Cerita ini datang dari seorang single mom yang sedang menikmati tenangnya laut di sepertiga malam, sebuah petualangan batin yang membuatku menemukan apa yang barangkali dari kemarin kucari-cari, ketenangan. Sebuah perjalanan baru bagiku, setelah beberapa waktu aku memilih kembali melangkah dari fase terpurukku.
Aku menamakan ini spiritual journey. Kisah ini berawal dari keiikutsertaanku sebagai salah satu mahasiswa baru di sebuah perguruan tinggi swasta daerah Tebuireng Jombang. Di sana aku menapak perjuangan sebagai sosok mahasiswa sekaligus ibu dari anak bujang yang menjadi alasan semua kulalui dengan suka cita.
Aku menikmati statusku sebagai mahasiswa baru, walau harus menerima dan menyadari bahwa aku memiliki kerepotan lain daripada teman-teman yang seperjuanga, aku membawa anak di acara kampus. Bagi seorang single mom yang hanya dibersamai anak bujang, banyak kendala yang aku alami di sepanjang perjalanan menuju helcom. Helcom adalah sebutan acara masa keakraban mahasiswa di program studiku.
Dalam acara Helcom itu, awalnya aku memilih untuk tidak ikut di hari kedua karena harus menginap dan acara sampai malam hari, tentu itu akan membuatku meninggalkan anakku dalam pelukan kesunyian dan aku tak punya rasa tega untuk itu. Itulah yang memutuskan aku dengan tegas memilih tidak ikut melanjutkan acar itu di hari kedua yang akan membawa kami ke sebuah pantai mutiara di Trenggalek. Cukup jauh bukan untuk jarak tempuh Jombang-Trenggalek dengan meninggalkan seseorang yang tentu masih haus dekapanku.
Atas kerelaan dan keikhlasanku untuk tak mengenyam apa yang teman-temanku akan nikmati, sudah tak lagi menjadi kegalauanku, namun siapa duga di sebuah ruang yang tak cukup luas, hanya memuat peserta dan panitia acara, seorang perempuan yang tak lain itu adalah dosen yang baru kukenal mengagetkanku dengan sederet kalimat pertanyaannya, “Mbk kenapa nanti malam gak ikut melanjutkan acara?” tubuhnya masih berdiri di samping kursiku.
Dengan spontan namun pelan aku jawab, “saya punya anak bu, dan tanggung jawab saya rasanya lebih besar untuk menjaganya,” sedikit gugup kuutarakan alasan yang semoga masuk akal diteima orang lain. “Kalau begitu, bawa anaknya dan tetap nikmati masa mahasiswa baru. Anaknya biar saya jagain.” Tawaran itu melepaskan beban pikir dan batin yang sejak kemarin bertarung di dalam diriku sendiri. Rasanya ini jawaban kepasrahan yang bahkan sudah sampai aku lupakan rasanya sedih karena tak bisa ikut serta. Tentu aku tak menolak kalimat yang bagai jawaban kegelisahan itu, aku hanya menanyakan ulang untuk membuatku yakin bahwa ini tak hanya sebatas tawaran, namun sebuah pesan untuk aku benar melakukan itu. Tanpa membuang banyak waktu aku berterima kasih dan mengiyakan itu, segala proses kulalui hingga aku menjemput si bujang; kami akan berjuang dan bahagia bersama.
Kabar itu bagaikan kayu kering yang tersulut percikan api meski harus berjuang dengan kendaran bermotor 60km perjalanan dari Jombang-Kediri dan balik lagi Kediri-Jombang untuk jemput anak dan mengambil baju ganti. Ah, rasanya hal itu mudah untuk dilalui dengan kebahagiaan yang baru saja memompa penuh energi bahagia ini.
*****
Jam 00:30 Wib, kami berangkat dari Tebuireng Jombang dengan armada bus yang berisi sekitar 60 orang, termasuk aku dan anak bujangku. Kami hangat dalam pelukan, tak disangka saja malam ini kami bisa menikmati perjalanan ini tanpa harus kutinggalkan salah satunya, anakku atau tugasku sebagai mahasiswa baru. Sekitar jam 03:20 Wib, kami sampai di pantai mutiara Trenggalek, langit masih petang suasana masih gelap keindahannya belum begitu tampak. Suara tarhim Subuh memanggilku untuk segera bergegas mandi dan menjalankan sholat Subuh. Tak lupa aku mengajak Fabil (8thn) anakku, untuk segera sholat juga, dia terlihat begitu menikmati perjalanan ini dan tampak sangat akrab dengan kakak-kakaknya yang itu adalah teman-temanku di program studi KPI.
