Sumber gambar: www.google.com.

Oleh: Yayan Mustofa*

Setidaknya ada dua persamaan antara sehat dan sakit. Pertama, sama-sama pemberian Allah SWT. Kedua, sama-sama memiliki dua potensi. Potensi mendekatkan individu pada Allah dan potensi menjauhkan diri dari Allah SWT, wal iyadzu billah. Tentang perbedaan sehat dan sakit, sudah terlalu jelas.

Ada yang menilai bahwa sakit adalah cobaan, ujian, peringatan, bahkan juga ada yang menilai sebagai azab. Kalau saya pribadi lebih memilih pendapat yang mengatakan bahwa sakit adalah bentuk kasih sayang Tuhan pada hambaNya, sebagai husnudhan seorang hamba pada Allah SWT. Tentunya, selama seorang hamba tidak mengingkari eksistensiNya sebagai penguasa alam raya.

Yang sering teledor justru ketika sehat. Ini sebagai cobaan, ujian, peringatan, atau memang kasih sayang Allah SWT. Secara eksistensi sama. Sama-sama pemberian Tuhan, dan sama-sama memiliki potensi buruk. Bahkan sehat lebih memungkinkan berpotensi buruk ketimbang sakit, meskipun potensi taat juga banyak.

Seperti halnya perumpamaan Ibnu Athaillah As-Sakandari. Ketika doa seorang hamba langsung dikabulkan, jangan-jangan karena Allah SWT ingin kita lekas menjauh dariNya. Begitu juga kesehatan. Jangan-jangan kita jarang diberi sakit, memang agar kita selalu lupa padaNya. Allah SWT tidak menginginkan rintihan kemesraan dari kita tatkala sakit. Atau dikasih sakit, tapi kesadaran kita tetap dilupakan padaNya. Waliyadzu billah.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dari sini setidaknya ada beberapa titik tekan yang harus dilakukan oleh seorang hamba pada Tuhannya. Pertama, berusaha selalu mengingat Allah, baik ketika sehat maupun sakit. MenyebutNya dengan kesadaran penuh, merasa butuh seperti ketika sakit di kala sehat, bersyukur seperti ketika sehat di kala sakit, dan semisalnya.

Kedua, selalu berintrospeksi diri. Setidaknya pagi dan petang. Baik ketika sehat maupun sakit. Ini akan menjadikan seorang hamba lebih bijak ketimbang sebelumnya, sehingga bisa menopang ketaatan pada sang Ilahi. Baik yang berskala privat maupun luas. BPJS, KIS, LSPT, dan lembaga sosial lainnya bisa kita kategorikan hasil refleksi dan muhasabah diri dalam hal kesehatan yang berdampak luas di sini. Dari sini, bentuk syukur seorang hamba akan lebih kompak dan serempak pada Allah SWT.

Ketiga, selalu mempersiapkan diri secara mental, minimal. Siap sehat dan siap sakit. Jangan sampai kesehatan membabibutakan penglihatan hati nurani sehingga sedikit sekali waktu yang dipakai mengingat Allah SWT. Mudah berbuat zalim dan kerusakan karena lupa menyadari kalau dalam detik berikutnya, Allah SWT bisa berkehendak sesukaNya. Ini karena persiapan mental diri kita harus terus diasah agar selalu siap, baik dikasih sehat maupun sakit. Jangan sampai juga ketika diberi sakit, yang muncul adalah keluhan-keluhan yang menjadikan seorang hamba semakin jauh, seakan-akan tidak menerima kebijakan itu tanpa mengambil hikmah dan introspeksi, seakan-akan juga berontak dan tidak terima. Naudzu billahi min dzalik.

*Redaktur Pustaka Tebuireng