Ujian nasional atau UN jenjang SLTA sudah digelar Senin (13/4) sampai Rabu (15/4). Sebanyak 2.804.664 siswa kelas akhir SLTA menghadapi enam mata ujian. Rinciannya, ada 1.632.757 peserta dari SMA/MA dan 1.171.907 siswa SMK. Dibanding tahun lalu, sekolah penyelenggara UN tahun ini lebih banyak. Yaitu 18.552 sekolah SMA/MA dan 10.362 sekolah SMK. (Jawa Pos, 13/4)

 

Sekolah Bermartabat

Pada tahun 2015 ini, langkah revolusioner diambil Mendikbud Anies Baswedan. UN tidak lagi menjadi patokan kelulusan seorang siswa dari sekolah. Kelulusan siswa dikembalikan sepenuhnya kepada pihak sekolah.

Filosofinya, pihak sekolah (baca : guru) yang mengetahui keseharian siswa. Selama tiga tahun masa pendidikan, guru merekam track record siswa di sekolah. Tidak sekedar dalam perkembangan belajar. Namun, yang jauh lebih penting, adalah perbaikan sikap yang ditampilkan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kebijakan ini memutus mata rantai kebiasaan UN pada hampir dua dekade terakhir. Biasanya, kelulusan siswa ditentukan oleh hasil UN. Hasilnya, tidak jarang banyak siswa yang “bernasib kurang beruntung” saat menghadapi UN.

Belum hilang kasus tahun 2007 yang menghebohkan di media massa. Beberapa siswa yang menjadi juara olimpiade sains tingkat nasional tidak lulus UN. Bahkan, saat itu banyak siswa yang sudah dinyatakan diterima di kampus-kampus Eropa dan Amerika bernasib sama. Tidak bisa kuliah di kampus bergengsi karena nilainya tidak lulus UN.

Kondisi bertolak belakang dialami beberapa temannya yang bernasib baik. Dengan kehadiran yang pas-pasan, banyak siswa yang “terpaksa” harus diluluskan karena dinyatakan lulus nilai UN. Itu belum diperparah dengan kondisi sikap yang ditunjukkan. Hal ini seolah menjadi kebiasaan yang mencengangkan.

Upaya “pengembalian” kelulusan siswa kepada sekolah yang dilakukan Mendikbud Anies Baswedan ini patut diapresiasi. Ini adalah langkah cerdas untuk menjadikan sekolah lebih bermartabat di hadapan masyarakat. Pihak-pihak yang selama ini berusaha menafikan perjuangan besar guru dalam mencerdaskan anak bangsa tentu akan berpikir ulang.

Ketergantungan mereka dengan metode cepat dalam menjawab soal akan mulai berkurang. Yang harus dikuasai adalah penguasaan konsep sebuah sains. Ini bisa terwujud hanya dengan perjuangan guru dalam mentransformasikan sains.

Dalam konteks perkembangan sikap, siswa tentu akan berpikir ulang untuk cuek terhadap proses pembelajaran bersama guru. Selama ini, siswa berpedoman dengan logika sederhana : lulus UN berarti selesai sekolah. Tidak jarang siswa juga “kebablasan” dalam berfokus kepada mata pelajaran yang diujikan saat UN. Seolah semua aktivitas tidak penting selain UN dan UN.

Ini sudah tidak berlaku lagi dengan kebijakan baru dari Mendkbud Anies Baswedan. Mantan rektor Universitas Paramadina Jakarta ini telah membuka lembaran baru bagi dunia pendidikan yang sangat penting. Bahwa sikap siswa selama tiga tahun juga menjadi prioritas utama dalam meluluskan siswa dari sekolah. Bukan lagi sekedar angka-angka hasil UN.

Ke depan, konsistensi Mendikbud Anies Baswedan tentu akan diuji dengan pertimbangan-pertimbangan non-akademik. Terutama “nasib” para owner dari lembaga bimbingan belajar. Namun, setidaknya Anies Baswedan sudah membukakan mata bahwa UN memang bukan tolok ukur kelulusan siswa. Ini sudah dijamin dalam Pasal 58 UU Nomoer 20/2003 tentang Sisdiknas. Bahwa kelulusan siswa ditentukan oleh satuan pendidikan (sekolah), bukan UN.

