Sumber gambar: http://nusakini.com

Oleh: Ana Saktiani Mutia*

Kelahiran buah hati merupakan suatu anugerah besar yang dititipkan Allah pada sepasang suami-istri. Meski sejauh mata memandang, kehadiran keduanya ke dunia bukanlah suatu hal yang perlu diperdebatkan oleh manusia itu sendiri. Hal paling sederhana adalah dimulai saat adanya kelahiran, pertanyaan orang-orang saat mendengar kabar kelahiran adalah bayi tersebut berjenis kelamin laki-laki atau perempuan? dan ironisnya mayoritas jawaban ‘perempuan’ selalu mendatangkan banyak kekecewaan bagi yang mendengar dan bagi seseorang yang merasa tak sesuai harapan.

Peempuan selalu diidentikkan dengan sesuatu yang lemah. Seorang filsuf Yunani, Aristoteles, menyatakan bahwa perempuan lebih lemah dan pasif daripada laki-laki, karena jenis kelamin perempuan adalah “suatu ketidaksempurnaan”. Dugaan inferioritas pada kaum wanita adalah kondisi kosmis, seperti menstruasi, ukuran kepala, dan bahkan otak yang lebih kecil dibandingkan laki-laki.

Secara karakteristik, pria lebih agresif, sedangkan wanita cenderung pasif, dan lemah lembut. Perbedaan karakteristik tersebut, secara kedudukan juga berbeda. Dan secara fungsional, wanita lebih cocok pada sebuah pekerjaan yang cenderung ringan dan mudah. Sedangkan pria, secara fungsional lebih cocok pada pekerjaan yang membutuhkan tenaga ekstra atau bahkan berat.

Seiring berjalannya waktu, pria dan wanita memiliki kedudukan yang sama dalam beberapa bidang, salah satunya adalah pendidikan. Zaman dahulu, wanita yang mengenyam pedidikan tidaklah wajar, karena masyarakat dahulu menganggap bahwa wanita itu lebih cocok untuk di dapur. Namun, pemikiran tersebut dipatahkan oleh perempuan asal Jepara atau yang kita kenal dengan Kartini. Perempuan yang mampu menyetarakan kedudukan antara pria dan wanita dibidang pendidikan. Dengan kegigihannya dalam memperjuangkan hak wanita agar dapat mengenyam pendidikan yang setara dengan pria untuk mecapai sebuah keadilan dalam kesetaraan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dari situlah, tercapainya kesetaraan antara pria dan wanita di Indonesia dalam bidang pendidikan. Dengan tercapainya kesetaraan pendidikan antara pria dan wanita, mampu mendorong kesetaraan gender yang hampir mendekati sempurna. Terdapat beberapa negara yang masih mempertanyakan keadilan akan kesetaraan gender tersebut, semisal Uni Soviet salah satu negara yang juga mendeklarasiakan kesetaraan gender. Lebih dari setengah abad, status politik secara ekslusif masih didominasi oleh pria. Pola yang sama juga berlaku di negara-negara Barat yang demokratis. Di Skandivia, wanita yang menjadi anggota parlemen hanya 25%, Prancis 5%, Amerika Serikat 5%, Selandia Baru 4%, dan Inggris 4%.

Dari jumlah tersebut menyatakan, bahwa politik adalah pekerjaan pria. Sebuah perusahaan, memiliki standarisasi dalam pembagian kerja atau division of labour, yang dijadikan dasar dalam pembagian kerja. Secara universal, pengasuhan anak, dan pemeliharaan rumah dianggap sebagai tanggung jawab dan pekerjaan wanita. Namun, pada hakikatnya pengasuhan anak dan pendidikan adalah tanggung jawab kedua orang tua.

Penyerapan tenaga kerja antara pria dan wanita, sangat dipilih dengan ketat. Jika ada dua pelamar kerja pria dan wanita, dengan kemampuan yang sama-sama bagus, maka yang akan lebih diutamakan adalah pria. Hal tersebut dikaitkan dengan kodisi wanita yang terkadang akan meminta  cuti panjang saat masa kehamilan, dan para pengusaha terlebih dulu mengantisipasi hal tersebut.

Dari penjabaran di atas, pencapaian kesetaraan gender belumlah sesuai dengan fakta. Namun, ketidaksesuaian tersebut, dapat kita atasi dengan mengukur kemampuan serta kesanggupan wanita dalam mencapai kesetaraan gender. Karena pada hakikatnya Tuhan meciptakan manusia untuk saling melengkapi sebuah kekurangan satu dengan yang lain.


*Penulis adalah Mahasiswa PBSI Unhasy Tebuireng Jombang.