Tarikhul Auliya KH. Bisri Musthofa
Tarikhul Auliya KH. Bisri Musthofa

Siapa yang tak kenal dengan sosok Kiai Bisri Musthofa, seorang tokoh kiai kelahiran Rembang yang memilki pengaruh besar di zamannya. Putra dari pasangan KH. Zainal Musthofa dan Nyai Siti Khadijah. Sosok kiai yang jarang ditemukan di era sekarang, sebagaimana yang disebutkan oleh Munawir Aziz-Wakil Sekretaris LTN PBNU, dalam tulisannya “KH Bisri Musthofa: Singa Podium Pejuang Kemerdekaan” yang dimuat di NU Online. Kiai Bisri Musthofa merupakan seorang tokoh yang lengkap dalam beberapa bidang: kiai, budayawan, Muballigh, Politisi, Orator, dan seorang Muallif (penulis).

Dalam dunia menulis, Kiai Bisri Musthofa merupakan sosok penulis yang produktif, karya beliau lebih dari 30 judul. Salah satu karya beliau yang paling fenomenal adalah kitab tafsir al-Ibriz, sebuah kitab tafsir lengkap 30 juz yang ditulis dalam bahasa Jawa Pegon. Karya-karya beliau mencakup berbagai bidang ilmu. Seperti tauhid, fikih, Sejarah Kebudyaan Islam, ilmu bahasa Arab, Hadis, Akhlak, dan lainnya.

Salah satu karya Kiai Bisri Musthofa dalam bidang Sejarah Kebudayaan Islam adalah kitab Tarikhul Auliya`. Kitab ini ditulis pada 12 Rabi’ul Awal 1372 Hijriyah yang bertepatan pada tanggal 19 November 1902 Masehi. Kitab ini ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa Pegon, isi dari kitab ini menerangkan babad wali-wali tanah Jawa, yang ditambah ringkasan catatan-catatan sejarah Indonesia.

Di dalam kitab Tarikhul Auliya` karya KH. Bisri Musthofa menceritakan masuknya agama Islam ke Indonesia, dalam kitab tersebut beliau menceritakan dari pasca wafatnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Bahwa Nabi Muhammad wafat pada 8 Juni 633 H, para sahabat dan tabi’inlah yang meneruskan perjuangan Nabi Muhammad menyampaikan dan menyiarkan agama Islam/ hingga agama Islam bisa tersebar di seluruh dunia. Islam mengalami masa keemasan, yaitu zaman dihormati dan diseganinya negara dan umat Islam. Para mubaligh dan penasehat Islam banyak sekali yang berkelana untuk menyebarkan agama Islam.

Di daerah-daerah Indonesia juga tidak ketinggalan dan mendapatkan mubaligh-mubaligh yang handal. Yaitu para wali seperti: Maulana Ibrahim Asmaraqandi, Raden Rahmat Sunan Ampel. Maulana Ishaq al-Syarif Hidayatullah dan wali-wali lainnya. Semua para wali dan ulama yang datang ke Indonesia tujuannya hanyalah untuk tabligh, menyebarkan agama Islam. walaupun jika ada yang berdagang hal itu hanyalah untuk menutup-nutupi (penyamaran).  

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dari penjelasan Kiai Bisri Musthofa salah satu metode masuknya Islam di Indonesia salah satunya adalah dengan cara berdagang. Karena walaupun berdagang tujuan utama para wali adalah untuk menyebarkan agama Islam. KH. Bisri Musthofa menilai cara dakwah para wali sangatlah praktis. Seperti, para wali terlebih dahulu melakukan dakwah pada para raja, sebab apabila pembesar sudah terpengaruh, maka para pengikutnya akan juga ikut terpengaruh.

Di zaman itu, para wali dan penasehat berjuang dengan sangat ulet hingga dengan melakukan tapa (bertapa), dan mempertaruhkan cinta serta usaha lainnya yang ditujukan untuk dapat segera menghasilkan apa yang dicita-citakan. Para wali dan para penyebar Islam tidak bersifat sombong dan memaksa terhadap para penguasa dan para adipati, jika mereka mau maka diajak masuk Islam, jika tidak maka para wali dan penyebar Islam tidak memaksa. Itulah mengapa para penguasa dan para adipati menjadi luluh dan merasa sungkan kepada para pendakwah Islam itu.

Seperti sebuah cerita ketika Sunan Ampel menjelaskan agama Islam kepada Prabu Kertowijoyo, Majapahit, sang Prabu mengatakan: “Sebenarnya jika aku pikir-pikir agama Islam itu sangat bagus, tapi secara terpaksa aku tidak bisa meninggalkan kepercayaan agama yang telah aku peluk sejak turun-temurun dan yang telah diajarkan para leluhurku”.

Dari sini kita dapat membayangkan bagaimana kekuatan dan halusnya taktik para wali dan penyebar Islam  lakukan. Hampir semua eaja memiliki menantu pendakwah Islam. Maka sudah tidak heran lagi jika agama Islam di Indonesia pada umumnya dan khususnya di tanah Jawa Islam dapat tersebar luas.

Di dalam kitab tersebut  pada bagian akhir dari bab ‘Masuknya agama Islam di Indonesia’ KH. Bisri Musthofa mengatakan “Lihat saja bagaimana Sunan Ampel menjadi seorang raja di Campa, Sunan Giri menjadi seorang raja di Belambangan. Raden Fatah (Sunan Bintoro) putra Brawijaya, sunan Kalijaga putra adipati Wilatikta, Sunan Muria menjadi Adipati Wilatikta, Sunan Ngudung putra menantu Adipati Wilatikta. Jelas sekali lika-liku perjuangan, langkah dan pengaruh  para wali dan para penyebar Islam.”

Baca Juga: Islam-Indonesia, Persaudaraan Sejarah yang Mulai Dilupakan


Ditulis oleh Sumaryadi, Pondok Pesantren al-Anwar 3, Sarang, Rembang