Sehingga, benar yang dikatakan Soenarto (2004), guru besar evaluasi pendidikan di Universitas Negeri Surabaya. Bahwa sudah seharusnya hasil UN bukan untuk meluluskan siswa dari sekolah. Tapi untuk memetakan kualitas pendidikan antar sekolah dan antar daerah.

 

Langkah Maju

UN tahun 2015 ini juga satu langkah lebih maju dibanding tahun lalu. Ketergantungan UN kepada hasil tes dari lembar jawaban, diantisipasi dengan adanya computer based test (CBT). UN model ini menggunakan perangkat lunak berupa komputer.

Secara on line, peserta mengerjakan soal yang diujikan. Meski bentuk dan bobot soal masih sama, yaitu pilihan ganda. Siswa tidak disibukkan dengan mengisi daftar hadir dari kertas. Terlebih khawatir jika lembar jawaban basah, sobek, terlipat ataupun berlubang.

UN model CBT ini memang masih tahap uji coba. Pesertanya pun “baru” sekitar 170.000 siswa yang tersebar di 543 sekolah. Rinciannya, 138 sekolah SMA dan 405 sekolah SMK. Selain sekolah yang ditunjuk, tahun ini UN masih digelar dengan berbasis lembar jawaban kertas. Model terakhir ini sering disebut dengan paper based test (PBT).

Mengingat baru pertama kali digelar, CBT masih mengalami berbagai kendala di banyak daerah. Terutama server yang tidak bisa berkecepatan sesuai harapan. Ketersediaan fasilitas komputer beserta standarisasi software juga menjadi alasan tersendiri bagi sekolah.

Kondisi ini belum jika ditambah dengan kemungkinan padamnya listrik di sekolah. Tidak mengherankan jika ada beberapa sekolah yang mengundurkan diri saat ditunjuk sebagai penyelenggara CBT. Namun hal itu tidak menyurutkan niat Kemendikbud untuk merealisasikan konsep CBT.

 

Agenda Bersama

Kedua langkah revolusioer yang sudah diambil Mendikbud Anies Baswedan patut diapresiasi. Ekspektasi tinggi dari masyarakat terhadap kemajuan penyelenggaraan UN harus direspon secara bijak. Kedua langkah itu menjadi bukti bahwa Anies Baswedan “tidak sedang bercanda” dalam memajukan dunia pendidikan di Indonesia.

Langkah bijak ini juga harus didukung dengan piranti-piranti terkait perbaikan mutu pendidikan. Kesejahteraan guru juga harus terus ditingkatkan. Sebagai ujung tombak mutu pendidikan, guru tidak sekedar pahlawan tanpa tanda jasa. Guru adalah sebuah penuntun “orang buta” bernama siswa. Tidak sekedar ilmu, guru juga sudah memberikan kasih sayang dan teladan bagi siswa di setiap harinya. Perjuangan tanpa lelah itu tentu tidak bisa dinilai hanya dengan uang.

Implementasi kurikulum 2013 yang masih compang-camping juga menjadi pekerjaan besar bagi Mendikbud Anies Baswedan. Kualitas instruktur nasional harus terus dioptimalkan. Tidak sekedar menyampaikan hasil traning of trainer (ToT) dari Jakarta. Penyusunan buku pedoman terbitan dari Kemendikbud juga harus mengutamakan mutu. Bukan sekedar copy paste hanya karena mengejar deadline terbit.

Di atas itu semua, kedua langkah cerdas Mendikbud Anies Baswedan di atas adalah oase bagi dunia pendidikan Indonesia. Sebagai seorang guru, penulis tentu angkat topi dengan “keberanian” Mendikbud ini. Tidak sekedar rutinitas, UN sudah ditempatkan sebagai jaring laba-laba untuk “menangkap” generasi bangsa bermutu. Sehingga, pada saatnya nanti, diharapkan Indonesia akan berbicara banyak dalam berbagai kompetisi di dunia internasional. Semoga.

 

*oleh : Mukani, guru SMAN 1 Jombang dan mantan wakil ketua Mahasiswa Alumni Tebuireng di Surabaya (Manteb’S) Alamat : Jln. Mawar No. 30, Ds. Kwaron, Kec. Diwek, Jombang 61411. HP. 081-8593394.