Farin memamerkan piala dan sertifikat penghargaan lomba Alat Perlombaan Edukasi (APE) se-IMPI Wilayah III (Wijayatirta)
Farin memamerkan piala dan sertifikat penghargaan lomba Alat Perlombaan Edukasi (APE) se-IMPI Wilayah III (Wijayatirta)

tebuireng.online–Tidak sedikit mahasiswa memilih untuk menjadi mahasiswa kupu-kupu (kuliah-pulang kuliah-pulang). Hal ini tidak berlaku bagi Anis Banuwati Istighfarin Anis atau yang sering disapa dengan Farin. Mahasiswi Universitas Hasyim Asyari (Unhasy), Jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) semester enam ini memilih mengisi waktunya dengan hal-hal positif, seperti mengikuti kompetisi. Farin seringkali mengikuti perlombaan di beberapa bidang, namun lebih menonjol dalam bidang seni seperti kaligrafi, komik, dan sebagainya.

Beberapa waktu yang lalu, dengan mengusung tema “Meningkatkan Kredibilitas PGMI: Menjawab Peluang Menghadapi MEA dan AFTA”, acara alumni PGMI dan perlombaan Alat Perlombaan Edukasi (APE) se-IMPI Wilayah III (Wijayatirta) diadakan di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA), Surabaya. Berbeda dengan sebelumnya, lomba ini mempunyai ketentuan harus berinovasi sendiri dan belum pernah ada sebelumnya.

Dalam kesempatan ini, mahasiswa kelahiran Ngawi, 9 Oktober 1995 ini ikut serta meramaikan lomba APE di Surabaya. Perlombaan ini juga diikuti oleh berbagai macam sekolah tinggi di Wilayah III Wijayatara. “Ini lomba kesekian kali yang saya ikuti, namun baru kali ini saya merasa bingung karena harus berinovasi sendiri. Banyak APE pada bidang sains dan matematika dan banyak pula yang mengikuti. Oleh karenanya, saya berusaha menghindari bidang itu, dan mencoba di bidang seni,” tutur Anis. Meskipun sempat bingung, pada kesempatan ini Farin mampu meraih juara ketiga.

Di perlombaan ini, Farin memilih menggunakan barang yang mudah didapatkan, sederhana, dan tahan lama. Kemudian muncullah idenya mengunakan pring (kayu bambu). Menurut Farin, dalam pembuatannya, kayu bambu ini tidak memerlukan keahlian khusus karena hanya perlu pemolesan dengan amplas dan plitur yang kemudian dilukiskan aksara Jawa bagian depan dan belakang.

Hasil karya Pring Banuw
Hasil karya Pring Banuw

Anis Banuwati sengaja menggunakan pring ini untuk metode belajar di bidang bahasa daerah (Jawa). Ia menganggap bahwa meskipun bahasa Jawa merupakan muatan lokal, tetapi tak seharusnya tertinggal dan terlupakan. Ini adalah bukti keresahannya terhadap modernisasi sekarang, di mana lembaga pendidikan seharusnya menjadi benteng karakter budaya justru menurun karena kalah dengan hal lain.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Farin menggunakan nama Pring Banuw karena APE ini terbuat dari bambu (pring=bahasa Jawa), sedang banuw adalah potongan nama tengahnya Anis Banuwati Istigfarin (Banuwati), penamaan APE ini didapatkan ketika berlangsungnya acara pelombaaan.

“Sedang cara penggunaan APE ini sangatlah mudah dan dapat digunakan setiap waktu, dan dapat digunakan sambil bermain. Dengan APE ini, peserta didik akan mudah menghafal, dan memahami. Setelah peserta didik menghafal, nantinya peserta didik akan mampu menulisnya. Alat peraga Pring Banuw ini mendukung terjadinya pembelajaran kognitif, di mana guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk berfikir dengan alat peraga tersebut agar dapat mengenal dan memahami apa yang sedang dipelajari, karena pring banu ini berbentuk puzzle.” papar Farin.

Pring Banuw juga dapat digunakan pada penerapan model pembelajaran kooperatif tipe CIRC (Cooperative Integrated Reading Composition). Menurut Slavin Cooperative Integrated Reading Composition merupakan suatu program pembelajaran komprehensif untuk mengajarkan membaca dan menulis pada kelas sekolah dasar, pada tingkat yang lebih tinggi, dan pada sekolah menengah.

Dalam pembelajaran membaca dan menulis aksara Jawa peserta didik dituntut untuk membaca tulisan aksara Jawa yang ada pada puzzle pring banuw, kemudian menuliskan aksara Jawa dengan benar. Jadi materi tersebut merupakan perpaduan antarkegiatan membaca dan menulis sesuai dengan prinsip model pembelajaran kooperatif tipe CIRC.

Sayangnya, APE ini belum diperagakan di suatu lembaga sekolah. Akan tetapi, APE sudah dikenalkan di MIN Doko Kediri dan di Perpustakaan Bunga Ketjil. APE ini pernah digunakan dalam micro-teaching semester lima PGMI Unhasy serta pertama kali di uji di Pesantren Darul Falah Lima Cukir dengan sample siswa MTs dan Aliyah. Kendalanya, media ini baru sehingga masih perlu pengenalan dan penawaran terhadap pihak sekolah dalam perizinan penggunaannya.

Hasil pring banuw dapat dilihat dari meningkatkan kemampuan menghafal dan membaca. Ini nantinya dikembangkan agar mampu menuliskannya pada media lain, selain dengan merangkai puzzle Pring Banuw.

Harapan Anis Banuwati Istigfarin atas metode pembelajaran yang telah berhasil ia luncurkan adalah kebermanfaatan alat peraga pring banuw di semua lembaga pendidikan guna mengatasi merosotnya minat belajar bahasa Jawa, khususnya materi aksara Jawa. “Saya kira para guru bahasa Jawa mampu membuat sendiri, karena bahan dan prosesnya yang mudah. Sehingga tak ada alasan bagi guru tidak menyediakan alat peraga karena harganya yang mahal,” pungkasnya. (Naza/Fara)