ilustrasi. Sumber: RRI

Program Makan Bergizi Gratis, sebagaimana kita ketahui bersama, telah berjalan beberapa waktu lalu. Tentu saja program yang dicanangkan oleh Pak Presiden & Pak Wakil Presiden Republik Indonesia terpilih ini bertujuan baik. Paling tidak, dengan adanya program ini anak-anak sekolah mendapatkan asupan gizi yang baik di samping bertujuan untuk menekan angka stunting di negeri ini ke depannya.

Terlepas dari tujuan baik tersebut, akhir-akhir ini ramai pemberitaan di sosial media tentang beberapa sikap dan tindakan yang ‘kurang tepat’ dilakukan kepada anak-anak sekolah. Menurut penulis, setidaknya ada tiga persoalan utama dalam hal ini. Mulai dari anak makan ‘ditunggui’ aparat, anak dilarang berkomentar dan memfoto menu makanan yang disajikan, hingga ada tokoh influencer publik yang berkata tak mengenakan hati di media massa gegara ada sekelompok anak yang protes karena menu makanan yang disajikan tidak mereka sukai.

Program Makan Bergizi Gratis dalam Sorotan

Ya, beberapa sikap dan tindakan yang ‘kurang tepat’ ini perlu dikoreksi bermasa. Sebab, sikap dan tindakan tersebut bisa memiliki dampak yang tidak baik bagi mental para siswa. Bagaimana bisa begitu? Oke, kita bahas satu-satu.

Pertama, tentang anak makan ‘ditunggui’ aparat. Kalau ini kita telisik secara mendalam, mungkin bisa jadi sebenarnya tujuannya baik. Yakni, ingin menertibkan atau mendisiplinkan anak agar kondusif ketika makan.

Tapi, bagi anak-anak, bisa saja yang mereka rasakan ketika makan tapi ditunggui seperti itu (apalagi oleh aparat yang berseragam, sehingga relatif menimbulkan rasa takut bagi mereka) bisa jadi adalah merasa tertekan, bahkan terpaksa untuk menghabiskan makanan di depannya, entah mereka sebenarnya selera dengan menunya dan ingin menghabiskannya ataukah tidak.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kalau niatnya ingin benar-benar menumbuhkan sikap disiplin dan tertib dalam diri anak, cara yang digunakan seharusnya tidak demikian. Namun, seyogyanya menerapkan metode disiplin positif sebagaimana yang digaungkan oleh para guru penggerak dan komunitas sejenis selama ini.

Metode disiplin positif ini sendiri, ada dua kategori. Ada disiplin jangka pendek dan jangka panjang. Untuk disiplin jangka pendek, bisa dengan menerapkan teknik reward & punishment. Gambaran sederhananya, guru memberikan satu peraturan yang disepakati oleh semua siswa. Bagi yang taat aturan, akan mendapatkan reward (yang sederhana saja, tidak perlu muluk-muluk; misalnya: diberikan 1 ‘bintang’, sehingga di rapot nanti jadi nilai plus berkelakuan baik).

Sebaliknya, bagi yang tidak taat, akan dikenakan punishment (yang sewajarnya saja, tidak memberatkan, atau bahkan membahayakan siswa; misalnya: dikurangi 1 ‘bintang’, sehingga di rapot nanti nilai plus berkelakuan baik berkurang).

Kemudian, untuk disiplin jangka panjang, bisa ditempuh dengan cara menumbuhkan ‘kesadaran’ anak akan pentingnya sikap disiplin dan tertib dalam melakukan suatu hal, termasuk dalam hal makan siang. Mungkin guru bisa mendesain lingkungan belajar menjadi sedemikian rupa hingga sekiranya tak ada yang tak disiplin.

Contoh sederhananya, perihal cuci tangan sebelum makan. Nah, agar semua siswa tertib mau cuci tangan sebelum makan, selain sering diberikan motivasi akan hal ini, pihak sekolah perlu menyediakan wastafel/ kran air yang mudah diakses.

