
Meskipun berasal dari keluarga sederhana, semangat dan tekad Zulaiha untuk meraih cita-cita sangatlah besar. Ia bercita-cita untuk menjadi orang yang bermanfaat, terutama untuk kampung halamannya. Di tengah banyaknya tantangan dan keterbatasan, ia tidak pernah gentar. Dengan tekad yang kuat, Zulaiha akhirnya memilih jalan yang penuh perjuangan—menjadi seorang hafidzah dan melanjutkan pendidikannya di pondok pesantren.
Pondok pesantren tempat Zulaiha menimba ilmu bukanlah pesantren yang mewah, tetapi sederhana. Setiap harinya dimulai dengan adzan subuh yang memanggil para santri untuk bangun dan melaksanakan shalat berjamaah. Zulaiha, dengan niat yang tulus, mengikuti setiap rutinitas tersebut tanpa ada keluhan. Hidup di pesantren memang penuh dengan aturan yang ketat, namun di sanalah Zulaiha menemukan kedamaian dan kekuatan.
Hari-harinya dipenuhi dengan aktivitas belajar mengaji, berinteraksi dengan para guru, dan mengikuti berbagai pelajaran agama. Namun, tantangan terbesar Zulaiha adalah hafalan Al-Qur’an. Sebagai seorang hafidzah, ia dituntut untuk tidak hanya menghafal, tetapi juga memahami makna dari setiap ayat yang dibacanya. Setiap hari, ia menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengulang-ulang hafalannya, meskipun terkadang rasa lelah dan kesulitan datang menghadang.
Suatu hari, saat sedang menghafal di sudut ruang pesantren, seorang ustazah datang mendekat. Ustazah itu adalah guru yang sangat dihormati di pesantren tersebut, dikenal karena ketegasan dan keilmuannya yang luas.
“Zulaiha, kamu memiliki potensi yang besar,” kata ustazah itu dengan senyum di wajahnya. “Namun, hafalanmu belum stabil. Kamu harus terus berusaha dan berdoa.”
Zulaiha menunduk, mendengarkan dengan seksama setiap kata yang diucapkan. Di dalam hatinya, ia berjanji akan memberikan yang terbaik untuk Allah dan agama-Nya.
Tahun demi tahun berlalu, dan Zulaiha berhasil menghafal seluruh Al-Qur’an dengan baik. Ia menjadi salah satu santri yang paling dihormati karena ketekunan dan kecerdasannya dalam memahami isi Al-Qur’an. Zulaiha tidak hanya menjadi hafidzah, tetapi juga seorang yang paham akan makna ajaran agama, dan ia pun berusaha untuk mengamalkan setiap ayat dalam kehidupannya.
Namun, meskipun ia merasa bangga dengan pencapaiannya, Zulaiha tahu bahwa perjuangannya belum selesai. Ia ingin ilmu yang ia peroleh bisa bermanfaat bagi orang lain, terutama masyarakat di desanya yang masih banyak yang belum mengerti betul tentang pentingnya pendidikan agama. Itulah yang membuat Zulaiha berniat untuk kembali ke desanya setelah lulus dari pesantren.
*****
Setelah bertahun-tahun mengabdi di pesantren, akhirnya Zulaiha kembali ke desa. Ketika ia kembali, desa itu masih seperti dulu—terbelakang, dengan banyak anak-anak yang belum mendapatkan pendidikan agama yang cukup. Di desa itu, banyak yang berpendapat bahwa anak-anak hanya perlu bekerja di sawah atau membantu orangtua tanpa perlu melanjutkan sekolah atau belajar agama secara mendalam. Namun, Zulaiha tidak merasa putus asa.
Ia memutuskan untuk membuka sebuah taman pendidikan Al-Qur’an bagi anak-anak desa. Walaupun awalnya banyak yang meragukan, Zulaiha tetap bergerak maju. Dengan penuh kesabaran, ia mulai mengajarkan anak-anak mengaji, mengenalkan mereka pada surat-surat Al-Qur’an, dan menjelaskan makna di balik setiap ayat. Setiap hari, anak-anak berbaris di depan rumahnya dengan membawa mushaf kecil, siap untuk belajar.
Zulaiha tahu bahwa mengubah pola pikir masyarakat bukanlah hal yang mudah. Di desanya, sebagian besar orang menganggap ilmu agama hanya cukup dipelajari oleh orang dewasa yang sudah lanjut usia. Namun, Zulaiha bertekad untuk membuka mata mereka, bahwa mengajarkan agama sejak dini adalah investasi untuk masa depan.
