Sepotong kue kasih sayang. (Foto: albii)

Aku memiliki seorang adik bernama Seto. Kami berdua adalah anak dari orang tua yang tinggal di daerah Jawa Tengah. Aku adalah mahasiswa di sebuah perguruan tinggi swasta, dan juga seorang aktivis yang cukup aktif di organisasi daerah. Adikku, Seto, dikenal sebagai anak yang bermasalah di sekolah, berandalan di salah satu SMA dekat kampusku. Jika dibilang kami berada di persimpangan, itu memang ada benarnya. Aku pikir orang tuaku tidak pernah dipanggil ke sekolahku dulu, tetapi setelah Seto ada, semuanya berubah. Rumah selalu ramai, selalu ada pertikaian, dan rasanya aku hampir tidak bisa menahan diri.

Setiap hari, baik pagi, siang, atau malam, selalu ada masalah yang timbul. Sebagai kakak, aku tidak bisa terus-terusan melihat kelakuan adikku yang seperti berandalan. Suatu hari, Seto datang dengan membawa surat dari sekolah.

“Nih, ada surat dari sekolah buat Bapak,” kata Seto sambil menyodorkan surat itu ke ayahku di ruang tamu.

“Surat apa lagi, ha? Hampir setiap bulan dapat surat terus!” jawab ayahku dengan nada nyolot.

“Hush, sudah, jangan berdebat!” sahut ibuku, mencoba melerai sambil menepuk pundak Seto.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Aku tidak berdebat, Buk. Ibu pikir Seto itu bakal kapok kalau ibu terus diam?” tanyaku pada ibu.

Di saat itu, aku benar-benar kesal. Ayahku hanya diam, sementara ibuku malah seakan-akan membiarkan surat dari Seto itu terjadi begitu saja. Apakah hanya aku yang waras di keluarga ini? Apakah memang aku yang tidak tahu cara mendidik anak? Pertanyaan-pertanyaan itu terus memenuhi pikiranku. Sebagai seorang mahasiswa yang juga memiliki banyak tugas, aku merasa tertekan dan hampir merasa depresi menghadapi semua ini. Apakah kejadian-kejadian di rumahku ini masuk akal?

Banyak hal yang sudah terjadi dan membuat pikiranku panas, sudah tidak terhitung lagi. Kalau bisa, seandainya aku bisa memilih, mungkin aku ingin kos saja. Namun, kadang aku juga merasa kesepian. Setiap pagi ada saja drama yang dibuat oleh Seto, seperti beberapa hari yang lalu.

“Set, bangun! Sudah subuh!” suara ibuku terdengar dari ruang TV.

“Hmm…” jawab Seto dari dalam kamar.

“Ayo, nak, bangun, sholat…” seru ibu.

“Iya, iya, cerewet…” jawab Seto sambil berjalan keras di depan aku.

Tanpa berpikir panjang, aku menamparnya.

“An***!” Seto berteriak keras, hingga ayahku yang mendengar dari luar masuk ke dalam.

Ayahku yang terkejut langsung menampar mulut Seto. “Mulutmu dijaga, Seto! Dibangunin untuk sholat malah ngomong kayak gitu, mau apa sih?” tegas ayahku.

Di sisi lain, ibuku hanya mengelus dada dengan sesekali meneteskan air mata.

“Kamu itu sudah disekolahkan biar jadi anak yang benar, anak yang bisa mengatur waktu, malah jadi berandalan kayak gini,” marah ayahku.

Aku hanya diam dan memandang Seto dengan tatapan tegas. Begitu juga dengan Seto, yang diam dengan 1000 bahasa di matanya, yang aku tahu itu adalah sebuah dendam.

Oh Tuhan, kenapa ini menjadi takdirku? Setiap hari aku selalu berdoa agar semuanya menjadi baik-baik saja, agar keluarga kami bisa harmonis seperti yang aku impikan. Namun, kenyataannya malah semakin buruk. Dari dulu aku tahu bahwa orang tuaku lebih sayang kepada Seto, dan dari situ aku mulai melatih diri untuk mandiri.

******

Aku mengikuti semua kegiatan di kampus yang memberikan feedback positif untukku. Aku juga sering ikut lomba akademik dan non-akademik, dan hadiah-hadiah yang aku dapatkan ku tabung untuk kebutuhan pribadi. Sejak awal kuliah, aku sudah mencari pekerjaan sampingan yang bisa aku jalani setelah kuliah, seperti menjadi tutor bimbingan untuk anak SD, SMP, dan SMA.

