sumber gambar: https://chirpstory.com/li/353086

Oleh: Yusuf Suharto*

Pola pikir yang diisyaratkan oleh paham Ahlussunnah Waljamaah adalah taqdim al nas dan rasional. Yaitu lebih mengutamakan nas namun dalam memahami nas itu digunakanlah logika filsafat yang rasional.

Pertama, Taqdim al-Nas. Pola pikir taqdim al-Nas (mendahulukan petunjuk nas) ini terindikasikan oleh komitmen tegas Ahlussunnah Waljamaah dalam rangka purifikasi (pemurnian) ajaran Islam dari aneka upaya liberalisasi serta pemikiran bid’ah yang kian menggejala dan kompleks.

Purifikasi dimaksud tidak lain ialah menjadikan Al Quran dan al-Sunnah sebagai sumber rujukan vital dalam setiap aspek kehidupan. Yang dalam hal ini mencakup aspek akidah, ibadah, dan aspek akhlak. Sebagaimana yang dikembangkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya pada periode awal kelahiran Islam.

Dengan pola pikir taqdim al-Nas ini, ajaran Islam akan terhindar dari berbagai nuansa yang bersifat ekstrim. Dalam lingkup akidah, terhindar dari, pemikiran kalam liberal yang terlalu mendewa-dewakan kemampuan akal. Dalam lingkup ibadah, terlepas dari egoisme pembenaran pendapat pribadi atau pun mazhab. Dan dalam lingkup akhlak akan terhindar dari pemikiran-pemikiran mistis non Islam.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Semua aspek kehidupan praktis akan terpayungi oleh kebenaran “mutlak” Al Quran dan al-Sunnah. Peran logika-filsafat yang menjelma dalam pemikiran kalam tetap ternaungi oleh kebenaran “mutlak” Al Quran dan al-Sunnah. Perbedaan pendapat fiqhiyah yang memang interpretable tetap menjadi ikhtilaf-rahmat, Pemikiran-Pemikiran tasawuf pun tetap sejalan dengan nas. Pemikiran-pemikiran bid’ah seperti paham alhulul, tanasukh dan wihdah al-wujud  praktis akan tercounter dengan sendirinya.

Kedua, rasional. Taqdim al-Nas memang menjadi komitmen pola pikir paham Ahlussunnah Waljamaah, namun secara filosofis tidak berarti menganulir atau menafikan kebenaran rasio (akal). Bahkan akal mendapat tempat yang sangat terhormat dalam paham Ahlussunnah Waljamaah, sejalan dengan penghormatan yang diberikan oleh semangat nas itu sendiri.

Kata aqal (akal) itu sendiri dengan berbagai bentuk, banyak didengung-dengungkan dalam Al Quran, termasuk juga di dalam al-Sunnah. Itu berarti paham taqdim al-Nas otomatis menempatkan rasio dalam tempat yang amat terhormat. Keterhormatannya itu berarti pula memberi semangat kepada umat agar berpola pikir rasional.

Hanya saja, mengingat kemampuan akal sangat terbatas dan variatif, mustahil dapat menembus kebenaran mutlak dan hasilnya bervariasi antara akal yang satu dengan yang lain. maka secara logis pula; akal bukanlah bandingan naql (Nas). Menjadi hal yang irrasional jika sampai mensejajarkan atau membandingkan kebenaran akal dengan kebenaran naql. Sama halnya dengan membandingkan antara kemampuan manusia dengan kemampuan Tuhan.

Oleh karena itu, pola pikir yang dikembangkan dalam paham Ahlussunnah Waljamaah tidak lain ialah menempatkan rasio/akal pada tempatnya. Akal di tempatkan sebagai alat bantu untuk memahami kandungan naql. Itu pun terbatas pada apa yang bisa dijangkau oleh kemampuan akal. Sehingga penggunaan ta’wil (penafsiran ayat secara metafores/majazi), dalam paham Ahlussunnah Waljamaah sangat terbatas pada ayat-ayat mutasyabihat (ayat yang maknanya mengandung perserupaan Tuhan dengan makhluk) dan ayat-ayat tertentu lainnya, dengan pena’wil yang terbatas pula (tidak terlalu mendalam).

Dengan pola pikir yang demikian, maka paham Ahlussunnah Waljamaah justru senantiasa represetatif dalam setiap zaman, sejalan dengan representatif ajaran Islam itu sendiri sampai kapan pun dan di manapun, bahkan dalam keadaan yang bagaimana pun, akan senantiasa aktual dan up to date.

Hakikat Aswaja

Setelah dipelajari mulai dari batasan hingga pola pikir paham Ahlussunnah Waljamaah, akhirnya dapat diketahui bagaimana hakikat atau dalam hal ini esensi: paham Ahlussunnah Waljamaah. Ternyata Ia tak lain merupakan paham ahlulhaq pemberantas ahlul bid’ah dan merupakan pemurni ajaran Islam.