Matahari mulai menampakkan wajahnya, sinarnya membuka tirai keindahan laut Mutiara. Di balik hamparan biru, batu karang menjulang, menjadi saksi bisu keindahan alam, dalam hati tidak berhenti memuji lukisan estetik sang maha pencipta. Di sana lah debur tahmid dan syukur menguasai lubuk hatiku. Syukur tak henti kuucap, sesekali kupandang pantai, debur pasang, anakku, dan orang-orang baru yang kupilih menjadi bagian perjalanan hidupku. Ah Tuhan, terima kasih untuk kesempatan ini.
Banana Boat dan Perjalanan Singkat
Perjalanan singkat itu, bagiku puncaknya memiliki dua moment dimana itu menjadi spiritual journey bagiku di hari kedua dan moment di saat menaiki banana boat dimana kami akan diantar ke tengah lautan yang di moment itu aku benar-benar menyaksikan hamparan lautan sejauh mata memandang hanya kuasa dan kenikmatan Allah yang disajikan.
Di moment itu aku merasa hanya setitik kecil di bumi. Aku merasa hanyalah sebutir debu yang masih sering MERASA BISA dan MERASA LEBIH padahal keberadaanku sama sekali tidak ada pengaruhnya di bumi ini. Di atas banana boat yang ditumpangi oleh 9 orang yaitu aku, Fabil, kak Caca, kak Hamda, kak Davina, kak Umda, kak Anam, Reza dan Sovi, tepat di tengah hamparan laut aku berteriak Allahu Akbar. Kata itu reflek keluar dari mulutku mungkin karena takjub dengan kebesaranNya dan merasa sangat kecil di antara ciptaanNya.
Moment kedua di saat para penumpang banana boat dilempar di tengah laut dan dibiarkan terhampang mengapung di tengah laut disana saya niatkan untuk menghadapkan wajah saya ke atas dengan mata terpejam dan membiarkan badan saya yang besar ini untuk beberapa saat terapung dan terbawa gelombang laut tanpa saya berusaha untuk menggerakkan tangan atau kaki.
Aku penasaran dengan sensasi yang akan muncul ketika melakukan itu, dan ternyata masyallah begitu rileks dan damainya seakan mengisyaratkan bahwa, “tenanglah, pasrahkan semua pada Allah tanpa kamu berusaha pun Allah akan mengantarkan kamu ke tempat terindah, apalagi kalau kamu berusaha untuk sampai pada titik itu sudah pasti Allah akan sampaikan kamu pada titik yang kamu harapkan.”
Pantai Mutiara membawa makna tersendiri bagiku. Dalam perjalanan pulang hati dipenuhi kelegaan dan hati yang begitu tenang atas kuasa Allah. Dan ternyata dalam perjalanan pulang masih ditambah lagi dengan pemandangan dari atas Jalur Lintang Selatan yang sepanjang jalannya disuguhi pemandangan laut yang begitu indah. Rombongan bus mahasiswa KPI Unhasy menyempatkan untuk berhenti di salah satu rest area di JLS untuk menikmati indahnya lukisan alam dan tidak lupa mengabadikan moment indah dengan hanphone juga camera masing-masing.
Moment itu menambah rasa takjubku dengan kuasa Allah yang begitu luasnya, bagaimana tidak sepanjang mata memandang yang terlihat hanya kuasa dan nikmat Allah yang tak terbatas dan tak tertandingi. Aku jadi teringat ucapan dari guruku coach Nia Fiani, “Di mana pun kaki berpijak pastikan keimananmu semakin bertambah karena nikmat dan kuasa Allah yang kau saksikan.”
Masyaallah, hati tak henti bersyukur. Bagiku perjalanan ini adalah spiritual journey yang mungkin tidak dirasakan semua peserta tapi dengan tulisan ini semoga rasa ini bisa sampai pada semua yang membacanya.
Penulis: Alfiatuz Zaqiyah / KPI24