Gambaran sepasang jodoh (sumber: Ist)

Namaku Naila. Aku adalah santri akhir di sebuah pondok pesantren sederhana yang terletak di ujung kota kecil di Jombang. Aku dikenal memiliki dua kepribadian, kadang ekstrovert, kadang introvert. Aku dikenal sebagai santri yang rajin mengaji dan paling sering memimpin doa seusai mengaji Mukhtarul Ahadis, meskipun terkadang aku ketiduran saat mengaji.

Namun, tak ada yang tahu, di balik kerajinanku ndaras di tangga, ada satu rahasia yang kutanam dalam-dalam.

Jujur, aku pernah jatuh cinta. Bukan kepada ustaz, bukan pula kepada teman sepondok, tapi kepada seseorang yang menurut logika manusia mungkin mustahil bisa kujangkau. Ia adalah sopir kiai. Namanya Mas Ilham. Ia jarang berbicara dan bahkan selalu menundukkan pandangan saat melewati siapa pun.

Namun, cara Mas Ilham memperlakukan mobil kiai seperti merawat sebuah amanah yang sangat besar, sikap lembutnya kepada anak-anak pondok, kegemarannya berjamaah, serta kesediaannya menjadi imam ketika kiai sedang tindakan, membuat hatiku perlahan luluh. Ditambah lagi dengan hafalannya yang mutqin dan suaranya yang begitu merdu.

Perasaan itu tumbuh begitu saja. Diam-diam, dan dalam diam. Hanya aku dan Allah yang tahu.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Namun, aku sadar, aku bukan siapa-siapa jika harus bersanding dengan Mas Ilham. Meski ia “hanya” seorang sopir, ia adalah sosok laki-laki baik yang kebaikannya sering kali jadi topik pembicaraan di pondok. Banyak yang mengidam-idamkannya.

“Mana mungkin aku berjodoh dengannya…” gumamku suatu malam sambil menatap langit dari balik jendela seusai salat malam.

Pelan-pelan, aku mulai berhenti berharap. Bukan karena tak cinta, tapi karena aku sadar: cinta harus diserahkan kembali kepada Sang Pemilik Hati, yakni Sang Ilahi. Maka kuputuskan, aku harus memperbaiki diri.

Aku mulai membiasakan diri bangun malam lebih sering. Bukan semata karena ingin dijodohkan dengannya, tapi karena aku ingin mencintai Allah lebih dari siapa pun. Aku belajar untuk ikhlas, menahan diri, dan merajinkan menulis namanya dalam barisan doa-doaku di sepertiga malam, bukan dalam obrolan sembunyi-sembunyi dengan teman sekamar.

Namun begitulah hidup. Kita berencana, Allah yang berkehendak atas segalanya. Allah selalu punya cara-Nya sendiri dalam mengetuk hati setiap hamba-Nya.

****

Suatu hari, tubuhku ambruk. Wajahku pucat, suhu tubuhku tinggi. Ustazah memanggil kiai dan bu nyai untuk melihat keadaanku. Beberapa menit kemudian, aku dibopong ke dalam mobil. Dan di balik kemudi itu… dia. Mas Ilham. Orang yang diam-diam kusukai.

Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, kami tak banyak bicara. Tapi aku tahu, ia beberapa kali melirik ke spion, memperhatikan nafasku yang berat.

Sesampainya di rumah sakit, ustazah menemaniku ke bagian administrasi. Dari kejauhan, aku melihat Mas Ilham duduk di kursi tunggu, memperhatikan langkahku yang lemah. Saat aku duduk, tiba-tiba ia mendekat, membuka kantong plastik, dan meletakkan sekotak roti, susu Bear Brand, serta Milo di atas meja di sebelahku tanpa sepatah kata pun.

Beberapa menit kemudian ia berkata pelan, “Nanti kalau sudah baikan, rotinya dimakan ya, sama minuman kesukaannya Mbak Naila.”

Suaranya lembut dan hati-hati. Ia tak berani menatapku. Tapi di dalam hati, ada kehangatan yang kurasa, jauh lebih hangat dari selimut rumah sakit ini.

Aku? Jangan tanya. Hanya mampu mengangguk pelan, tanpa suara.

Sejak hari itu, perasaan lama yang kupendam seolah muncul kembali. Tapi kali ini, aku lebih tenang. Aku tahu, aku tidak lagi menginginkannya. Tidak lagi berharap pada cintanya. Aku hanya ingin cinta yang diridai Sang Ilahi.

****

Beberapa minggu setelah aku sembuh, aku dipanggil Kiai seusai mengaji di hari Selasa.

Kiai berkata, “Naila, kamu kan santri yang sudah sangat saya percaya. Setelah selesai sekolah, kamu akan saya nikahkan dulu, ya, baru lanjut kuliah di pondok. Nanti akan saya buatkan rumah juga di sini, sambil bantu-bantu saya dan ibu. Orang tuamu juga sudah ridha dan cocok dengan pilihan saya dan ibu.”

“Kamu akan saya nikahkan dengan santri di sini. Seorang yang sama-sama sudah saya dan ibu percayai akan menjadi suami yang baik dan saleh untukmu,” lanjut beliau.

Aku terdiam. Lalu kiai menyebut satu nama, nama yang membuat jantungku berdegup kencang: Mas Ilham. Orang yang selama ini kucintai dalam diam.

Duniaku seolah berhenti. Aku nyaris menangis. Mataku panas, jantungku tak karuan. Ini… bukan mimpi, kan? Aku nyaris bertanya, “Kenapa saya?” tapi aku memilih diam. Dalam hati, hanya satu kalimat yang terlintas: “Ya Allah, Engkau memang Maha Mendengar segalanya.”

Plot twist-nya, ternyata selama ini Mas Ilham pun menyimpan perasaan yang sama. Tapi, seperti aku, ia memilih diam dan terus memperbaiki diri.

Kami pun melangsungkan pernikahan di Pondok Pesantren At-Tanwir, Blitar. Khidmat dan sederhana, tanpa pesta besar. Setelah sebulan menikah, aku sangat bersyukur karena banyak kiai hadir untuk mendoakan hari sakral kami.

Setahun kemudian, kami memutuskan merintis pondok baru, setelah diutus oleh Kiai Najib. Kami membangun pondok di pinggiran desa kecil, jauh dari kota. Awalnya hanya tiga santri, namun atas berkah dan barokah ilmu yang kami amalkan, santri pun mulai berdatangan.

Alhamdulillah, pondok kami tumbuh. Bukan karena kami hebat, tapi karena doa orang tua dan guru yang memberkahi segalanya.

****

Kini, aku tak lagi menjadi santri. Aku adalah ibu, istri, dan pengasuh Pondok An-Nur. Sementara Mas Ilham, suamiku, sopir kiai yang dulu hanya kulihat dari balik jendela pondok, kini menjadi imam dalam setiap sujud shalatku.

Kami memang tidak sempurna. Tapi inilah perjuangan kami, menatap hidup di jalan yang kami doakan bersama setiap malam.

Karena jodoh sejatinya bukan tentang siapa yang paling tinggi martabatnya di dunia,
tetapi siapa yang paling serius memperbaiki dirinya, lalu menyerahkan segalanya pada Yang Maha Kuasa.

Kini aku percaya, Allah memang sebaik-baik penulis kisah cinta setiap hamba-Nya.



Penulis: Wan Nurlaila Putri
Editor: Rara Zarary