(tengah) Pemimpin Redaksi Majalah Tebuireng, Septian Pribadi foto bersama Peserta Diklat Kader Pesantren Tebuireng.

Oleh: Septian Pribadi*

Cara mengetahui sejarah dari sebuah instansi tidak hanya dapat dilihat dari pandangan sebuah bangunan fisik saja. Tetapi dalam melihat sebuah fakta sejarah diperlukan sebuah bukti tulisan yang dapat memberikan sebuah informasi secara valid tentang bagaimana pergolakan dan perkembangan isntansi tersebut di masa silam.

Pesantren Tebuireng yang saat ini telah memasuki usia 123 Tahun, telah melewati banyak perjalanan panjang. Salah satu bukti yang dapat ditelusuri dari perjalanan panjang Pesantren Tebuireng adalah hadirnya Majalah Tebuireng yang pernah eksis pada tahun 80-an.

Majalah Tebuireng pertama kali terbit pada April 1986. Pada edisi perdana tersebut KH. Yusuf Hasyim selaku pengasuh ke-6 Pesantren Tebuireng memberikan kata sambutan pada bagian awal majalah, yakni “Salah satu kelemahan kaum pesantren adalah bidang bahasa tulisan, yang sementara berlaku bahasa lisan. Apabila hal ini tidak segera dibenahi secara serempak maka transfer keilmuan dan keagamaan kaum pesantren akan tertinggal jauh dalam perubahan masyarakat yang melaju cepat. Sehingga pada waktunya, justru akan mengalami alienasi (keterasingan) di tengah pergumulan sejarah dan modernitas.”

Fakta menarik seputar perjalanan panjang Majalah Tebuireng telah melewati masa surut. Sebagaimana penjelasan di atas bahwa Majalah Tebuireng perdana terbit pada April 1986 dengan harga jual saat itu sebesar, Rp.850. Majalah Tebuireng ini muncul pasca 87 tahun lamanya Pesantren Tebuireng didirikan yakni, 1899-1986.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Tapi, sayangnya Majalah Tebuireng harus mati suri setahun kemudian setelah pendiriannya, yakni pada tahun 1987. Hal ini disebabkan dengan permasalahan finansial dalam percetakan Majalah Tebuireng.

Pada tahun 2007, yang mana saat itu Pesantren Tebuireng dipimpin oleh KH. Salahuddin Wahid, Majalah Tebuireng kembali hidup. Hal ini berangkat dari keinginan KH. Salahuddin Wahid membuat media cetak di Pesantren Tebuireng.

Adapun menurut penuturan para alumni, bahwasanya sebelum beberapa pondok pesantren besar di Jawa Timur, Pesantren Tebuireng telah menggagas terlebih dahulu pendirian majalah pesantren. Hal ini bisa dilihat dari data yang mana, Pesantren Lirboyo  baru pertama kali menerbitkan majalah pesantren pada tahun 1986 M. Hal ini disusul dengan Pesantren Langitan yang menerbitkan majalah pesantren pula pada tahun   1990 M. Lalu disusul dengan oleh Pesantren Babakan Ciwaringin, 2000 M, Pesantren Gontor 2003 M, dan Pesantren Sidogiri pada tahun 2005 .

Meskipun pada pendirian majalah Pondok Pesantren Lirboyo bersamaan dengan tahun berdirinya Majalah Pesantren Tebuireng. Faktanya di era 80-an, Pesantren Tebuireng menjadi pelopor dan penyelenggara lokakarya Jurnalistik yang dihadiri oleh seluruh pesantren di tanah Jawa. Sebagai upaya bersama meningkatkan budaya tulis–menulis di pesantren.

Fakta tersebut diperkuat dengan bukti tulisan yang terdapat di Majalah Misykat (Majalah Pondok Pesantren Lirboyo) sebagaimana berikut ini; “tepatnya pada tahun 1986, Lirboyo berkesempatan mengirimkan delegasinya (Kru Majalah Dinding Hidayah) untuk mengikuti lokakarya kejurnalisan di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Acara tersebut diikuti oleh perwakilan pesantren yang ada di tanah Jawa. Inti kegiatan itu adalah agar dalam lingkungan pesantren budaya menulis kian berkembang seperti yang disampaikan oleh KH. Ishomuddin Hadziq.”

*Pemimpin Redaksi Majalah Tebuireng.
Disampaikan dalam forum Diklat Kader Pesantren Tebuireng pada 10 April 2022.

Pentranskip: Dimas Setyawan