Ilustrasi santri di sebuah pesantren. (sumber: Ist)

Pendidikan berbasis agama telah lama menjadi fondasi utama dalam pembentukan karakter individu. Baik dalam tradisi Islam maupun Katolik, institusi pendidikan keagamaan seperti pesantren dan seminari telah memainkan peran penting dalam membangun masyarakat yang berakhlak dan berilmu.

Meskipun berbeda dalam tradisi dan ajaran, pesantren dan seminari memiliki kesamaan dalam pendekatan mereka terhadap pendidikan: menanamkan nilai-nilai moral, memperkuat spiritualitas, serta membentuk individu yang mampu berkontribusi dalam kehidupan sosial. Dengan demikian, lembaga-lembaga ini tidak hanya berperan sebagai pusat pembelajaran agama, tetapi juga sebagai pilar utama dalam pembentukan peradaban yang berlandaskan etika dan nilai kemanusiaan.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam memiliki sejarah panjang dalam membentuk ulama dan cendekiawan Muslim. Sistem pendidikan di pesantren menekankan pada penguasaan ilmu agama yang mendalam, yang dikombinasikan dengan praktik kehidupan sehari-hari yang berorientasi pada ibadah dan akhlak.

Santri, sebagai peserta didik, tidak hanya belajar teori tetapi juga menerapkan ajaran agama dalam keseharian mereka, menciptakan disiplin diri yang kuat. Hal ini sejalan dengan sistem pendidikan di seminari, tempat calon imam dan pemimpin gereja Katolik dibina secara intelektual, spiritual, dan moral. Seperti halnya pesantren, seminari juga menekankan kehidupan berbasis komunitas, di mana para seminaris dididik untuk memahami makna pengorbanan, pelayanan, dan tanggung jawab sosial.

Kesamaan mendasar antara pesantren dan seminari dapat dilihat dalam metode pembelajarannya yang berbasis pada hubungan erat antara guru dan murid. Dalam pesantren, keberadaan kiai sebagai figur sentral dalam pendidikan berfungsi tidak hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai teladan yang dicontoh oleh santri dalam aspek keilmuan dan akhlak.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Baca Juga: Memotret Pendidikan Pesantren yang Dipenuhi Canda Tawa Santri bersama Kiai

Hal serupa terjadi di seminari, di mana para pembina dan formator memiliki peran krusial dalam membentuk kepribadian calon imam melalui pengajaran dan pendampingan personal. Relasi yang erat antara pendidik dan peserta didik menciptakan suasana pembelajaran yang lebih dari sekadar akademis, tetapi juga membangun karakter yang kuat dan berlandaskan nilai-nilai luhur.

Selain itu, lingkungan pesantren dan seminari mengajarkan disiplin yang ketat, yang membentuk kebiasaan positif dalam kehidupan sehari-hari, seperti kedisiplinan waktu, tanggung jawab, dan kerja sama dalam komunitas. Baik pesantren maupun seminari menanamkan pemahaman bahwa ilmu dan iman tidak dapat dipisahkan.

Pendidikan di kedua lembaga ini bertujuan untuk membentuk individu yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Dalam pesantren, konsep khidmat atau pengabdian menjadi bagian integral dalam pendidikan santri. Mereka diajarkan untuk terlibat aktif dalam kegiatan sosial, membantu masyarakat sekitar, dan menerapkan ilmu yang mereka pelajari dalam kehidupan nyata.

Begitu pula di seminari, calon imam tidak hanya belajar teologi dan filsafat, tetapi juga menjalani praktik pastoral yang mengasah kemampuan mereka dalam melayani masyarakat. Kesamaan dalam nilai pengabdian ini menegaskan bahwa pendidikan berbasis agama tidak hanya bertujuan untuk membentuk individu yang saleh, tetapi juga yang peduli terhadap sesama. Hal ini semakin relevan di era modern, di mana tantangan sosial seperti ketimpangan ekonomi, konflik antaragama, dan krisis kemanusiaan membutuhkan pemimpin yang memiliki kapasitas intelektual sekaligus empati yang mendalam.

Namun, di tengah perkembangan zaman dan tantangan globalisasi, pesantren dan seminari menghadapi berbagai tantangan dalam mempertahankan relevansi mereka. Modernisasi pendidikan menuntut kedua lembaga ini untuk lebih adaptif terhadap perubahan sosial dan teknologi. Di banyak pesantren, kurikulum kini telah diperluas dengan memasukkan pendidikan umum seperti sains, teknologi, dan ekonomi agar lulusannya dapat bersaing di dunia kerja.

Hal yang sama terjadi di seminari, di mana pendidikan pastoral kini juga mencakup studi tentang media, psikologi, dan manajemen organisasi gereja. Adaptasi ini menunjukkan bahwa meskipun berbasis pada nilai-nilai tradisional, pesantren dan seminari tetap berkembang seiring dengan perubahan zaman tanpa kehilangan esensi pendidikannya. Tantangan lainnya adalah bagaimana kedua lembaga ini dapat menghadapi arus sekularisasi yang semakin kuat, yang sering kali mengaburkan peran agama dalam kehidupan publik.

Di sisi lain, peran pesantren dan seminari dalam membangun dialog antaragama menjadi aspek yang semakin relevan di era pluralisme. Kedua lembaga ini memiliki potensi besar dalam mendorong pemahaman dan toleransi antarumat beragama. Pesantren yang menanamkan nilai moderasi Islam dapat menjadi pusat pendidikan yang mengajarkan Islam sebagai agama yang damai dan inklusif.

Baca Juga: Model Pendidikan Pesantren Menjawab Tantangan Perubahan

Sementara itu, seminari dengan ajaran kasih dan persaudaraan universal dapat membentuk pemimpin agama yang terbuka terhadap keberagaman dan siap membangun jembatan komunikasi dengan komunitas agama lain. Inisiatif seperti program pertukaran pelajar antar pesantren dan seminari atau forum diskusi lintas agama bisa menjadi langkah konkret dalam memperkuat kohesi sosial dan menghindari polarisasi berbasis agama.

Sebuah sistem pendidikan yang mendorong dialog dan keterbukaan akan menciptakan generasi yang tidak hanya memahami agama mereka sendiri secara mendalam, tetapi juga menghargai keyakinan orang lain. Meskipun berasal dari tradisi yang berbeda, pesantren dan seminari memiliki misi yang sama dalam membentuk individu yang beriman, berilmu, dan berakhlak.

Baca Juga: Apresiasi JSIT Indonesia untuk Model Pendidikan Pesantren

Keduanya menekankan pentingnya pendidikan yang tidak hanya membangun kecerdasan intelektual tetapi juga moral dan spiritual. Di tengah dunia yang semakin kompleks, keberadaan lembaga-lembaga ini menjadi semakin penting dalam menjaga nilai-nilai luhur yang dapat menjadi fondasi bagi masyarakat yang lebih adil dan harmonis.

Pendidikan berbasis agama yang diajarkan dalam pesantren dan seminari bukan sekadar transmisi ilmu, tetapi juga warisan kearifan yang terus hidup dari generasi ke generasi. Dengan semangat keterbukaan dan adaptasi, pesantren dan seminari dapat terus memainkan peran sentral dalam membangun masa depan yang lebih baik bagi umat manusia, menciptakan generasi pemimpin yang tidak hanya bijaksana dalam beragama, tetapi juga aktif dalam membangun dunia yang lebih damai dan berkeadilan.



Penulis: T.H. Hari Sucahyo, Peminat masalah Religi, Sosial, dan Budaya, Penggagas Lingkar Studi Adiluhung dan Kelompok Studi Pusaka AgroPol