Oleh:  Nur Ifana*

 

Kabut menyelimuti kawasan pondok pesantren Nurul Huda saat adzan subuh berkumandang. Dinginya kabut yang menemani aktivitas para santri di pagi hari tidak menurunkan rasa semangat mereka untuk tetap menjalankan kewajibannya di rumah sang Robb.

Perasaan haru dan sedih menyelimuti jiwa Ana saat mendengar lantunan pujian “Allahumma barik lana fi rojaba.,. wa sya’bana wa ballighna ramadhana.,” lantunan pujian yang biasanya dilantunkan di awal bulan rajab dan menyambut bulan suci ini, membuat hatinya terenyuh dan menjadikan butiran air matanya membasahi wajah imutnya.

“An… ayo imamnya sudah mulai sholat “, ajak Dina saat Ana hanyut dalam air mata.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

****

Seusai jamaah shubuh selesai, Ana dan Dina masih tinggal sebentar di masjid. Dina yang merupakan teman akrabnya di pondok, mencoba untuk  mendekati ana yang masih terpaku diam dalam lamunanya. “An ,. kenapa kamu pagi ini tidak ceria seperti biasanya?”, tanya Dina dengan nada rendah. Namun hanya suara isak Ana yang terdengar yang menjadi isyarat bahwa dirinya tak kuasa untuk berkata – kata.

***

Pukul 07.00 wib saat bel memanggil – manggil para siswa – sisiwi, Ana dan Dina bergegas untuk menuju kelasnya masing – masing. “Di buka di dalam kelas saja!”, Ana menyodorkan sepucuk surat kepada Dina.

“Aku kangen ayah Din. Ayah tak akan mungkin menemani aku lagi saat bulan suci tiba nanti“, buliran air mata pun menetes saat Dina membaca sepucuk surat dari Ana.

***

Satu tahun silam ana dan keluarganya hidup tanpa kepala keluarga. Ayahnya meninggal dunia saat ana kelas 3 SMP. Akhirussanah dan tasyakuran pelepasan kelas IX SMP Al Amin yang di selenggarakan bertepatan dengan hari kartini merupakan moment yang paling tidak bisa ia lupakan. Saat itu teman – temanya bercanda tawa dan bahagia, sedangkan Ana dengan perasaan cemas menunggu kehadiran ayah tercintanya. Seusai jamaah subuh, ayahnya memberi kabar bahwa dirinya dalam perjalanan menuju Tegal, tempat dimana Ana menimba ilmu saat itu. Hampir 6 jam ana menunngu ayahnya yang tak kunjung datang.

“Pekalongan- Tegal biasanya mah Cuma 3 – 4 jam ya ris?”, curhat Ana kepada Riska yang merupakan teman seperjuangannya dari pemalang.

“Iya, mungkin macet An..sekarang kan hari kartini,., pasti di jalannya ramai bangeeeetsz”, dengan alay dan logat yang medok Riska menaggapi curhatan Ana.

Hingga Acara ditutup dengan pengumuman bintang pelajar dan mushofahah antar siswa dan guru, sang Ayah tak kunjung menunjukkan diri. Dekapan hangat dari ibu khoiriyah menyelimuti tubuh ana mencoba menenangkan gadis itu. “Sabar ya nak! Semua pasti ada hikmahnya”, Ana terkejut saat bisikan halus keluar dari lisan wali kelasnya itu.

Dalam hatinya ana bertanya-tanya, “Kenapa harus sabar,. Memangnya kenapa? Bukannya Bu Khoiriyah seharusnya senang karena saya bisa menjadi bintang pelajar lagi. Kenapa ibu malah menyuruh say sabar?“ ucap ana dalam benak hatinya.

“Iya buk, memangnya sabar kenapa ya Buk?”, tanya Ana dengan rasa penasaran. Bu Khoiriyah yang tak kuasa untuk mengatakan sesuatu yang mungkin tak pernah Ana bayangkan. Mencoba untuk menenangkan hati Ana, Bu Khoiriyah mengajak Ana ke kantor.

