
Namanya Ustadz Hafizh. Tetanggaku sejak kecil. Dulu, waktu kami masih bermain lompat tali di pekarangan, beliau sering lewat sepulang ngaji di pesantren. Tak banyak bicara, hanya menunduk dan melempar senyum. Tapi ibuku selalu berkata, “Anak itu… soleh, nak. Kalau kamu besar, insyaAllah cocok.”
Waktu bergulir, dan aku tumbuh jadi santri putri di pondok pesantren yang sama. Sementara beliau, selepas menyelesaikan pengabdiannya sebagai ustadz muda, sering datang ke rumah untuk silaturrahmi. Tidak pernah langsung mencari aku. Tapi selalu ada sepiring roti isi kesukaan yang dititipkan untukku. Katanya, “Tolong bilang ke Salma, semangat belajarnya.”
Aku mulai terbiasa. Aku mulai menunggu. Dan ketika ayahku menyampaikan bahwa beliau ingin meminangku, hatiku seolah sudah lama siap.
Pernikahan kami sederhana, khidmat, dengan iringan doa para kiai dan bidadari-bidadari pondok yang menangis haru. Hafizh menjadi suamiku, teman ngajiku, dan sahabatku. Kami sering ziarah bersama ke makam para wali, menyusuri jalan-jalan sunyi sambil bertukar doa. Bahkan sempat ke Gunung Muria, katanya ingin sekali menyusuri jejak para ulama bersamaku.
“Kalau nanti kita punya anak,” katanya suatu malam sambil menyelimuti kakiku, “aku ingin dia ngaji sejak bayi. Biar tumbuh di bawah naungan ilmu.”
Tapi tahun demi tahun berlalu, dan tak ada tangis bayi di rumah kami. Kami tetap saling mencintai, tapi diam-diam aku tahu, hatinya resah. Sampai suatu hari, keluarganya memintanya untuk menikah lagi.
Aku menangis, tapi tidak menyalahkan siapa-siapa. Aku hanya bilang, “Kalau itu jalan yang Allah tunjukkan, aku ikhlas.”
Hari akadnya datang. Baju putih telah disiapkan. Tapi pagi itu, tubuh Hafizh mendadak lemas. Ia terjatuh di depan rumah. Dan sebelum sempat ditangisi oleh dua istri, Allah memanggilnya… ketika namaku masih satu-satunya di hatinya.
Ia meninggal dalam senyum. Tanpa pernah beristri dua. Tanpa pernah mengkhianati cintaku.
Kini, tiap aku ziarah ke makamnya, aku bawa bunga melati yang dulu ia tanam bersamaku di halaman. Di batu nisannya, hanya tertulis satu nama istri: Salma, istrinya yang pertama… dan terakhir.
Hari-hari setelah kepergian Hafizh, terasa hampa. Rumah ini sunyi. Sorban yang biasa ia gantung di balik pintu masih terlipat rapi. Buku-buku tafsirnya masih terbuka di meja. Hanya aku yang tak lagi bisa memanggilnya pulang.
Sampai suatu sore, ketika aku merasa mual berulang kali. Ibu membujukku untuk memeriksakan diri. Dan di ruang kecil itu, dokter tersenyum, “Selamat, Bu. Anda hamil muda.”
Dunia seperti berhenti berputar. Aku menatap langit-langit, berusaha menahan air mata. Ternyata Allah masih menyisakan bagian dari Hafizh untukku. Ternyata doanya tentang anak itu belum selesai.
****
Malam itu, aku membersihkan lemari pakaiannya. Tanganku menyentuh sebuah map kecil yang tersembunyi di balik gamis putihnya. Di dalamnya, ada sepucuk surat, tulisan tangan yang sangat kukenal:
“Untuk Salma, istriku yang kucintai karena Allah…”
“Kalau aku tidak sempat mengucapkan ini langsung, ketahuilah… bersamamu adalah ibadah terindah dalam hidupku. Aku tahu kau lelah, aku tahu kadang kau menangis di sepertiga malam, memohon anak yang belum datang. Tapi Salma, kau sudah sempurna di mataku. Kau adalah jawaban dari doaku selama mondok.”
“Kalau nanti Allah takdirkan aku pergi duluan, jangan bersedih terlalu lama. Tapi aku mohon, teruslah hidup dalam jalan ilmu. Dan jika Allah beri kita anak setelah aku pergi… tolong ajarkan ia mencintaiku, lewat cerita-cerita tentang cinta yang tak pernah selesai.”
“Aku sudah siapkan dua tiket ini—haji dan umrah. Harusnya, setelah akad keduaku, aku ingin mengajakmu dulu pergi ke Baitullah. Aku ingin kau jadi yang pertama kudampingi ke sana. Tapi sepertinya Allah lebih dulu memanggilku pulang…”
Tanganku gemetar. Dua lembar tiket haji dan umrah jatuh dari map itu. Tertulis jelas namaku di sana. Air mataku tumpah tak tertahan.
Malam itu, aku sujud lebih lama dari biasanya. Membisikkan doa yang sama seperti saat pertama kali kami menikah.
“Ya Allah, titipkan rinduku pada dia yang kini tak lagi bisa kujemput, tapi selalu ada di setiap detak cintaku…”
Dan sejak saat itu, tiap aku ziarah ke makam Hafizh, aku bawa bunga melati… dan janji baru: bahwa anak kami akan tumbuh dalam cahaya, seperti cita-citamu dulu.
Penulis: Wan Nurlaila Putri
Editor: Rara Zarary