Kalau kalian bertanya aku mengambil jurusan apa, aku sengaja memilih jurusan pendidikan karena menurutku itu bisa mempermudah jenjang ke depannya. Aku memikirkan ini semua sejak aku di SMA. Ayahku yang bekerja di kantor PLN tidak tertarik jika aku mengajak diskusi tentang pendidikan. Ibuku, yang hanya seorang ibu rumah tangga, juga sibuk dengan pekerjaan rumahnya sehingga malas membahas kuliahku.

Sejak SMA, aku hanya diberi uang jajan 7 ribu rupiah untuk seharian penuh, dan aku harus pintar-pintar menyisihkan uang untuk kas atau iuran lainnya. Aku selalu membawa minum dari rumah, dan itu aku lakukan sampai sekarang di bangku kuliah. Aku adalah mahasiswa semester 4 yang akan memulai PPL di desa seberang. Semua persiapan sudah aku cicil dari sekarang, aku membeli keperluanku menggunakan uang tabunganku, karena setiap hari orang tuaku hanya memberiku uang jatah 15 ribu, itu pun hanya cukup untuk keperluan dasar.

Kembali ke persoalan adikku, yang semakin menjadi-jadi. Kali ini dia benar-benar membuat malu orang tuaku. Siang itu, Pak RT datang ke rumah, mengabarkan bahwa Seto sudah diarak warga ke balai desa. Hal itu membuat ibuku kaget dan menangis.

“Huu, maling! Maling! Maling!” teriak warga yang mengerubungi Seto.

“Stop, Bapak-bapak, Ibu-ibu, stop! Semua diam, mari kita selesaikan dengan baik-baik,” seru Pak RT mencoba melerai.

Aku hanya bisa memeluk ibuku dengan wajah yang tegas.

Pak RT mulai bertanya, “Seto, bagaimana ceritanya kamu bisa menjual ayam milik Pak Harto?”

“Ya, dijual lah, Pak,” jawab Seto dengan santai.

“Iya, kenapa?” tanya Pak RT tegas.

“Ya, butuh duit, Pak…” jawab Seto dengan wajah penuh lebam.

“Kamu tahu kalau mencuri itu perbuatan yang jelek, dapat berapa kamu dari ayam yang kamu jual?” tanya Pak RT.

“700 ribu,” jawab Seto.

“Mana uangnya?” tanya Pak RT.

“Abis,” jawab Seto.

“Ke mana? Untuk apa?” tanya Pak RT.

“Ya, buat jajan, rokok, banyak sih,” jawab Seto.

Di hadapan warga, Seto sudah menjatuhkan harga diri seluruh keluarga. Aku merasa sangat malu memiliki adik seperti itu. Aku pikir orang tuaku akan memberikan hukuman untuk Seto, tapi ternyata tidak. Seperti biasa, sehari marah, lalu biasa lagi.

Beberapa hari kemudian, aku berangkat untuk PPL dan tinggal di kos bersama teman karena jarak tempat PPL cukup jauh dari rumah. Untunglah, aku bisa merasakan sedikit ketenangan hati selama beberapa bulan. Singkat cerita, setelah selesai PPL, aku kembali ke rutinitas biasa: kuliah, bimbel, berorganisasi, dan terus mencari informasi perlombaan. Ada satu hal yang selalu aku sesali, kenapa aku tidak bisa mendapatkan beasiswa.

*******

Suatu hari, setelah pulang dari seminar kampus, aku membawa pulang nasi dan kotak jajan yang berisi roti-roti enak dan mahal. Aku menyisihkan roti itu untuk dibawa pulang, karena aku selalu ingat pada keluarga.

“Assalamualaikum…”

“Wa’alaikumsalam…”

“Nih, Bu, aku bawakan roti dari acara tadi. Enak-enak, lo… Cobain…” kataku pada ibu.

“Alhamdulillah, nanti nunggu adikmu saja ya,” jawab ibuku.

“Oke…” jawabku dengan nada datar, sambil masuk ke kamar.

