
Kisah hidup seorang tokoh besar selalu menarik untuk dibaca, terlebih jika otentisitasnya tinggi. Hal ini dapat ditemui dalam buku autobiografi, yaitu buku yang berisi riwayat hidup yang ditulis sendiri oleh tokoh tersebut (definisi KBBI).
Guruku Orang-orang dari Pesantren adalah sebuah buku autobiografi yang ditulis oleh KH. Saifuddin Zuhri, diterbitkan pertama kali sekitar tahun 1974. Sebagai sebuah autobiografi, isinya sudah dapat diprediksi, yakni kisah hidup KH. Saifuddin Zuhri mulai dari masa kecil hingga dewasa.
Saya sendiri belum selesai membaca keseluruhan buku ini; sekitar 250 halaman yang sudah saya baca. Meskipun demikian, saya dapat menyimpulkan bahwa melalui buku ini, KH. Saifuddin Zuhri ingin menunjukkan bahwa dirinya adalah produk pesantren. Saat menulis buku ini, beliau sudah menjadi tokoh besar, dan kebesaran tersebut merupakan hasil dari perjalanan panjang dengan pesantren dan guru-gurunya sebagai akar kebesarannya.
Pada bagian awal buku, KH. Saifuddin Zuhri menyuguhkan cerita tentang tradisi anak-anak kampung yang belajar mengaji di surau-surau, termasuk dirinya. Ketika sudah agak besar, beliau tinggal di pondok-pondok pesantren, hingga akhirnya menjadi seorang guru dan aktif dalam perjuangan agama dan bangsa. Semua kisah ini disajikan dengan detail yang cukup mendalam, dengan gaya penyampaian yang sering kali mengutip langsung percakapan dan pengalaman beliau. Karena itu, buku ini, serta beberapa autobiografi beliau yang lain, sering dijadikan referensi sejarah yang dapat dipercaya.
Namun, pilihan untuk mendetailkan peristiwa-peristiwa tertentu juga menimbulkan kekurangan. Kisah-kisah yang diceritakan terkesan subjektif dan sempit, hanya dari sudut pandang satu orang saja, berbeda dengan buku sejarah yang melihatnya secara lebih luas. Hal ini bisa menjadi kelemahan ketika buku ini diposisikan sebagai karya sejarah.
Salah satu bagian yang saya sukai dalam buku ini adalah kisah pengalaman KH. Saifuddin Zuhri ketika berkunjung ke Tebuireng dan bertemu dengan Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Membaca bagian ini membawa saya membayangkan bagaimana kondisi Pesantren Tebuireng pada masa itu. Salah satu hal yang mengesankan adalah kesaksian KH. Saifuddin Zuhri bahwa Hadratussyaikh dan Kiai Wahid menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa percakapan sehari-hari, sebuah tradisi yang kini sudah jarang ditemukan di Tebuireng.
Terakhir, saya ingin menambahkan bahwa buku ini memiliki pasangan buku lainnya yang juga ditulis oleh KH. Saifuddin Zuhri, yaitu Berangkat dari Pesantren. Buku ini juga merupakan autobiografi yang dapat memberikan pemahaman lebih dalam tentang sosok beliau. Saya belum melacak dengan pasti mana yang ditulis lebih dulu antara Guruku Orang-orang dari Pesantren dan Berangkat dari Pesantren, namun saya menduga Guruku Orang-orang dari Pesantren adalah yang lebih dahulu diterbitkan.
Saya kira, sebagian besar senior pesantren yang gemar membaca pasti pernah membaca buku KH. Saifuddin Zuhri ini. Jika bukan Guruku Orang-orang dari Pesantren, pasti Berangkat dari Pesantren. Bahkan, ketika Mas Rahmat melihat anak saya membawa buku ini, beliau langsung berkomentar, “Khatam buku itu, lanjut Mbah Wahid ya, Zil.” Hal ini membuktikan bahwa buku ini sangat berguna untuk memahami tradisi pesantren dengan lebih intim. Oleh karena itu, jangan mengaku sebagai ‘orang pesantren’ yang melek literasi jika belum membaca buku ini, terutama bagi calon kiai besar.
Judul: Guruku Orang-orang dari Pesantren
Penulis: KH. Saifuddin Zuhri
Penerbit: LKiS
Tahun: 2008 (Cetakan III)
Tebal: xii + 446 Halaman
Peresensi: M. Syahrul Ramadhan