Sumber gambar: www.keira-publishing.com

Judul        : Sejarah Ushul Fiqih; Histori Ilmu Ushul Fiqih dari Masa Nabi hingga Sekarang

Penulis     : Prof. Dr. Ali Jum’ah

Cetakan   : I, September 2017

Penerbit   : Keira

Tebal        : 484 hlm.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Peresensi  : Hilmi Abedillah, Redaktur Majalah Tebuireng


Ushul fikih merupakan cabang baru. Dulu generasi salaf tidak memerlukannya, sebab pemahaman mereka terhadap teks-teks syara’ berasal dari malakah (keterampilan) kebahasaan mereka. Lagi pula, sebagian besar kaidah untuk memahami teks syara’, yang selanjutnya mereka gunakan untuk menyimpulkan hukum syara’ telah mereka kuasai dengan baik. (hlm. 6)

Sejarah Ushul Fikih yang merupakan terjemah Tarikh Ushul Fiqh karya Prof. Dr. Ali Jum’ah menjadi salah satu buku dengan keistimewaan baru. Di zaman sekarang, kebanyakan ulama menulis fikih lintas madzhab. Rata-rata mereka mengkomparasikan empat pendapat di antara Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Dengan konsep itu, Ali Jum’ah membuat ushul fikih dengan menggabungkan empat madzhab sekaligus. Hampir setengah dari buku ini (yaitu bab empat) mengurai sejarah empat madzhab satu per satu, dari lahirnya sampai metodologi ushulnya.

Ilmu ushul fikih telah dipelajari di banyak pesantren maupun sekolah. Secara bahasa, ushul yang berarti prinsip atau pokok, merupakan bentuk jamak dari ashl. Ia ada bersamaan dengan munculnya fikih. Namun dilihat dari sisi kodifikasi, ushul fikih terbilang lebih lambat daripada fikih. Fikih sudah terkodifikasi terlebih dahulu, permasalahan yang ada sudah diklasifikasi, kaidahnya dipancang, bab-babnya dirapikan sebelum ushul fikih. Ini berarti bahwa lahirnya ushul fikih terhitung sejak ia dikodifikasikan.

Pada zaman Nabi SAW masih hidup, semua permasalahan yang dihadapi oleh para sahabat langsung dilimpahkan kepada Nabi SAW. Sebab itu, sahabat tidak perlu menanyakan apa alasan suatu hukum yang ditetapkan oleh Nabi, walau terkadang disebutkan. Sepeninggal Nabi, masalah pun tidak jauh beda. Namun, sudah mulai bermunculan masalah baru yang tidak bisa lagi dikembalikan kepada Sang Rasul itu. Sahabat pun mengambil dalil dari teks-teks Al Quran, sekiranya mereka mendapatkannya mereka memakainya. Jika tidak menemukan jawaban di Al Quran, mereka mencari di hadits-hadits Nabi sambil memperhatikan status maupun validitas hadits. Semakin bertambahnya masa, kasus baru semakin sulit ditemukan di dalam nash Al Quran dan hadits. Ini mendorong generasi salaf untuk memakai metodologi qiyas dalam menentukan hukum. Itupun jika tidak ditemukan ijmak (kesepakatan) ulama masa sebelumnya.

Selain sumber hukum berupa Al Quran, hadits, ijmak, dan qiyas, ada pula sumber hukum yang dipakai oleh sebagai kalangan namun ditolak di kalangan lain (mukhtalaf fih). Misalnya, syariat sebelum Nabi Muhammad, pendapat penduduk Madinah, adat, istishhab, istihsan, maslahah mursalah, dan syaddudz dzari’ah.

Menurut satu pendapat, orang yang pertama kali membukukan ushul fikih ialah Abu Yusuf (mazhab Hanafi), namun karyanya tidak sampai pada kita. Ada juga yang berpendapat Ja’far Shadiq, namun karyanya juga tidak sampai pada kita. Sementara pendapat yang disepakati, orang pertama yang membukukan ushul fikih ialah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (150-204 H) dengan kitab ar-Risalah. (hlm. 34)

Buku dengan tebal hampir 500 halaman ini mengurai sejarah ushul fikih beserta teori-teorinya. Grand Mufti Republik Mesir itu menawarkan banyak teori dalam wajah baru, di antaranya dalam hujjiyyah, tsubut, dalalah, qath’i dan dhanni, qiyas, istidlal, serta fatwa. Dalam merumuskan hukum fikih, kita mestinya mengedepankan alur istinbath (penggalian hukum) dari suatu madzhab, bukan serta merta mengambil produk hukum dari madzhab tersebut. Karena masa ketika hukum itu diproduksi dan masa sekarang sudah berbeda. Yang masih sama ialah tujuan syariat yaitu menjaga maqashid syariah.

Dengan kajian yang detail dan amat mendalam, mestinya buku ini lebih cocok untuk kalangan santri dan akademis. Keilmuan penulisnya yang amat tinggi patut dipertimbangkan para produsen fatwa dalam menghasilkan suatu hukum. Intisarinya jelas bahwa fikih senantiasa berubah, sedangkan ushul fikih menjadi alat untuk menanggulangi perubahan-perubahan yang terjadi. Jika belum mampu pada derajat itu, pembaca awam paling tidak menjadi tahu alasan terciptanya suatu hukum; dari mana dan mengapa.