Gambaran seseorang yang sedang merenungi hidup. (sumber: indonesiainside)

Ada masa dalam hidup ketika kita merasa sangat jauh dari cahaya. Bukan karena kita tak tahu jalan kembali, tapi karena kita merasa terlalu kotor untuk pulang. Merasa diri yang sangat berdosa, berkali-kali. Kita berjanji untuk berubah, lalu jatuh lagi. Kita menangis dalam sujud, lalu tergelincir lagi. Sampai akhirnya, kita lelah dengan diri sendiri dan bertanya dalam hati: “Masih pantaskah aku berharap ampunan-Nya?”

Pertanyaan itu menyayat hati, karena lahir dari rasa sesal yang dalam. Tapi juga bisa berbahaya, karena jika tidak dijawab dengan iman, ia akan berubah menjadi keputusasaan. Dan keputusasaan adalah jebakan paling halus dalam hidup seorang hamba.

Bayangkan seseorang yang sejak muda menjalani hidup tanpa arah. Ia tumbuh dalam lingkungan yang jauh dari agama, terbiasa dengan kebiasaan buruk, dan merasa dunia adalah tempat bersenang-senang tanpa batas. Ia menyakiti banyak orang, membohongi keluarganya, lalai dari salat, bahkan meremehkan aturan Allah.

Saat usia bertambah dan hati mulai merasa hampa, ia mulai sadar. Tapi kesadaran itu bukan datang dengan cahaya, melainkan dengan rasa takut dan malu. Ia melihat ke belakang dan hanya menemukan dosa yang menumpuk: zina, mabuk, maksiat, korupsi, dan kebohongan. Ia menangis dalam sepi, tapi tak punya keberanian untuk benar-benar kembali.

“Apakah Allah masih mau menerimaku setelah semua ini?” pikirnya. “Bukankah aku terlalu jahat untuk diampuni? Bukankah aku sudah melewati batas?”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Baca Juga: Menahan Amarah Demi Kedamaian Hidup

Putus asa adalah senjata setan yang paling rapi. Ia tidak selalu menyuruh kita berdosa, tapi cukup membisikkan bahwa Allah tidak akan mengampuni. Ia membentuk keyakinan palsu bahwa ampunan hanya untuk orang yang bersih. Maka setan pun berkata: “Percuma kau tobat, toh besok juga mengulang. Percuma kau salat, toh kau bukan orang suci. Kau sudah terlambat.”

Padahal, keputusasaan itu sendiri adalah dosa besar. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

۞ قُلْ يَـٰعِبَادِىَ ٱلَّذِينَ أَسْرَفُوا۟ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا۟ مِن رَّحْمَةِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغْفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلْغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ ٥٣

Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. Az-Zumar: 53)

Ayat ini ditujukan kepada hamba-hamba-Nya yang telah melampaui batas dan melakukan dosa, menyuruh mereka untuk tidak berputus asa dari rahmat Allah dan mengajak untuk bertaubat. Allah menjanjikan pengampunan atas segala dosa dan mengingatkan bahwa Dia Maha Pengampun dan Maha Penyayang.

Satu dosa besar manusia adalah menganggap kecil kasih sayang Allah. Kita terlalu sering menilai Allah dengan ukuran manusia. Kita berpikir, kalau manusia saja bisa muak dan marah ketika dikecewakan berulang kali, apalagi Tuhan?

Padahal, Allah tidak seperti manusia. Ampunan-Nya tidak bertepi, kasih sayang-Nya tidak bersyarat. Bahkan ketika seorang hamba datang dengan dosa sebesar gunung, Allah tetap menyambutnya jika ia sungguh-sungguh ingin berubah.

“Anas bin Mālik raḍiyallāhu ‘anhu meriwayatkan, Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, “Allah -Tabāraka wa Ta’ālā- berfirman, ‘Wahai anak Adam! Selama engkau berdoa dan berharap kepada-Ku, Aku ampuni semua dosamu yang telah kamu lakukan, sedang Aku tidak peduli. Wahai anak Adam! Jika dosamu setinggi langit kemudian engkau meminta ampunan kepada-Ku, niscaya Aku ampuni, sedang Aku tidak peduli. Wahai anak Adam! Jika engkau datang kepadaku dengan membawa kesalahan sepenuh bumi, kemudian engkau bertemu dengan-Ku dalam keadaan tidak menyekutukan-Ku sedikit pun, niscaya Aku datang kepadamu dengan ampunan sepenuh bumi pula.'” [Hasan], [HR. Tirmizi], [Sunan Tirmizi-3540]

Baca Juga: Sholat sebagai Oase Ketentraman di Tengah Kehidupan yang Serba Cepat

Ini bukan sekadar janji, tapi bukti betapa luasnya rahmat Allah. Maka siapa pun kita, seberapa pun hitam masa lalu kita, jangan pernah percaya bahwa Allah muak dengan kita. Justru, Allah mencintai hamba yang kembali setelah jauh, yang menangis karena dosa, yang terus berjuang memperbaiki diri meskipun sering gagal.

Kadang, kita menunda tobat karena merasa belum siap jadi baik. Kita berpikir, “Kalau aku belum bisa istiqamah, buat apa tobat? Nanti munafik.” Tapi ini adalah pemahaman yang keliru. Tobat bukan tentang berubah total dalam semalam. Tobat adalah tentang niat tulus untuk kembali, disertai usaha terus-menerus untuk lebih baik.

Allah tidak menuntut kesempurnaan, tapi ketulusan. Kita boleh terjatuh, tapi jangan tinggal dalam jatuh. Kita boleh gagal, tapi jangan berhenti mencoba. Bahkan jika kita kembali berdosa setelah tobat, tetaplah kembali lagi, dan lagi. Karena Allah tidak pernah bosan memberi ampun, selama kita tidak bosan meminta.

Saat seseorang benar-benar bertobat, Allah tidak hanya menghapus dosanya. Dalam banyak riwayat, Allah bahkan mengganti dosa itu dengan pahala. Ya, dosa yang dulu membuat kita hancur bisa berubah menjadi pahala karena penyesalan dan perbaikan yang tulus.

Maka tak ada alasan untuk berlama-lama dalam penyesalan tanpa arah. Dosa masa lalu bisa menjadi pelajaran berharga, bisa menjadi jalan untuk mengenal Allah lebih dalam, bisa menjadi alasan kita berubah dan menjadi hamba yang jauh lebih baik.

Allah selalu menunggu jika hari ini kamu sedang merasa gelap karena dosa, ketahuilah bahwa kamu tidak sendiri. Banyak orang baik hari ini juga pernah melakukan kesalahan besar di masa lalu. Tapi mereka memilih untuk bangkit, bukan menyerah.

Baca Juga: Setelah Bertaubat Melakukan Maksiat, Apakah Taubat Diterima?

Jangan biarkan masa lalumu mencuri masa depanmu. Jangan biarkan bisikan setan membuatmu lupa bahwa Allah Maha Pengampun. Selama nyawa belum sampai di tenggorokan, pintu taubat selalu terbuka.

Allah tidak meminta kita menjadi sempurna, tapi Allah mencintai hamba yang pulang. Dan pulang berarti mengakui kesalahan, menangis dalam doa, dan melangkah pelan-pelan menuju cahaya. Jangan tunda lagi. Bangkitlah. Allah masih mencintaimu. Bahkan lebih dari yang kamu tahu.



Penulis: Albii
Editor: Rara Zarary