atunkOleh: Fathurrahman Karyadi

Harian Sindo (23/11) memuat cerpen Manaf Maulana berjudul “Masjid Koruptor”. Sebuah cerpen yang indah, berisi pesan moral yang dalam. Cerpen ini menceritakan seorang koruptor yang hendak mendirikan masjid megah sebagai tebusan dosanya. Namun sang istri bersikeras mencegahnya karena takut hartanya berkurang. Termotivasi dari teman-teman senior sesama koruptor, akhirnya ia mendirikan masjid tanpa sepengetahuan istri. Belakangan ia tahu kalau istrinya selingkuh dengan sopir pribadinya. Ia berhati iblis menolak untuk beramal saleh, dan yang pasti ini semua dampak dari uang hasil korupsi.

Setelah masjid megah dan besar itu selesai dibangun, ternyata sepi dari jamaah. Masyarakat enggan shalat di masjid tersebut karena paham kalau itu hasil perbuatan yang tidak halal. Terpaksa ia shalat seorang diri lima waktu, sampai ketika shalat ia selalu ragu sudah dua kali sujud ataukah satu? Ia benturkan berkali-kali jidatnya di tempat sujud hingga gosong.

Cerpen Manaf Maulana ini cukup mewakili sosok koruptor di negeri ini. Di mana para koruptor berusaha menutupi dosanya dengan amal saleh yaitu membangun masjid. Mereka kira perbuatan ini benar padahal tidak. Mereka salah dalam mengartikan ‘amal saleh’ itu sendiri. Amal saleh ialah perbuatan baik yang dilandasi niat baik, dengan cara baik dan bertujuan baik. Jika satu unsur dari amal saleh ini salah maka bukan tergolong amal saleh melainkan amal thalih (buruk).

Membangun masjid merupakan perbuatan baik, mendatangkan tim ahli bangunan juga tepat, dengan tujuan memfasilitasi masyarakat untuk berjamaah juga baik. Tetapi kalau caranya sejak awal salah maka pembangunan masjid juga tidak berfaidah. Uang hasil korupsi harus dikembalikan ke asalnya secara hukum. Bukan untuk membangun masjid apalagi ingin namanya dikenang masysarakat sebagai waqif (orang yang memberikan harta bendanya untuk kepentingan umum selamanya).

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ini selaras dengan firman Allah Swt “Dan katakanlah, ‘Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap.’ Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (QS. al-Isra: 81, QS.al-Ra’d: 17). Serta QS. al-Qashash: 84 : “Barang siapa yang datang dengan (membawa) kebaikan, maka baginya (pahala) yang lebih baik daripada kebaikannya itu; dan barang siapa yang datang dengan (membawa) kejahatan, maka tidaklah diberi pembalasan kepada orang-orang yang telah mengerjakan kejahatan itu, melainkan (seimbang) dengan apa yang dahulu mereka kerjakan.”

Beribadah Yes, Korupsi No

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa negara di dunia yang nilai korupsinya paling rendah ialah Denmark. Uniknya, hanya belasan persen warga Denmark yang mempercayai adanya Tuhan. Sedangkan sisanya ialah tidak beragama.

Kenyataan ini berbeda dengan negeri kita, 95 % masyarakat Indonesia memeluk agama, mempercayai adanya Tuhan dan beribadah dengan taat. Tetapi mengapa angka korupsi menembus rating papan atas, bahkan melebihi negara-negara lain di Asia. Apakah ibadah kepada Tuhan (ritual mahdhah) tidak  berefek kepada kegiatan sosial sehari-hari (muamalah)?

