KEPADA PEREMPUAN
Hai, Desember.
Apakabar mimpi yang kamu susun di 2018 lalu? Sudahkah kau perjuangkan.
Buka lah kembali catatanmu.
Waktu terus bergerak.
Kita masih saja merangkak.
Apakabar?
Apakabar semua hal yang ditata rapi sejak awal? Malam ini, akan menghitung mundur, hari-hari menuju 2020.
Silakan berbahagia di zona nyaman, jika mau tertinggal.
PEREMPUAN DESEMBER
Sebentar.
Jangan menyela, biar aku bercerita sampai tuntas. Hingga tanda baca titik, di mana aku akan berhenti berbicara, lalu mendengarkan nasihat saja.
Aku tahu. Yang terjadi dalam semesta, perjuangan itu selalu dilakukan oleh lelaki kepada perempuannya yang ia cinta. Namun, mungkin ini sudah jalan Tuhan, cerita perjalanan aku berbeda.
Aku lah seseorang yang selama ini dalam perjuangan, mengatasnamakan kenyamanan dan kebahagiaan untuk mencapai cinta dari seseorang, seperti kamu. Namun pelan-pelan kenyataan menyadarkan, betapa selama ini aku hanya berjalan di atas prasangka baik yang menghibur diri sendiri.
Berjuang di antara doa yang kuamini sendiri. Serta bertahan dengan harapan-harapan yang ternyata pada akhirnya aku menerima konsekuensi menyakitkan.
Biar. Jangan hapus air mataku malam ini. Kubiarkan ia lahir atas kesadaran yang begitu menyakitkan ini. Aku lemah? Iya. Sebab selama ini aku terlihat kuat karena punya cinta yang membangunkan tidurku setiap pagi. Aku bodoh? Mungkin. Karena selama ini aku terlihat hebat karena hatiku baik-baik saja, dan patah saat kenyataan keterima berbeda.
Baiklah. Malam ini kuakhiri segala prasangka baikku terhadap perasaan aku sendiri. Kali ini, aku lebih pasrah pada keadaan. Di mana aku belajar menerima, hingga kelak kembali menemukan.
Benar, kata orang. Terkadang, kita hanya perlu belajar menerima dan mencintai sesuatu yang bukan “kita”.
Luka ini, mengajarkan aku untuk membangun rumahku sendiri. Rumah, tempat aku kembali setelah melakukan perjalanan jauh berkali-kali hanya untuk sembuh dari luka yang kubuat sendiri.
Luka ini, mengajariku betapa mencintai diri sendiri adalah hal utama yang perlu kulakukan sebelum mencintai bagian lain, yang bila terpisah akan membuatku kehilangan diri sendiri.
Luka ini. Mengajariku berterima kasih pada semesta. Menyadarkan aku, bahwa sebagai seorang perempuan, selain memperjuangkan; aku butuh yang namanya menerima dan kembali menemukan.
KITA BERBEDA ARAH
Kamu berjalan menuju rumah, aku kembali ke arahmu dengan tabah. Memang, ada yang perlu kita terima; perpisahan lama misalnya. Tidak akan ada yang berubah, memang, kecuali kebiasaan-kebiasaan kecil yang perlahan-lahan akan hilang. Termasuk canda tawa, riang gembira, tangis duka, dan segala tentang persaudaraan kita yang semakin menua dan berjeda.
Bohong, jika aku tidak merasa kehilangan. Sebab hari-hari telah dengan sepakat merekam perjalanan kita begitu rapi. Ah, aku tidak tahu bagaimana cara bersyukur pada Tuhan pernah ada kamu di sepanjang perjalanan, menjadi saudara gadis serantau. Hari-hari yang membosankan pernah kita hempas dengan perjalanan, meski hanya sekadar mencari makan. Waktu-waktu yang hening selalu berhasil kita lewati dengan cara bermain atau tertawa kecil. Semuanya benar-benar aku simpan dengan baik, hingga air mata perlahan-lahan memerihkan dada; menyadari segala tidak akan pernah kembali sama.
Benar kata orang-orang. Persaudaraan dan persahabatan tak akan pernah menemukan kata akhir atau putus sebab takdir. Sebab di dalamnya, ada kasih yang ikhlas, pengorbanan yang tulus, tentu doa yang diam-diam menemani di setiap langkah kaki.
Pergi lah dengan baik. Jadilah lebih baik. Suatu hari nanti, bila kita berjumpa lagi; ceritakan lah padaku apapun yang menjadi kisah barumu. Kelak, bila kau tak menemukan jalan atau rumah untuk pulang; datangi lah aku. Aku masih di tempat yang sama.
Di mana pun kamu, nanti. Tetaplah baik-baik saja. Berhentilah menangis meski terluka, berhentilah menyerah meski lelah, dan tentu berjanjilah baik-baik saja. Agar aku berhenti khawatir, semoga kelak kita kembali dikumpulkan oleh takdir.
BIARLAH TAKDIR BEKERJA
Kepada semesta, aku tak pernah bisa menolak takdir bekerja. Membawamu jauh, atau membuat kita bangun dan terjatuh. Namun, perjalanan selalu mengajari aku tentang ikhlas dan merelakan; sebab aku percaya impianmu di depan menawarkan cahaya -purnama yang kelak memberi rasa manis pada penjagaan kita dalam doa-
Selamat berjuang kembali. Pada fase ini, hanya doa yang terbaik menjadi kado. Kepada air mata segala hilang dan harap berdua kembali kunikmati. Terimakasih telah pernah berjuang bersama di sini. Terima kasih menjadi bagian alasan bertahan segala bentuk usaha hingga kini.
Kelak,
Sekembalimu.
Aku ingin mendengar suara merdumu, melantunkan ayat² Tuhan di hadapanku. Tidak untuk sebuah penghargaan atas prestasi, namun kepada waktu ke waktu biar aku tak lupa mensyukuri; mempunyai kamu yang begitu gigih dan tabah melewati segala uji.
Selamat melanjutkan perjalananmu. Bila kelak butuh pundak, pulang lah padaku; seseorang yang masih dengan tabah mendengar keluh kesahmu.
Sabdawaktu, 2019