Saat tiba di depan kantor, Ana merasakan hal yang menjanggal dalam hatinya. Di luar orang-orang sibuk dengan keramaian yang mendadak seperti pasar tumpah. Ana mulai penarasan. Segala jenis pertanyaan terbentuk menjadi imajinasi-imajinasi kecil. Sosok wanita jangkung dan ramping berdiri di tengah pintu menatapnya kososng. Ana kenal siapa dia, Tante Ria.

“Tante Ria? Kok tante yang ke sini? A…..yah…. di mana Tante?”, tanya Ana dengan terbata – bata. Secara reflek anak berlari, tak kuasa membendung butiran air matanya saat tantenya memeluk erat tubuhnya.

“Sabar ya nak, kita doakan aja semoga ayah di terima di sisiNya.” Terjawab sudah kegelisahan dan pertanyaanya beberapa waktu terakhir. Air mata itu adalah air mata kesedihan sebab seseorang dalam relung hatinya dijemput oleh kawanan pasukan Tuhan. Ayah, itulah sebutan orang itu baginya. Ya, dia meninggalkan Ana disaat seharusnya ia memberikan senyuman. Akhirus Sanah itu berubah memerah.

****

Senin ini adalah awal dimana bulan rajab dimulai. Gadis bungsu dari 3 saudara ini, teringat pesan ayahnya tiga tahun sebelum meninggal. “Nak, bacalah doa ini “Allahumma Barik Lana fi Rojaba wa Ballighna Romadhona” setiap habis sholat. Di dunia ini kita tidak ada yang tahu kapan masa aktif kita akan berahir”, pesan alm. Ayahnya saat ana hendak hijrah ke tegal untuk menimba ilmu.

“Sungguh nikmat yang terindah di mana  kita bisa menikmati bulan suci dengan hati yang bersih nak, tak ada rasa bahagia selain kumpul dan berdoa bersama saat bulan suci tiba” belajar yang rajin nak, jangan lupa baca doa itu, hanya tiga bulan lagi bulan suci ramadhan akan menyapa kita. “ kata terahir dari sang ayah sebelum keberangkatannya dengan kereta beroda manusia.

Mengingat kata-kata itu, semangatnya mulai memuncak kembali. Serasa ayahnya selalu ada di setiap butiran aura semangatnya. Ada di setiap kepalan tangannya dan ada di setiap tetesan keringat perjuangannya sekarang dan masa depan.

“ Aku bisa, aku sayang Ayah. Aku akan wujudkan cita – cita ayah, fisikiawan yang berjiwa qur’ani” tulis Ana dalam kertas yang ditempelkan di dinding lemari bajunya. Kata – kata ini merupakan pembangkit semangat saat dirinya terpuruk dalam kesedihan.***

Terik matahari menemani perjalanan ana menuju lingkungan barunya. Pasca SMA dirinya memutuskan untuk melanjutkan studinya di UNDIP semran. Ma’had Tahfidzul Qur’an merupakan tempatnya berteduh seiring mendalami ilmu fisika yang disukainya.

Adzan dzuhur yang berkumandang membuat langkahnya terhenti untuk memenuhi panggilan illahi robbi. Di sebuah surau kecil yang Ana temukan saat perjalanan menuju ma’had barunya. Saat itulah Ana menelepon tuhan dan memulai curhat ilahi tentang kisahnya dan meminta petunjuk memulai perjuangan baru.

“Hanya doa yang bisa aku kirimkan  untukmu ayah tercinta. Pesan dan nasehatmu kan ku jadikan bahan bakar untuk menghidupkan rasa semangat dalam hidup ini“,  ana motivasi dirinya sebelum beranjak meninggalkan rumah Sang Illahi dan beranjak menggapai mimpi indahnya.

 

*Mahasiswa Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Semester 4

Aktif di Sanggar Komunitas Penulis Muda Tebuireng (Kepoedang)