Ahlulhaq, Jika dalam konteks historis, para ulama memberikan istilah lain bagi Ahlussunnah Waljamaah sebagai Ahlulhaq (Ahl al-haq), yang berarti sebagai golongan yang benar; maka sangatlah tepat. Mengapa? Karena Ia komitmen dalam mengikuti Sunnah Rasul dan tariqah para sahabatnya dengan senantiasa berpegang teguh kepada petunjuk Al Quran dan al-Sunnah.

Bukankah ajaran Islam adalah ajaran yang hak? Dan bukankah sumber ajaran yang haq tu ialah Al Quran dan al Sunnah yang juga dijunjung tinggi oleh Ahlussunnah Waljamaah? Itulah letak ketepatan istilah Ahlulhaq bagi paham Ahlussunnah Waljamaah. Lantaran pahamnya sejalan dan membela serta memperjuangkan kebenaran ajaran Islam yang haq.

Tak dipungkiri memang bahwa paham Ahlussunah Waljamaah juga menyepakati kebenaran “Ijma dan Qiyas’ terutama sebagai acuan hukum dalam lingkup kalam.

Sementara itu, kalau pun dalam perkembangan historis, Ahlussunnah Waljamaah kemudian berpihak kepada institus-institusi (mazhab-mazhab) yang muncul dalam lingkup akidah dan ibadah atau berpihak kepada wacana al Ghazali dalam lingkup akhlak/tasawuf; Ia tetap tidak bergeser sedikit pun dari komitmennya terhadap sunnah Rasul dan jalan hidup para sahabat sebagai acuan dalam mempedomani petunjuk nas. Dan keberpihakannya Itu pun tetap tertuju kepada madzhab dan wacana yang tidak menyimpang dari komitmen tersebut.

Pemberantas Ahlulbid’ah. Istilah “bid’ah” dalam keseharian, kadang-kadang menjurus pada artian sempit. Ia hanya digunakan dalam konteks fiqhiyah, di mana amaliah ibadah yang tidak sama persis dengan amaliah Rasul, kemudian dikatakannya sebagai amal “bid’ah’ Bahkan terlalu picik jika sampai digunakan sebagai ungkapan teror semata untuk menghantam pihak lain yang dianggapnya tidak sepaham.

Jika sampai terjadi demikian, maka si penteror itu sendiri justru masuk dalam kategori ‘bid’ah Karena Islam pastilah tidak mengajarkan yang demikian itu. Kata “bid’ah” memang tidak keliru jika diartikan dengan kata “baru”, karena itu amaliah yang tidak sama persis dengan amalian Rasul pun tidak keliru dikatakan sebagai amal bid’ah. Namun pengertian “sama persis” itu sendiri harus ditegaskan dalam konteks apa jika pengertian “sama persis” itu yang dimaksud adalah konteks ajarannya yang ada dalam al-Quran dan al-Sunnah, maka tepat sekali dikatakan sebagai bid’ah terhadap segala sesuatu yang tidak sejalan atau bahkan menyimpang dan petunjuk Al Quran dan al-Sunnah.

Lingkup akidah, ibadah ataupun akhlak yang menyimpang dari petunjuk Al Quran dan al-Sunnah, itulah kategori bid’ah. Maka pengikut Syi’ah, Mu’tazilah, jabanyah, Wihdah al-Wujud, al-Hulul (al-Hallaj) termasuk paham Manunggaling Kawula-Gusti (Syekh Siti Jenar di Jawa), adalah contoh-contoh yang nyata Ahlul bid’ah (Ahl al-Bid’ah).

Maka paham Ahlus Waljamaah tidak hanya menolak dan menentang paham Ahlulbid’ah tersebut, melainkan juga berusaha menganulirnya dengan memberikan argumen-argumen logika (rasional) untuk kembali kepada ajaran Islam yang haq.

Pemurni ajaran Islam, paham Ahlussunnah Waljamaah sebagai paham/ penganut ajaran Islam murni, yakni yang ditunjukkan oleh Al Quran dan al-Sunnah serta diteladankan oleh baginda Rasul SAW beserta para sahabat utamanya, dalam perkembangan historisnya senantiasa committed dengan ajaran Islam yang murni itu dan menentang setiap upaya penyimpangan yang dilakukan oleh pihak-pihak Ahlulbid’ah.

Baik dalam lingkup akidah, ibadah, maupun lingkup tasawuf, paham Ahlussunnah Waljamaah sejak periode awalnya selalu committed untuk menjaga kemurnian ajaran Islam dan ulah tercela Ahlulbid’ah. Karena itu, banyak kalangan menilai paham Sunni (Ahlussunnah Waljamaah) ini sebagai purifikasi (pemurni) ajaran Islam yang oleh para ahli di Barat disebut dengan lstilah Orthodox Sunni School.

Demikianlah jawaban tentang apa dan bagaimana paham Ahlussunnah Waljamaah yang diharapkan dapat dipahami secara proporsional oleh semua kalangan Sunni sebagai langkah aktualisasi awal paham yang disebut-sebut paham pemurni ajaran Islam.


*Penulis adalah Dewan Pakar Aswaja NU Center Jombang dan Tim Penulis buku Khazanah Aswaja