Upacara serentahun sebagai rasa syukur penganut sunda wiwitan. (Foto:web kompas)
Upacara serentahun sebagai rasa syukur penganut sunda wiwitan. (Foto:web kompas)

Indonesia dikenal dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika (Berbeda-beda tapi Tetap Satu) dengan keragaman agama, suku, ras, etnis, bahasa, dan budaya. Salah satu yang menjadi pembahasan di sini ialah keragaman agama. Agama atau kepercayaan di Indonesia sangatlah beragam, sedangkan mayoritas pemeluk agama di Indonesia adalah Islam. Tentu, bagi agama atau kepercayaan lain otomatis menjadi kalangan minoritas dan tidak jarang mendapatkan diskriminasi. Sunda Wiwitan menjadi sebagian kecil dari sekian banyak kepercayaan yang ada di Nusantara. Sunda Wiwitan merupakan penghayat kepercayaan yang diturunkan oleh para leluhurnya.

Seperti halnya agama lain, di Sunda Wiwitan ada sebutan bagi para pemimpin dan penganutnya. Girang Pangaping merupakan sebutan pendamping atau pengurus komunitas di Sunda Wiwitan, pemimpinnya dinamakan dengan Rama Pupu Adat, dan para penganutnya disebut warga adat. Jumlah penganut Sunda Wiwitan di Indonesia kurang dari 3000 individu yang berada di beberapa titik kabupaten, sebagian besar ada di daerah Kuningan, Tasikmalaya, Ciamis, Garut, Cibubur, Bandung, Banjar dan Majalengka.

Apa itu Sunda Wiwitan?

Maksud Sunda Wiwitan di sini bukanlah sunda etnis atau pun suku melainkan bermakna sunda filosofi yakni sunda sebagai titik pencerahan menyebarkan kedamaian atau penyempurnaan bagi manusia yang punya akal budi, dan pikir dan juga daya untuk bisa menyempurnakan di alam semesta. Makna Sunda Wiwitan adalah pribadi yang sudah menemukan kesadaran asali yang sejatinya mempertahankan nilai kemanusiaan, menguasai diri sendiri, mengenal jati diri mengapa hidup sebagai manusia.

Konsep ketuhanan di Sunda Wiwitan adalah Tuhan itu sang Hyang Mahakersa artinya antara yang menciptakan dan ciptaannya itu menyatu, tidak menuhankan melainkan dalam setiap ciptaanNya ada Dzat Agung, istilahnya disebut dengan Mupusti yaitu menghormati. Pada tahun 1800-an, tokoh adat pangeran Sadewa Madrais menggali lagi nilai spiritual para leluhur untuk menggugah rasa nasionalisme karena pada masa itu jika ingin merdeka harus mengenal diri dan bisa jaga diri.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kepercayaan ini sekarang dilanjutkan oleh generasi ke 4 yakni Pangeran Jati Kusuma. Tuntunan suci atau pedomannya adalah Sang Hyang Siksakandakersian, alkitabnya diajarkan bukan hanya dari yang tertulis tapi juga yang tersirat di alam.

Ritus Sunda Wiwitan

Beda dari yang lain, tempat ibadah Sunda Wiwitan tak terkhusus pada bangunan seperti masjid atau gereja, melainkan ada titik ruang di mana di situ untuk mengolah rasa yang disebut dapur ageng yakni mengendalikan rasa yang kita makan. Sedangkan dalam hal meneruskan keturunan atau pernikahan, di Sunda Wiwitan tidak disarankan menikah antar bangsa yang beda ras karena dianggap ada kesulitan nantinya.

Sunda Wiwitan juga mempunyai hari perayaan seperti Idul fitri, mereka menamainya “upacara serentahun” yang dilakukan pada kalender Saka Sunda bulan 12 menjelang bulan Suro yakni upacara syukur tutup tahun sambut tahun baru yang dilakukan selama 5 hari berturut-turut bahkan waktu sebelumnya dilaksanakan selama 40 hari 40 malam.

Bagi para penganutnya, untuk ritual harian ada ibadah semacam meditasi, kontrol diri sendiri, tidak ada doa meminta, hanya bersyukur kepada Sang Maha Pencipta atas nikmat di bumi yang dinamakan Wiwaha Yuda. Biasanya dilakukan setengah jam dengan menyalakan api sebagai simbolis yang dilakukan dua kali menjelang terbit matahari dan menjelang terbenam matahari.

Api sebagai simbolis bahwa dalam tubuh kita ada api yang mengandung sifat menyelamatkan dan membahayakan diri sendiri. Disarankan pula untuk pribadi-pribadi penganut Sunda Wiwitan agar berpuasa di hari lahirnya. Tidak sama seperti puasanya umat muslim dari pagi sampai sore. Penganut Sunda Wiwitan hanya mengatur jadwal 3 hari sebelum hari lahir dengan membatasi makan seperti daging, sayur mayur dan lain-lain.

Lanjut pada kehidupan setelah kematian disebut dengan Para Malanyep/Moksa, kembali kepada yang menciptakan. Tidak ada kehidupan lagi seperti kata pepatah “yang menabur akan menuai”, berbuat kebaikan atau keburukan akan dibayar tunai di dunia, tidak ada reinkarnasi hanya saja karakter-karakter yang belum disempurnakan akan menempel pada wujud atau makhluk lain.

Dalam beragama tentu ada sedikit banyak stigma-stigma yang muncul. Sunda Wiwitan ini mendapatkan stigma sebagai aliran yang sesat karena menyembah api, nikah kumpul kebo, minum keringat pemimpinnya dan lain-lain. Namun seiring kemajuan informasi yang seimbang stigma tersebut banyak berkurang.

Masih dalam stigma yang dialami Sunda Wiwitan yakni masalah fasilitas pemakaman. Tak seperti kepercayaan lain yang disediakan tempat pemakaman oleh negara, Sunda Wiwitan mengalami kesulitan karena ada penyegelan tanah padahal itu tanah milik mereka sendiri. Hal itu terjadi karena adanya provokasi dari pihak luar sehingga menghambat fasilitas untuk pemakaman kepercayaan Sunda Wiwitan.

Tak hanya Sunda Wiwitan, kepercayaan lain di Nusantara juga mengalami stigma dan diskriminasi yang tidak jauh berbeda. Contohnya ketika hendak mendaftar pekerjaan terhambat karena pilihan dalam ‘aplikasi’ yang terbatas, tentunya menyulitkan bagi mereka yang menganut agama selain yang tertera. Sebagai negara yang bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika, tentunya kita harus saling menghormati antar agama atau kepercayaan untuk menjaga kesatuan perbedaan di Nusantara dan begitu pula menjadi tugas pemerintah untuk memberikan fasilitas keagamaan atau kepercayaan bagi mereka yang minoritas. 


Ditulis oleh Fitriatul. H, mahasiswi komunikasi di IAI Al-Qolam Malang dan lulusan Pondok Pesantren Lirboyo