Ilustrasi muslimah saat berdoa usai shalat (sumber: meta.ai)

Tanpa kita sadari, kehidupan sehari-hari sering menempatkan kita dalam ritme yang serba cepat. Kita terbiasa terburu-buru menyelesaikan pekerjaan, membuat daftar target harian, dan berharap semua bisa selesai dalam waktu singkat. Di balik semua itu, ada keyakinan bahwa semakin cepat suatu tugas diselesaikan, semakin banyak hal lain yang bisa dikerjakan. Pola pikir ini terasa semakin kuat, terutama bagi mereka yang tinggal di kota besar, di mana waktu terasa begitu berharga dan ketepatan menjadi tolok ukur profesionalisme.

Namun, dalam dorongan untuk bergerak cepat, ada sesuatu yang kerap terlupakan: kualitas dan ketenangan batin. Pekerjaan yang dilakukan dengan tergesa-gesa sering kali kehilangan presisi dan kedalaman. Fokus terpecah, kreativitas meredup, dan yang tersisa hanya ketegangan yang tak perlu. Terburu-buru bukan hanya membuat hasil pekerjaan tidak maksimal, tetapi juga menciptakan ketegangan mental yang berdampak pada produktivitas jangka panjang.

Memberi jeda di tengah aktivitas bukanlah bentuk kemalasan, melainkan langkah strategis untuk menjaga fokus, kejernihan pikiran, dan keseimbangan emosi. Jeda memungkinkan kita untuk kembali menyelaraskan langkah, merenungkan proses, dan memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil benar-benar berasal dari kesadaran, bukan sekadar respons impulsif terhadap tekanan waktu.

Baca Juga: Menemukan Ketenangan Saat Membaca Al-Quran

Kebiasaan ingin serba cepat bisa jadi telah tertanam sejak kecil. Banyak dari kita dibesarkan dengan nasihat untuk selalu bergerak cepat—dari bersiap ke sekolah hingga menyelesaikan tugas rumah. Kalimat seperti “cepat, nanti terlambat” atau “jangan lambat, nanti kalah” menjadi mantra yang menancap dalam alam bawah sadar. Tanpa disadari, keyakinan ini terbawa hingga dewasa, bahkan masuk dalam ranah ibadah. Kita terbiasa merasa bersalah jika tidak cepat, atau merasa tidak nyaman jika tidak sedang mengerjakan sesuatu. Tak jarang, hal ini pun terbawa ke dalam sholat.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Padahal dalam Islam, kita justru diajarkan untuk melaksanakan sholat dengan penuh kekhusyukan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, khusyuk berarti penuh penyerahan dan kebulatan hati, sungguh-sungguh, serta penuh kerendahan hati. Haidar Bagir dalam bukunya Buat Apa Shalat? menjelaskan bahwa khusyuk adalah kesadaran penuh akan kerendahan (‘ubudiyyah) diri kita di hadapan keagungan Tuhan (Rububiyyah). Artinya, sholat harus dilandasi oleh kehadiran hati.

Sayangnya, kehadiran hati tidak bisa diperoleh jika sholat dilakukan dengan tergesa-gesa. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Tak akan diterima shalat seseorang yang dilakukan bagai seekor burung yang mematuk-matuk makanannya.” Seekor burung melakukan gerakan cepat secara instingtif, tanpa kedalaman makna. Maka, jika manusia melakukan sholat dengan cara yang sama—hanya sebagai rutinitas mekanis—nilai spiritual dari ibadah itu pun hilang.

Mihaly Csikszentmihalyi, seorang psikolog kenamaan, memperkenalkan konsep flow—sebuah keadaan mental ketika seseorang begitu tenggelam dalam aktivitas yang dilakukan dengan sepenuh hati. Flow bukan hanya membawa kebahagiaan, tetapi juga mendorong kreativitas. Menariknya, sholat yang dilakukan dengan khusyuk dan penuh kehadiran hati bisa menghadirkan kondisi flow ini. Dalam Islam, kita mengenalnya sebagai thuma’ninah, yakni ketenangan dalam menjalani seluruh bacaan dan gerakan sholat secara perlahan dan penuh makna. Melalui thuma’ninah, seseorang akan lebih mampu menghayati setiap detik dalam sholat, menjaga kedalaman spiritual sekaligus memperkuat kestabilan emosional.

Negara-negara Barat bahkan mulai menyadari pentingnya jeda dan ketenangan. Mereka mengenalnya sebagai meditasi, dan menyisihkan waktu di tengah padatnya aktivitas kerja hanya untuk menenangkan pikiran selama beberapa menit. Mereka percaya bahwa tanpa waktu untuk berhenti sejenak, kemampuan otak dalam memproses pekerjaan akan menurun seiring waktu. Maka, relaksasi atau meditasi menjadi cara untuk mengisi ulang energi mental.

Baca Juga: Menahan Amarah Demi Kedamaian Hidup

Jika meditasi menjadi kunci produktivitas di banyak negara, maka bagi seorang Muslim, sholat adalah bentuk tertinggi dari meditasi dan kontemplasi. Bukan hanya aktivitas spiritual, sholat adalah waktu jeda yang sempurna untuk menyelaraskan tubuh, pikiran, dan jiwa. Dalam tengah kesibukan, sholat lima waktu adalah momen-momen istirahat yang tidak hanya menenangkan jiwa, tetapi juga mengembalikan kejernihan berpikir, memperkuat niat, dan menumbuhkan kembali semangat kerja.

Dari sini kita bisa mengambil pelajaran bahwa dalam padatnya aktivitas, sholat bukan penghalang produktivitas—justru penunjangnya. Sholat yang dilakukan dengan khusyuk melatih kesadaran, kesabaran, dan ketenangan, yang semuanya adalah komponen penting dalam meningkatkan performa kerja. Kreativitas yang lahir dari pikiran yang tenang jauh lebih bermanfaat daripada hasil kerja yang terburu-buru namun dangkal.

Baca Juga: Cara Mudah Investasi Amal di Bulan Dzulqa’dah

Dan yang terpenting, kita perlu percaya bahwa apa yang menjadi bagian kita tidak akan tertukar. Ketika kita melakukan segala sesuatu dengan penuh kesadaran, hadir sepenuhnya, dan tidak tergesa-gesa, maka kebaikan akan datang tepat pada waktunya. Sebaliknya, secepat apa pun kita mengejar, jika itu bukan bagian kita, maka ia akan tetap menjauh. Maka, berhentilah sejenak, hadirlah dalam sholat, dan biarkan hati yang tenang memandu setiap langkah kita ke arah yang lebih berkah.



Penulis: Alfiatuz Zaqiyah, Mahasiswa KPI Unhasy.