
Oleh: Moehammad Nurjani*
Tahun baru Hijriah 1446. Jangan salah sangka, kalau tahun baru Islam sudah ada sejak zaman Rasulullah. Perlu dimengerti kalau tahun hijriah dimulai sejak kekhalifahan Umar bin Khatthab. Jangan berpikiran juga, ini bidah yang sesat dan akan memasukan ke neraka, seperti aliran sebelah. Kita perlu tahu, sebenarnya gak semua bidah itu sesat. Selagi suatu hal yang baru tersebut tidak menyalahi aturan islam, hal itu bukan suatu yang sesat.
Tahun Hijriah muncul karena ada suatu kejadian. Bermula dari seorang gubernur di zaman kekhalifahan Umar bin Khattab yaitu Abu Musa Al-Asy’ari. Ketika mengurusi berkas-berkas di kantornya, ia merasa kebingungan, lantaran berkas-berkas di sana hanya ada tanggal dan bulan tanpa mengtahui tahun ke berapa berkas itu ada. Gegara hal tersebut, ia mengadu masalahnya kepada Khalifah Umar bin Khattab.
Saat mengetahui masalah itu, Sang khalifah mengumpulkan para sahabat untuk mendiskusikan penetapan tahun untuk agama Islam. Terdapat ikhtilaf di antara sahabat. Ada yang berpendapat, penetetapan tahun Hijriah dimulai dari kelahiran Rasulullah. Tapi ternyata hal itu sangat sulit perkiraannya, sebab tidak ada patokan pasti kapan Rasulullah lahir. Ada pula yang berpendapat agar dimulai sejak pengangkatan Nabi Muhammad dan ada lagi usul sejak wafatnya Rasulullah.
Dari sekian pendapat, akhirnya para sahabat sepakat dengan usulan Sayidina Ali, yaitu memulai tahun Islam sejak hijrahnya Rasulullah ke Madinah. Sehingga penamaan tahun islam dengan hijriah berasal dari kejadian hijrah Beliau.
Baca Juga: Sejarah Penanggalan Hijriyah dan Kemuliaan Muharram
Tak lama setelah itu, para sahabat mulai kebingungan. bulan apa yang akan mereka jadikan bulan pertama. Lantaran Bulan Muharram hingga Bulan Dzulhijjah itu sudah ada sejak sebelum islam datang tanpa ada tahunya. Karena itu seakan-akan semua bulan itu sambung tanpa ada ujungnya. Akhirnya para sahabat memilih Bulan Muharram, karena bulan ini jatuh setelah bulannya orang haji yang telah diampuni semua dosanya.
Kemuliaan dan Sejarah Bulan Muharram
Ada empat bulan yang Allah muliakan, yaitu: Dzulqadah, Dzulhijjah, Muharam, dan Rajab. Pada zaman dahulu, di saat keempat bulan itu tidak boleh melakukan peperangan mereka malah melakukannya, sehingga tak jarang dari mereka berperang di Bulan Muharram dan mengganti tidak perang di Bulan safar. Hal tersebut terjadi karena nama bulan Muharram dulunya adalah Safar Awal. Anggapan mereka Safar awal dan Safar tsani adalah sama.
Karena seringnya orang dulu membolak balik bulan safar awal dengan safar tsani, Allah mengubah nama safar Awal denga Muharram sehingga muharram juga disebut sebagai bulanya Allah. Bukan berarti bulan Muharram saja bulannya Allah, melainkan semua adalah bulannya Allah. Penyebutan tersebut pada Bulan Muharram hanya karena Allah yang langsung memberi namanya.
Pada bulan-bulan mulia, jangan sampai berbuat dosa. Karena pada bulan-bulan tersebut kita akan mendapat dosa dua kali lipat sebagaimana amalan baik. Maka kata Muharram dapat berarti bulan yang diharamkan, karena adanya larangan keras berbuat dosa saat bulan itu dan berperang. Juga bisa berarti bulan yang dimuliakan, karena segala amalan baik di keempat bulan itu akan Allah lipat gandakan.
Dalam Al-Quran sendiri, Allah telah menjelaskan empat bulan yang mulia sekaligus larangan untuk berbuat zalim di bulan-bulan itu. Yaitu pada surah At-Taubah ayat 36. Hanya saja, penjelasan tentang bulan mulia dalam Al-Quran belum spesifik, karena cuma menerangkan adanya empat bulan mulia tanpa mencantumkan namanya.
Sehingga terdapat hadis yang lebih spesifik menjelaskan apa saja bulan-bula mulia itu. Dalam hadis dari Abu Bakrah RA yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya, zaman berputar sebagaimana ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun ada 12 belas bulan. Di antaranya 4 empat bulan haram (suci), tiga bulan berurutan, yakni Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, kemudian bulan Rajab suku Mudhar, antara Jumadil Tsani (Jumadil Akhir) dan Sya’ban.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Seluk Beluk Hari Asyura
Selain ada bulan mulia juga ada hari mulia. Terdapat tiga macam sepuluh hari yang mulia: sepuluh hari pertama bulan Muharram, sepuluh hari pertama Bulan Dzul Hijjah, dan sepeluh hari terakhir Bulan Ramadhan. Bahkan terdapat hari mulia yang berada di sepeluh hari mulia yaitu hari Asyura dan hari kesepuluh di Bulan Muharram.
Seberapa mulianya hari Asyura yang termasuk hari mulia yang di sepeluh hari mulia. Terlebih lagi puasa di hari Asyura adalah puasah yang lebih mulia setelah puasa Ramadan. Sebegitu istemewanya hari Asyura hingga tidak ada satu hari yang Rasulullah tunggu kecuali hari tersebut.
Ternyata bukan orang islam saja yang melakukan puasa Asyura, orang yahudi pun melakukannya. Puasa Asyura mereka lakukan karena mengikuti nabi mereka yaitu Nabi Musa. Dulu, setelah selamat dari kejaran Fir’aun, Nabi Musa melakukan puasa sebagai wujud syukur kepada Allah yang telah menyelamatkannya. Kerena mengetahui itu, umatnya juga ikut berpuasa. Sehingga setiap Hari Asyura menjadi kebiasaan orang Yahudi untuk berpuasa.
Baca Juga: Tahun Baru Islam: Sejarah Kalender Hijriyah
Meski orang Yahudi telah melakukan puasa Asyura terlebih dahulu, bukan berarti anjuran puasa di Hari Asyura itu ikut-ikutan dengan ajaran mereka. Melainkan anjuran puasa di Hari Asyura, mencontoh perilaku Nabi Musa. Toh Nabi Musa juga nabi kita, tidak ada salahnya kita mencontohnya. Oleh karena itu, supaya tidak terlalu persis dengan orang Yahudi, kita juga sunah berpuasa di hari Tasuah, hari kesembilan, atas usulan seorang sahabat yang Rasulullah menyetujuinya.
Tapi yang namanya ajal tidak ada yang tahu. Sebelum menemui tahun berikutnya Rasulullah telah wafat dahulu, sehingga belum sempat berpuasa di Hari Tasuah. Meski begitu puasa Tasuah tetap sunah walaupun Rasulullah belum melakukannya. Karena bagaimanapun puasa hari Tasuah telah Rasulullah kehendaki. Dulu juga, sebelum Allah memerintah berpuasa di bulan Ramadan, puasa di Hari Asyura hukumnya wajib hingga Allah mengganti perintahnya.
*Mahasantri Mahad Aly An-Nur II Al-Murtadlo.