“Jika kita tidak mulai dari sekarang, anak-anak kita akan semakin jauh dari agama,” ujarnya suatu hari kepada ibu-ibu desa yang datang untuk melihat proses belajar mengajar di rumahnya. “Dengan menghafal Al-Qur’an, mereka akan memiliki pegangan hidup yang kuat.”
Perlahan, masyarakat mulai merasakan perubahan. Anak-anak yang awalnya tidak tertarik untuk belajar agama, kini bersemangat datang ke taman pendidikan Zulaiha. Tak hanya itu, beberapa orang tua mulai ikut belajar tentang bagaimana cara mendidik anak dengan pendekatan yang lebih baik melalui ajaran Islam.
****
Namun, perjalanan Zulaiha tidaklah mudah. Di tengah usahanya untuk mengembangkan taman pendidikan Al-Qur’an, ia menghadapi banyak tantangan. Salah satunya adalah kurangnya dukungan dari pemerintah setempat. Tidak ada anggaran atau fasilitas khusus yang diberikan untuk kegiatan pendidikan agama seperti yang dilakukan Zulaiha. Bahkan, beberapa orang tua menganggap bahwa anak-anak mereka lebih baik bekerja di sawah daripada menghabiskan waktu untuk mengaji.
“Zulaiha, kenapa kamu tidak membiarkan anak-anak itu bekerja di sawah? Mereka harus bisa membantu orang tua mereka,” kata salah satu warga desa dengan nada yang kurang setuju.
Zulaiha hanya tersenyum mendengar komentar tersebut. “Dengan mengaji, anak-anak kita akan mendapat bekal yang lebih baik untuk masa depan mereka. Mereka tidak hanya akan menguasai ilmu dunia, tetapi juga ilmu akhirat.”
Meskipun banyak tantangan yang dihadapi, Zulaiha tidak menyerah. Ia terus mengajar, berdoa, dan memberikan yang terbaik untuk anak-anak desanya. Dari mulut ke mulut, nama Zulaiha semakin dikenal sebagai sosok yang gigih dan penuh semangat dalam mendidik generasi muda. Tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga memberi mereka pemahaman tentang pentingnya pendidikan dan nilai-nilai kehidupan yang baik.
Suatu ketika, dalam sebuah acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di desa tersebut, salah seorang tokoh masyarakat berdiri di depan dan mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada Zulaiha.
“Di desa kita, banyak anak-anak yang tidak tahu bagaimana cara membaca Al-Qur’an. Tetapi sekarang, berkat Zulaiha, anak-anak kita mulai mengerti dan mencintai Al-Qur’an. Dia bukan hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga memberi mereka semangat untuk belajar dan hidup dengan nilai-nilai yang baik.”
Kata-kata tersebut disambut dengan tepuk tangan meriah. Zulaiha merasa haru mendengarnya. Ia sadar, perjuangannya tidak sia-sia. Meskipun ia bukan seorang guru besar atau tokoh terkenal, namun ia telah berhasil memberikan sesuatu yang sangat berharga bagi masyarakat desanya—ilmu yang akan membimbing anak-anak untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Zulaiha menyadari bahwa menjadi seorang hafidzah bukan hanya tentang menghafal Al-Qur’an, tetapi juga mengamalkan dan menyebarkan ilmu tersebut kepada orang lain. Perjuangan yang ia jalani di pesantren dan di desa telah mengajarkannya bahwa setiap langkah kecil yang ia ambil, sejatinya memberi dampak besar bagi kehidupan banyak orang.
Zulaiha bukanlah seorang wanita yang mencari pujian atau kemasyhuran. Ia hanya ingin menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain, khususnya di desanya. Melalui pengajaran dan pengabdian yang ia lakukan, Zulaiha telah membuktikan bahwa kekuatan seorang hafidzah tidak hanya terletak pada hafalannya, tetapi juga pada kemampuannya untuk membawa perubahan positif bagi lingkungan sekitar.
Kini, desa yang dulunya kurang perhatian terhadap pendidikan agama, mulai berkembang dengan penuh semangat, dan Zulaiha menjadi inspirasi bagi banyak orang yang ingin mengabdi kepada masyarakat dengan cara yang sederhana namun penuh makna.
Kisah Zulaiha mengajarkan kita bahwa setiap perjuangan, meskipun penuh tantangan, akan memberikan hasil yang bermanfaat bagi banyak orang. Zulaiha adalah contoh nyata bahwa mimpi besar yang dipupuk dengan tekad dan kerja keras bisa memberikan dampak yang luar biasa bagi kehidupan orang banyak.
Penulis: Wan Nurlaila Putri