Bukankah Allah telah berfirman “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”  (QS. Al-Ankabut: 45)

Sulit untuk menjawabnya. Namun ada beberapa indikasi dan faktor, mengapa umat beragama masih ada saja yang melakukan dosa terlebih praktek penggelapan uang negara. Pertama, dari faktor internal antara lain umat beragama banyak yang menjalankan ibadah karena mengharap pahala. Mereka termotivasi dengan surga, bidadari yang telah dijanjikan Tuhan. Ini tidak salah, akan tetapi mereka lupa untuk bersabar. Sehingga ketika ada cobaan berupa kenikmatan di depan mata (dunia) mereka kira itulah ganjaran atas ibadah mereka. Padahal tidak demikian, itu hanyalah cobaan yang diberikan Tuhan.

Itu sebabnya mengapa manusia setelah diperintah untuk mempercayai adanya Tuhan (baca: mukmin) kemudian diperintah pula untuk bersabar (QS. Ali Imran: 200). Karena seseorang tidak cukup hanya beriman melainkan perlu pula bersabar atas segala cobaan dan kenikmatan akhirat kelak. Jangan tergiur gemerlap dunia yang itu bukan pahala dari pada ketaatannya kepada Tuhan.

Di sisi lain, pada zaman ini banyak terdapat pula umat beragama yang melaksanakan ritual ibadah sebatas menunaikan kewajiban yang telah ditetapkan agama tanpa adanya penghayatan secara mendalam. Sehingga ritual ibadah yang dilakukan hanyalah seperti kumpulan gerak tubuh, ritual-ritual suci belaka. Banyak orang yang rajin melakukan ibadah (shalat, puasa, haji dan lain sebagainya) namun kerapkali melakukan perbuatan tercela seperti mencuri, menyakiti orang lain bahkan mengambil uang negara untuk kepentingan pribadi maupun golongannya.

Karena lalai dalam menghayati ritual ibadah maka ketika beribadah mereka seakan tidak merasa berhadapan secara langsung kepada Tuhannya. Upacara suci dilewatinya dengan kualitas yang kurang baik, tidak seperti ketika mengikuti upacara kenegaraan yang tertib dan rapi karena diikuti dan diawasi langsung oleh sang presiden sehingga takut atau sungkan jika membelot. Mereka hanya serius atau takut ketika yang dihadapinya terlihat dengan panca indera hingga mengabaikan bahwa yang tidak terlihat olehnya (Tuhan) seakan tak pernah ada, tak pernah mengawasi gerak-geriknya dan memperingatinya. Sehingga muncul sindiran yang cukup pedas terhadap orang-orang yang rutin melaksanakan ibadah namun tetap melakukan perbuatan tercela, “Mereka belum bisa menemukan Tuhan pada duri di jalan”.

Kedua faktor eksternal. Yaitu godaan iblis atau setan yang luar biasa. Seperti halnya manusia, iblis pun memiliki tingkatan mulai awam sampai alim. Jika kealiman seseorang masih awam maka iblis yang menggodanya pun masih tergolong pemula. Sedangkan seseorang yang telah pandai bahkan bergelar ‘kiai’ atau ‘profesor doktor’ maka iblis yang mengganggunya pun berlevel sama.

Iblis tidak hanya diartikan sebagai makhlus halus, akan tetapi bujukan istri, kekayaan rekan bisnis, iklan televisi kini bisa didefiniskan pula sebagai ‘iblis modern’. Kita harus menjaga perbuatan kita dari gangguan iblis. Agama telah mengajarkan kita untuk selalu membaca ta’awudz dan basmalah di awal perbuatan agar segala aktifitas kita semata hanya dan untuk Allah Swt semata. Serta menjaga wudhu agar pikiran jernih dan terhindar dari godaan iblis yang terkutuk.

Teh yang manis ialah teh yang dicampur dengan gula bukan garam. Maka amal saleh yang berpahala ialah yang dilandasi niat baik, cara yang baik, dilaksanakan secara baik dan tujuan baik bukan dengan garam keburukan. Bukankah demikian?

Semoga kita dapat melaksanakan ritual ibadah secara baik dan mampu menghindari perbuatan buruk termasuk korupsi, Amin.


Artikel ini pernah dimuat di Majalah Tebuireng edisi 25