Aku masuk ke kamar sambil mengelus dada. Pikiranku terus berputar-putar, tidak bisa menerima kenyataan yang terjadi. Kalimat “Nanti tunggu adikmu saja ya” terus menghantuiku. Mungkin Seto memang anak kesayangan mereka, tapi setelah semua kejadian ini, kenapa hal itu tetap terjadi?

Keesokan harinya, kotak jajan yang aku bawa masih ada di atas meja, hanya tinggal dua yang tersisa. Kebetulan itu adalah roti kesukaanku. Tanpa berpikir panjang, aku pamit pada ibu dan membawa roti itu.

“Ibuk, aku berangkat dulu ya ke kampus…” kataku sambil salaman dengan ibu.

“Iya, Nak, hati-hati.”

“Oh ya, ini kue yang kemarin aku bawa, tinggal dua,” kataku sambil menunjukkan roti yang kubawa.

“Eemm… tapi adikmu belum tahu kalau ada kue itu…” ucap ibu lirih dengan nada kasihan.

“Ok, nggak jadi aku bawa kok…” jawabku sambil tersenyum dan bergegas pergi.

Sepanjang jalan, hatiku bergumam, seistimewa apa sih Seto? Karena dia cowok? Karena dia penerus keluarga? Apa? Apa? Aku marah pada diriku sendiri dan tanpa sadar air mataku jatuh.

Hanya persoalan sepotong kue, yang sebenarnya aku yang mengalah untuk dibawa pulang. Giliran masih sisa dan itu kesukaanku, malah ibuku bilang begitu. Saat itu, aku merasa sendiri. Aku harus pintar-pintar memasang wajah bahagia di depan orang tanpa harus bercerita pada siapapun.

Tiga bulan kemudian, setelah aku selesai PPL, saatnya aku pergi KKN. Aku ditempatkan di desa yang banyak memproduksi roti, yang mengingatkanku pada kejadian itu. Aroma roti semerbak di jalan, dan aku teringat pada roti kesukaanku yang ada abonnya dan kejunya. Kebetulan ada yang memproduksi roti seperti itu. Singkat cerita, beberapa hari di sana, aku kenalan dengan banyak orang dan ikut membantu kegiatan UMKM.

Aku belajar cara membuat adonan roti, memilih bahan yang bagus, abon yang enak, dan keju yang lezat. Semua itu aku pelajari agar aku bisa membuat roti kesukaanku di rumah. Setelah 3 bulan KKN, aku ingat bahwa tabunganku sudah cukup untuk membuka kios roti kecil di teras rumah. Alhamdulillah, aku bisa mandiri dan yang terpenting, aku bisa menyenangkan hatiku sendiri.

“Pak, Bu, aku pengen buka usaha di teras rumah. Kemarin pas KKN, aku udah belajar banyak cara membuat roti yang enak, meskipun bukan roti bermerk…” kataku saat santai bersama orang tuaku di ruang TV.

“Dapat uang dari mana kamu?” tanya ayahku sambil menyeruput teh.

“Ya nabung lah, Pak, dari mana lagi…” jawabku.

“Terus kamu mau buka usaha sama siapa?” tanya ibuku.

“Sendirian lah, Bu, kan di teras rumah, usaha kecil-kecilan.”

“Ya terserah kamu lah…” jawab ayahku.

“Kalo ibu, terserah kamu, Nak. Kalau kamu suka buka usaha gitu, ibu doakan usahamu berhasil,” kata ibu.

Percobaan pertama, aku membeli bahan untuk membuat roti dan ternyata roti itu hampir mirip dengan roti kesukaanku. Aku sangat bahagia.

“Alhamdulillah ya Allah… akhirnya aku bisa buat sendiri dari hasil tabunganku,” kataku dalam hati.

Aku mulai memposting foto roti hasil buatanku di media sosial. Beberapa teman menanyakan dan memesan, meski pesannya belum banyak. Namun, itu sudah cukup sebagai cek ombak, apakah pelanggan puas atau tidak. Aku membuat 3 jenis roti kesukaanku, dan Alhamdulillah, teman-temanku membantu mempromosikan daganganku. Di kampus, aku juga menyebar selebaran produk. Alhamdulillah, banyak yang berminat. Setiap pulang kuliah, aku mampir ke toko bahan kue untuk belanja, dan malamnya aku sendiri yang membuat roti. Itu masih aku lakukan hingga sekarang.



Penulis: Albii