Santri Tebuireng saat shalat berjamaah di masjid Pesantren Tebuireng. (foto: irsyad-TO)

Salah satu hal yang paling tepat dalam penerapan dan pemahaman nilai-nilai toleransi di tengah-tengah masyarakat Indonesia adalah melalui lembaga pendidikan. Penanaman paham tersebut harus sudah diajarkan sejak dini kepada para siswa yang berada di lingkungan sekolah. Pondok pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia secara tidak langsung telah memainkan peranan besar dalam membentuk pemahaman nilai-nilai toleransi bagi para santri-santrinya. Hal tersebut berangkat dari para santri yang belajar di pondok pesantren berasal dari suku, ras, budaya yang berbeda dan wilayah-wilayah dari penjuru Indonesia.

Hal yang menjadi landasan dasar terhadap pemahaman nilai-nilai toleransi di pondok pesantren adalah Al-Qur’an. Ini merupakan sebuah bukti bahwasanya Allah sangat menganjurkan kepada umat manusia untuk menerima keanekaragaman. Keanekaragam budaya termasuk di dalamnya bahasa dengan macam-macam dialeknya harus disikapi dan dihargai sebagai bukti kebesaran Allah SWT. Menolak keanekaragaman budaya adalah menolak ayat-ayat Allah.

Perbedaan bahasa dan budaya merupakan salah satu tanda kebesaran Allah, disisi lain bahasa dan budaya merupakan dua hal yang saling terkait, tidak terpisahkan dan saling memperkaya satu sama lain. Dari bahasa itulah terlahir budaya. Perihal aneka bahasa dan budaya, ditambah warna kulit yang juga beragam Al-Qur’an menerangkan dalam Surat Ar-rum ayat 22:

وَمِنۡ اٰيٰتِه خَلۡقُ السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضِ وَاخۡتِلَافُ اَلۡسِنَتِكُمۡ وَاَلۡوَانِكُمۡ​ اِنَّ فِىۡ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّلۡعٰلِمِيۡنَ

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui‏.

Baca Juga: Kiai Abdurrahman Badjuri Saksi Sejarah Tebuireng dan Indonesia

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Sejak berdirinya pesantren Tebuireng pada 28 Rabiul Awal 1317 H ( bertepatan dengan tanggal 3 Agustus 1899 M) hingga sekarang ini telah mencetak ribuan ulama. Bahkan, santrinya juga tak hanya menjadi tokoh agamawan saja, namun juga dibidang lainnya. Ikut serta mengubah peradaban masyarakat berbasis santri. Kehadiran Pesantren ditengah-tengah masyarakat sempat mendapatkan respon kurang baik. Seiring dengan berjalannya waktu masyarakat justru bangga akan kehadiran Pesantren Tebuireng.

Terdapat tiga hal upaya yang dilakukan oleh Pesantren Tebuireng dalam menanamkan nilai-nilai toleransi kepada santri, antara lain:

  1. Workshop Kebangsaan

Hal yang menjadi kegiatan rutin oleh Pesantren Tebuireng dalam menanamkan nilai-nilai Pendidikan multikultiralisme adalah diadakan workshop kebangsaan yang mengikut sertakan para santri terlibat langsung dalam kegiatan tersebut. Salah satunya adalah kegiatan Duta Damai Santri Deklarasi Toleransi. Kegiatan itu dipelopori oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang menggandeng Duta Damai Santri Regional Jawa Timur, dan  menggelar deklarasi toleransi di Pesantren Tebuireng.

Dalam kegiatan workshop kebangsaan tersebut Pesantren Tebuireng melakukan pendekatan aditif guna memasukkan nilai-nilai multikultural secara hidden curriculum, yaitu proses penanaman nilai-nilai dan sifat-sifat pada diri peserta didik melalui perilaku pendidik selama proses pembelajaran. Hal ini terlihat dari pengelola pondok yang menerima perbedaan yang ada di tengah masyarakat serta mengimplementasikannya pada sikap tasamuh (toleransi), yaitu suatu sikap penerimaan terhadap perbedaan yang ada, baik pemikiran maupun kultural-tradisional.

  1. Pembuatan Film Tokoh Bangsa

Selain mengadakan workhop kebangsaan, Upaya Pesantren Tebuireng dalam menanamkan nilai-nilai multikulturalisme Pendidikan melalaui pembuatan film tokoh bangsa. Salah satu film yang berjudul “Jejak Langkah 2 Ulama” menjadi daya tarik tersendiri bagi Pesantren Tebuireng dalam penguatan Pendidikan multikulturalisme yang belum pernah ditemukan di pondok pesantren lain.

Menyajikan sebuah kisah dua tokoh besar, yakni KH. Ahmad Dahlan selaku pendiri dan ketua pertama dari organisasi Muhammadiyah. Dan Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari pendiri dan ketua pertama dari organisasi Nahdlatul Ulama. Kedua tokoh tersebut memiliki tujuan mulia untuk mensyiarkan agama Islam di Indonesia.

Baca Juga: Profil Pengasuh Pesantren Tebuireng dari Masa ke Masa

Pada film ini mengajarkan kepada para santri sebuah sikap Prejudice reduction (pengurangan prasangka), yang mana dimensi ini berfokus membantu siswa dalam mengembangkan perilaku positif tentang perbedaan kelompok. Adapun hal ini adalah sebuah kondisi yang dimaksud sebagai bahan pembelajaran yang memiliki citra positif tentang perbedaan kelompok dan menggunakan bahan pembelajaran tersebut secara konsisiten dan terus menerus.

  1. Desain Kamar Santri

Desain kamar santri yang tidak terkotak-kotakan menurut asal daerah, status sosial dsb merupaka suatu hal yang unik di Pesantren Tebuireng. Ini terbukti mengenai desain kamar santri yang memiliki fasilitas sama diantara para santri tanpa adanya jurang pemisah baik berdasar ekonomi, sosial ataupun asal daerah. Unsur kesetaraan sangat dijunjung dalam hal ini, dimana santri diperlakukan sama dari pihak pondok.

Baca Juga: Mengurai Sejarah Tebuireng

Disisi lain dengan desain kamar yang berasal dari daerah yang berbeda secara tidak langsung mereka dibenturkan dengan kultur yang berbeda pula. Pembawaan dari santri yang berbeda daerah tentu saja akan membawa kultur yang beragam pula. Sehingga santri akan belajar memposisikan diri ditengah-tengah keberagaman. Dengan demikian santri telah melakukan pembelajaran langsung dari pengalaman yang nyata berinteraksi dengan teman-teman sekamarnya yang memiliki keberagaman maka, hal ini merujuk pada indikasi penerapan pendidikan multikultural melalui pembelajaran sosial.



Penulis: Dimas Setyawan