“Let the state of your good actions speak louder than your statements about doing good actions, (Biarkan perbuatan-perbuatan baikmu berbicara lebih lantang daripada pernyataanmu mengenai perbuatan-perbuatan baik),”
(Syaikh Muhammad bin Yahya an Ninowi).
Oleh: Yayan Musthofa*
Seorang jagoan retorika Muslim kelahiran 1058 M, Ḥujjatul Islām Imam al-Ghazali sudah familiar namanya hingga hari ini. Bahkan, gurunya sendiri, Imam al-Haramain al-Juwaini, memberikan legitimasi keilmuan dengan ungkapannya, “Engkau telah menguburku hidup-hidup dengan karya-karyamu. Tidakkah kau bersabar sejenak sampai aku mati, baru engkau tuliskan ide gagasanmu?”. Ketika itu Imam al-Ghazali masih berusia sekitar 18-25 tahun masa produktifnya.
Cendikiawan Muslim yang satu ini memang cerdas. Hampir semua keilmuan dilahap dengan otodidak, termasuk filsafat. Begitu juga dengan tasawuf, ia pelajari sendiri dengan membaca karya-karya Abu Thalib al Makki, Imam al Harits al Muhasibi, Imam Junaid al Baghdadi, al Syibli, dan Abu Yazid al Busthami. Walaupun hasilnya berakhir resah dan bertambah gelisah mempelajarinya.
Sampai suatu ketika dia bertemu dengan kiai kampung, Abu Ali al-Fadhl al-Farmadi yang memberikan saran kepadanya bahwa tasawuf itu adalah ilmu terapan, maka memperbanyak zikir dan ibadah adalah kuncinya. Ini awal dari ketentraman hati Abu Hamid al-Ghazali. Dari kunci awal yang diberikan kiai masjid di atas, Imam al-Ghazali akhirnya berimprovisasi lagi dengan bermuhasabah. Karena kunci awal yang diberikan Abu Ali adalah obat bius, yang masih menimbulkan sakit resah dan gelisah ketika fungsinya sudah habis.
Dari hasil muhasabah yang dilakukan, muncul suatu petunjuk. Bahwa yang dilakukan selama itu adalah “ghairu khālishatin liwajhillāh”, salah niat. Apa yang dinasihatkan Abu Ali ternyata belum dijalankan secara totalitas oleh Imam al-Ghazali meskipun akhirnya mendapatkan petunjuk tersebut, “salah niat”. Dalam zikir dan ibadahnya, mengajar dan berbuat kesehariannya, masih belum sepenuhnya liwajhillah (untuk Allah semata). Penemuan penting ini menjadi kunci titik balik sang orator handal yang dirundung gelisah tersebut sampai pada titik ketentraman.
Dari pengalaman Imam kita yang satu ini, jagoan retorika pada zamannya, cendikiawan muslim sampai hari ini, dan embel-embel yang masih banyak lagi untuk beliau. Setidaknya ada beberapa yang perlu kita saku dan manfaatkan. Pertama, bahwa tasawuf itu tidak hanya sebatas wacana untuk dibaca, tapi juga dipraktikkan. Zikir, tidak sedikit yang sudah tahu, sudah dipraktikkan? Shalat Duha, tidak sedikit yang sudah tahu, sudah dipraktikkan? Sedekah, tidak sedikit yang sudah tahu, sudah dipraktikkan? Ilmu pengetahuan, tidak sedikit yang punya, sudah ditularkan? Berlaku adil, tidak sedikit yang sudah mengetahui, masih dijadikan slogan belaka?
Masalah hati, nafsu, dan bala tentaranya berupa pernak-pernik kemanusiaan, itu akan dibenahi sedikit demi sedikit seiring berjalannya waktu. Seperti halnya Imam al-Ghazali, mengamalkan zikir dan ibadah dari nasihat kiai masjid, di pertengahan jalan kembali resah lagi seperti obat bius, kemudian bermuhasabah dan menemukan niat yang lurus liwajhillah setelah menjalaninya. Itu membutuhkan waktu, tapi setidaknya sang imam sudah menjalani saran untuk berzikir.
Kedua, tingkat keilmuan, pengetahuan, dan kecerdasan seseorang belum tentu menentramkan hidup serta menjamin kedudukannya. Bisa jadi yang berilmu pas-pasan selevel kiai kampung, Abu Fadhl tadi misalkan, ternyata bisa memberikan petunjuk-petunjuk yang jitu pada diri Imam Besar al-Ghazali.
*Alumnus Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng dan aktif di Unit Penerbitan Pesantren Tebuireng