Sebuah ilustrasi kebersamaan di bulan Ramadan (sumber: pngtree)

Tahun 2005, desa Sikumbang masih seperti yang kuingat. Pagi itu, aku bangun lebih awal, merasa sangat ingin pergi ke rumah kakek Widura. Setiap bulan Ramadan, rumah kakek adalah tempat paling nyaman untukku. Kakek selalu memiliki cara untuk menghidupkan suasana, memberi makna lebih pada setiap detik yang berlalu. Kami akan duduk di teras, menunggu azan subuh, dan kakek akan bercerita tentang masa lalu, mengingatkan kami tentang makna Ramadan yang sesungguhnya. Beliau tak pernah lelah memberi nasihat, terutama tentang bagaimana menjaga hati di bulan yang penuh berkah ini.

Suatu pagi, sambil duduk di teras bersama kakek, aku mengungkapkan keraguanku. “Kakek, aku takut nggak bisa puasa dengan baik tahun ini.” Kakek menatapku dengan penuh kasih sayang, lalu menyentuh kepalaku lembut. “Shella,” kata kakek, “Ramadan bukan soal kesempurnaan, tapi tentang niat dan usaha kita. Allah akan menilai usaha kita, bukan hasilnya.” Aku terdiam, merasa tenang dengan kata-katanya. Kakek bukan hanya penyayang, tetapi selalu tahu cara membuatku merasa dihargai dan dicintai. Saat itu, aku merasa, kakek adalah pendukung terbesarku dalam hidup.

Namun, ada satu kejadian yang membuatku merasa jauh lebih aman dengan kakek daripada siapapun. Suatu hari, saat aku sedang bermain di halaman rumah, Paman Najib datang menghampiriku. Wajahnya selalu tampak aneh dan membuatku tidak nyaman. Tiba-tiba, ia mendekat dan berkata, “Ayo, Shella, ikut Paman sebentar ke dalam.” Senyumannya terasa tidak wajar, dan aku langsung merasa takut.

Aku pun lari menuju rumah, masuk dan langsung mengunci diri di kamar. Beberapa menit kemudian, Bibi Tina datang mencariku dengan wajah marah. “Shella!” suaranya terdengar keras. “Kenapa kamu berbuat begitu pada suamiku? Menggoda suamiku, Najib!” Aku terkejut dan mencoba menjelaskan, tapi Bibi Tina sudah terlanjur marah. “Jangan bohong, Shella! Aku tahu apa yang kamu lakukan pada suamiku!” katanya, menyalahkanku tanpa memberi kesempatan untuk berbicara.

Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Bibi Tina, yang biasanya ceria dan mudah dibodohi, kini menganggap aku yang salah. Setiap kata yang aku keluarkan hanya membuatnya semakin marah. “Kamu harus minta maaf pada suamiku!” bentaknya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Aku merasa cemas dan terasing, merasa tak ada yang membelaku. Paman Najib sudah pergi, tetapi pengaruhnya sangat kuat. Bibi Tina, yang terlalu percaya pada suaminya, langsung menuduhku tanpa mendengarkan penjelasanku. Aku merasa terpojok, tak ada yang bisa menenangkan hati ini.

*****

Beberapa hari kemudian, aku pergi ke rumah kakek. Aku sangat ingin menceritakan apa yang terjadi, berharap kakek akan mengerti dan memberi penjelasan yang bisa menenangkan pikiranku. Setibanya di rumah kakek, suasana yang damai langsung menyambutku. Kakek duduk di kursinya yang selalu, dengan senyum yang selalu membuatku merasa aman. Aku langsung menghampirinya, duduk di sampingnya, dan mulai bercerita.

“Kakek,” kataku dengan suara gemetar, “Paman Najib… dia mendekatiku lagi, dan Bibi Tina marah besar padaku.” Aku menceritakan semua yang terjadi bagaimana Paman Najib memperlakukanku dengan tidak wajar dan bagaimana Bibi Tina menuduhku menggoda suaminya.

Kakek mendengarkan dengan seksama, wajahnya berubah serius. “Shella,” katanya dengan tegas, “Kamu tidak salah. Paman Najib yang salah, bukan kamu.” Kakek meraih tanganku dan menggenggamnya dengan lembut. “Tina terlalu mudah dibodohi oleh suaminya. Tapi kamu harus tahu, Shella, kamu tidak sendirian. Aku akan selalu melindungimu.”

