
Sowan Terakhir di Pagi Buta
Kala itu, subuh seperti sedang menahan nafasnya
angin hanya lewat pelan
seolah ingin nyampaikan kabar tapi takut salah ucap
Beliau dipanggil
Iya, guru kami
Yang sudah ngajari ngaji tanpa suara tinggi
yang sabarnya bisa bikin setan kapok dan pergi terbirit birit
Kami datang
membawa air mata dalam plastik keresek
bercampur doa dan rasa bersalah
sebab malam itu masih sempat ngeluh soal PR tafsir
Kini beliau tidur
bukan karena lelah
tapi karena sudah rampung tugasnya
di dunia yang katanya cuma tempat mampir
Kami sowan untuk yang terakhir
bukan untuk minta ijazah
tapi buat bilang:
“Maaf, belum bisa jadi murid yang bikin panjenengan bangga.”
Di Bawah Pohon Belimbing Itu
Benar benar masih teringat pak
Tentang panjenengan yang sering duduk di bawah pohon belimbing
sambil ngelus jenggot dan ngucap pelan:
“Ilmu itu jangan dipamerke, nak
kayak emas disawer di pasar.”
Kami dulu ketawa-tawa
Dan tidak mengerti arti dibalik ucapannya
padahal itu nasihat yang bisa nyelametin kami
dari jadi orang pinter tapi norak
Sekarang pohon belimbingnya masih ada
daunnya goyang tiap sore
seolah nyari bayangan panjenengan yang udah ndak ada
Jujur kami kangen, Pak
Bukan cuma karena panjenengan guru
tapi karena panjenengan itu rumah:
tempat bagi kami pulang saat akal dan iman rebutan panggung
Nisan yang Tak Perlu Nama
Tak perlu nama lengkap di nisannya
kami semua tahu:
itulah beliau, guru yang ngajari kami
arti jadi manusia sebelum jadi ustadz yang terkenal dimana mana
jadi santri sebelum pamer status
Suaranya pelan
tapi lebih keras dari toa mushola
kalau sudah bicara soal amanah dan adab
Sekarang, beliau diam
Tapi diamnya bukan kalah
diamnya kayak huruf-huruf mati dalam Al-Qur’an
tak bersuara, tapi tetap hidup jadi lebih dalam
Kami tak akan lupa
Karena nama beliau
sudah ditulis di hati kami
pakai tinta ta’zim dan cinta
yang akan terus terukir di benak terdalam dalam hidup kami semua
Penulis: Wan Nurlaila Putri
Editor: Rara Zarary