnya. Dari mulai bayem yang sangat hijau “bayeme ijo royo royo ya”. Sampai dengan pujian ikan gurame yang sangat gemuk.

Mulai dari situ, ada sebagian warga yang mencoba untuk menanam. Misalkan seorang pelacur yang berkonsultasi dengan Hasyim. Dia ingin belajar menanam pohon cabai. Supaya tidak repot-repot membeli ke pasar. Meski tidak terlalu banyak pada awalnya, setidaknya tanaman tersebut membantu mengurangi pengeluaran kebutuhan mereka.

Seiring berjalannya waktu, warga merasa terinspirasi oleh apa yang dilakukan Hasyim. Hasyim sendiri mendapat predikat sebagai seorang yang ahli dalam pertanian. Dengan begitu, warga yang telah menyewakan tanahnya kepada Belanda, tidak ingin diperpanjang lagi. Warga memilih menggunakannya sendiri untuk  ditanam sayur-sayuran.

Proses penanaman yang dilakukan warga, lama kelamaan mendapat keuntungan yang jauh lebih besar ketimbang mereka harus berjudi dan melacur. Secara perlahan, warga mulai meninggalkan tempat tersebut. Karena warga sibuk di siang hari untuk mengurus ladangnya. Pada malam hari, warga merasa kelelahan langsung beristirahat.

Masalah kompleksitas sewa tanah yang terjadi antara warga dusun Tebuireng dengan Belanda sedikit berkurang. Kesemena-menaan belanda ditentang oleh warga. Mereka merebut kembali tanah miliknya dan enggan untuk menyewakan kembali.

Pendirian Pesantren Tebuireng oleh Hasyim Asy’ari mempengaruhi pola kehidupan yang diciptakan Belanda. Hasyim berdakwah menyiarkkan agama Islam di dusun Tebuireng menggunakan metode lain. Yakni dengan menyentuh jantung permasalahan yang terjadi. Cara-cara ini mirip dengan Nabi yang berdakwah melalui akhlakul karimahnya. Kalo di Jawa, sama halnya dengan Wali Songo yang mencampuradukan nilai islam dengan kebudayaan yang ada.

Hingga akhirnya, Tebuireng bukan lagi menjadi tempat maksiat. Warga Tebuireng satu demi satu mengagumi sosok Hasyim. Dari situ, mereka mulai tertarik dengan apa yang dibawa oleh Hasyim. Sampai sekarang kota Jombang sendiri disebut sebagai kota santri.

*Alumni Pesantren Tebuireng, saat ini menjadi Mahasiswa Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.