Mendengar kata-kata kakek, aku merasa tenang. Kakek selalu tahu bagaimana menenangkan perasaanku. Meskipun Bibi Tina tidak mempercayai ceritaku, dan meskipun ibu mungkin tidak akan mengerti, kakek adalah satu-satunya orang yang selalu mendukungku. Dan saat itu, aku tahu, apapun yang terjadi, kakek akan selalu ada untukku.

Seiring berjalannya waktu, aku selalu kembali ke rumah kakek setiap kali ada masalah. Aku tak pernah berhenti bercerita padanya, mencari kenyamanan dan perlindungannya. Namun, pada pertengahan tahun 2007, dunia seolah runtuh. Kakek, yang selalu menjadi sumber kekuatanku, tiba-tiba jatuh sakit. Serangan jantung membuatnya terbaring lemah, dan dalam sekejap, kakekku yang penuh kasih itu pergi untuk selamanya.

Aku tidak percaya. Rasanya semuanya berubah tanpa kakek di sisi. Semua percakapan yang pernah kami lakukan, semua nasihat yang beliau berikan, kini hanya tinggal kenangan. Tanpa kakek, aku merasa seolah kehilangan arah. Ramadan tahun itu terasa sangat sunyi—tanpa suara lembut kakek yang selalu mengingatkan pentingnya bersyukur dan menjaga hati. Kepergian kakek membuatku sadar, aku harus belajar untuk lebih kuat, meskipun tanpa sang pendukung utama yang selalu ada dalam hidupku.

Namun, ada kabar yang tak aku duga. Ibu, yang dulu tak pernah percaya padaku, kini mulai melihat semua yang aku alami. Suatu hari, ketika kami sedang berbicara di ruang tamu, ibu tiba-tiba berkata, “Shella, maafkan ibu. Ibu baru sadar bahwa kamu tidak bohong. Paman Najib… dia memang tidak baik.”

Aku terkejut. Ibu yang selama ini selalu membela adiknya, akhirnya mengakui kebenaran ceritaku. Perasaan lega mengalir dalam diriku. Meski kakek sudah tiada, setidaknya kini ibu mulai memahami dan percaya padaku. Ini adalah awal yang baru, meskipun terasa pahit tanpa kehadiran kakek yang selalu menjadi penopang hidupku. Kini, aku harus belajar untuk melangkah dengan kekuatan yang aku dapatkan dari kenangan tentang kakek dan pengakuan ibu yang akhirnya percaya padaku.

Kemudian, ibu mulai menceritakan kisah yang selama ini ia simpan. Matanya terlihat berkaca-kaca saat ia bercerita.

“Shella,” ibu mulai dengan suara lembut, “selama ini, Kakek Widura selalu bicara tentang kamu, meskipun ibu tak percaya. Kakek tahu tentang semua yang terjadi di rumah, tentang Paman Najib dan bagaimana kamu merasa tidak nyaman. Beliau selalu bilang, ‘Risa, jangan biarkan Shella merasa sendirian, dia butuh dukungan kita.’ Tapi ibu terlalu terfokus pada adik ibu, sampai akhirnya ibu sadar… ibu sudah lama salah.”

Aku terdiam, merasa hati ibu kini mulai terbuka. “Tapi kenapa, Bu? Kenapa ibu tidak mendengarkan Kakek?” tanyaku pelan, mencoba memahami.

Ibu menatapku dengan tatapan penuh penyesalan. “Karena ibu takut kehilangan keluarga. Ibu selalu merasa adik ibu itu baik, meskipun ibu tahu ada yang salah. Tapi Kakek selalu mengingatkan ibu untuk lebih bijak dan mendengarkan hati nurani. Hanya saja, ibu butuh waktu untuk membuka mata.”

Ibu memegang tanganku dengan erat. “Kini, setelah Kakek pergi, ibu baru benar-benar sadar. Maafkan ibu, Shella. Maafkan ibu yang selama ini tidak percaya padamu.”

Air mata ibu mengalir, dan aku merasakan kepedihan yang sama. Tapi di balik rasa sakit itu, ada rasa lega yang sangat besar. Ibu kini percaya padaku, dan meskipun kakek sudah tiada, aku tahu aku tidak sendirian lagi.



Penulis: Albii