Lalu, dibuat peraturan, silahkan semua siswa saling mengingatkan untuk cuci tangan. Kalau ada satu siswa saja yang belum cuci tangan, maka jatah makanan semua siswa belum boleh dibagikan. Nah, dengan demikian lingkungan yang disiplin akan terbentuk dengan sendirinya seiring berjalannya waktu.

Jadi, melalui dua jenis disiplin di atas, semestinya kita bisa membuat para siswa disiplin dan tertib dengan cara-cara yang lebih mudah dan manusiawi. Tak perlu sampai ditunggu aparat.

Kedua, tentang anak dilarang berkomentar dan memfoto menu makanan yang disajikan. Tindakan semacam ini secara tidak langsung merupakan wujud tidak menghargai kebebasan berpendapat. Padahal, negara kita adalah negara demokrasi yang (katanya) sangat menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Bila anak-anak (yang kelak akan jadi generasi penerus bangsa ini) yang saat ini masih duduk di bangku sekolah saja sudah dibiasakan dengan tindakan seperti ini, mau jadi apa generasi masa depan bangsa ini?

Semestinya, biarkan anak-anak berkomentar dan menilai rasa makanan yang disajikan dalam program ini. Justru hal ini bisa jadi bahan evaluasi paling relevan bagi pemerintah yang menyelenggarakan program ini. Sebab, yang memberikan penilaian adalah langsung dari objek program ini, yakni para siswa. Dengan begitu, program Makan Bergizi Gratis ini akan berjalan semakin baik kedepannya.

Ketiga, tentang pernyataan tokoh influencer publik yang tak mengenakan hati di media sosial. Hal ini jelas amat disayangkan. Bagaimana tidak, tokoh influencer publik yang seharusnya jadi panutan, memberikan edukasi positif bagi publik, justru malah membuat statement yang melukai hati rakyat kecil (khususnya hati anak-anak) gegara ada sekelompok siswa yang protes menu makanan yang disajikan kurang enak atau tidak mereka sukai.

Perlu diketahui bahwa program Makan Bergizi Gratis ini sejatinya tidak sepenuhnya ‘gratis’. Sebab, program ini berjalan di bawah kucuran dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), bukan dari dana pribadi pejabat tertentu. Sementara itu, salah satu sumber dana APBN sendiri adalah dari pajak, uang rakyat. Jadi, seharusnya wajar-wajar saja bila pemerintah dalam menjalankan programnya mendapatkan komentar dari rakyat, termasuk para siswa dalam hal ini.

Bukankah pemegang kekuasaan tertinggi di negara demokrasi adalah rakyat? Sementara pemerintah sejatinya adalah ‘pelayan’ bagi rakyat itu?

Sudahlah, sebagai tokoh influencer publik seharusnya bisa menjadi panutan yang baik. Bila belum mampu, setidaknya lebih baik diam. Kasihan anak-anak bila sikap ‘tidak dewasa’ seperti ini terus dilakukan.

Alih-alih anak mendapatkan gizi yang cukup dari program ini sehingga bisa tumbuh dan berkembang secara optimal, justru bisa jadi mereka mengalami tekanan mental akibat sering terpapar penyataan-pernyataan ‘berbisa’ dari oknum influencer publik itu.

Selanjutnya, lanjutan dari tiga persoalan di atas, kita semestinya paham dan mengetahui bahwa ketika ada tujuan baik, maka perlu dicapai dengan cara-cara yang baik pula. Kita tidak boleh menggapai tujuan baik melalui cara-cara yang tidak baik. Begitulah ajaran agama kita, Islam yang rahmatan lil aalamiin ini.

Terakhir, penulis berharap semoga program Makan Bergizi Gratis ini dapat berjalan sebagaimana mestinya, tercapai tujuan utamanya (agar anggaran besar yang digelontorkan tidak sia-sia), dan ditempuh melalui cara yang baik tentunya. Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

Baca Juga: Meneladani Cara Makan Rasulullah


Penulis: Dhonni Dwi Prasetyo, Alumnus Pondok Pesantren Raudlatul Ulum Guyangan, Trangkil, Pati, Jawa Tengah & Alumnus Universitas Negeri Semarang