ilustrasi guru mengajar kaidah  fikih dan ushul fikih
ilustrasi guru mengajar kaidah fikih dan ushul fikih

Oleh: Moch. Vicky Shahrul H*

Dalam diskursus keagamaan pesantren, kita mengenal dua kajian pokok yang mendapat porsi lebih oleh kalangan santri. Dua kajian tersebut adalah ushul fikih dan fikih. Masing-masing memiliki paradigma dan definisi yang berbeda. Ilmu ushul fikih, secara sederhana adalah ilmu yang berisi beberapa kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum syariat yang bersifat amaliah. Sedangkan ilmu fikih berarti kajian seputar hukum-hukum syariat yang diperoleh dari dalil-dalil yang bersifat terperinci.

Dari definisi di atas, kita bisa memahami bahwa ushul fikih adalah proses pembuatan hukum sedang fikih adalah hasilnya (produk). Selanjutnya, melalui definisi di atas pula, kita bisa menemukan satu istilah yang perlu kita pahami lebih lanjut, yakni “kaidah”. Pertanyaan dasar, apakah antara kaidah fikih dan ushul fikih itu sama? Jika berbeda, bagaimana cara memahami perbedaan tersebut?

Kaidah Fikih dan Ushul Fikih

Untuk memahami perbedaan antara kaidah ushul fikih dan fikih, kita perlu menggarisbawahi bahwa antara kaidah fikih dan ushul fikih memiliki keterkaitan yang erat. Salah satu ulama kontemporer, Syeikh Ali Jum’ah menjelaskan:

أَنَّ الفِقْهَ عِلْمٌ مُسْتَقِلٌّ وَأُصُوْلُ الفِقْهِ عِلْمٌ مُسْتَقِلٌ وَلِكُلٍّ مِنْهُمَا قَوَاعِدُهُ عَلَى رَغْمِ وُجُوْدِ الاِرْتِبَاطِ الجَذْرِي الوَثِيْقِ بَيْنَهُمَا

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Fikih adalah satu fan tersendiri, dan ushul fikih adalah satu fan lain (keduanya berbeda). Keduanya memiliki kaidah tersendiri yang sangat berhubungan.”

Meski memiliki keterkaitan yang sangat kuat, beliau menjelaskan bahwa antara kaidah ushul fikih dan fikih memiliki titik perbedaan yang mencolok. Imam al-Qarafi, salah satu ulama mazhab Malikiyah, konon menjadi ulama yang pertama kali membedakan antara kedua kaidah tersebut.

Menukil dari Mukadimah Imam al-Qarafi, Syeikh Ali Jum’ah menyitir pendapat beliau mengenai perbedaan antara kaidah ushul fikih dan fikih. Imam al-Qarafi menjelaskan:

فإن الشريعة المعظمة المحمدية اشتملت على أصول وفروع وأصولها قسمان المسمى بأصول الفقه وقواعد فقهية كلية

Agama Islam mengandung beberapa kaidah pokok dan cabang permasalahan. Untuk kaidah pokok, terbagi menjadi dua; ushul fikih dan fikih.”

Untuk kaidah ushul fikih, Imam al-Qarafi menjelaskan:

وهو في غالب أمره ليس فيه إلا قواعد الأحكام الناشئة عن الألفاظ العريية خاصة وما يعرض لتلك الألفاظ

Fokus pembahasan kaidah ushul fikih adalah aturan-aturan hukum yang muncul dari teks-teks bahasa Arab dan beberapa hal yang menyertainya.”

Sedangkan untuk kaidah fikih, beliau menjelaskan:

مشتملة على أسرار الشرع وحكمه لكل قاعدة من الفروع في الشريعة ما لا يحصى

Kaidah fikih mencakup rahasia-rahasia di balik syariat dan hukumnya. Setiap kaidah memiliki cabang permasalahan yang tidak terbatas jumlahnya.”

Perbedaan Kaidah Ushul Fikih dan Fikih

Untuk memahami lebih lanjut perbedaan antara kaidah ushul fikih dan fikih sebagaimana penjelasan Imam al-Qarafi di atas, perlu kita merujuk ke beberapa kitab yang fokus mengkaji perbedaan tersebut. Salah satunya bisa kita pahami melalui keterangan Imam Ibn Mulaqqin sebagaimana di bawah ini.

Pertama, secara global, kaidah ushul fikih berisi kumpulan dalil-dalil ijmal yang dijadikan pedoman bagi mujtahid dalam merumuskan suatu hukum. Objek kajiannya bermuara pada dalil dan hukum saja. Misalnya, kaidah “suatu perintah menunjukkan suatu kewajiban”.

Sedang kaidah fikih berisi pernyataan-pernyataan umum yang di dalamnya terdapat masalah-masalah yang sangat kompleks dan komprehensif. Masalah-masalah tersebut berkaitan erat dengan pekerjaan seorang mukallaf. Misal, kaidah “kondisi sulit bisa menarik suatu kemudahan.”

Kedua, dengan kaidah fikih, seorang mujtahid bisa mengeluarkan hukum-hukum partikular tanpa harus bersentuhan dengan dalil. Sedang kaidah ushul fikih, seorang mujtahid mengandalkan dalil untuk mengeluarkan hukum-hukum yang bersifat partikular.

Aplikasinya, dalam ushul fikih, terdapat kaidah “suatu perintah menunjukkan adanya suatu kewajiban”. Untuk menerapkan kaidah ini, mujtahid mengandalkan dalil, misal, “Dirikanlah salat.” (Q.S. Al-Baqarah: 43).

Dari berbagai racikan yang ada dengan memadukan kaidah ushul fikih tadi, akhirnya mujtahid memutuskan bahwa hukum pelaksanaan salat lima watu adalah wajib.

Sedang dalam kaidah fikih, ada satu kaidah mengatakan, “Setiap perkara tergantung dengan tujuannya”. Dari kaidah tersebut, mujtahid bisa langsung memunculkan hukum bahwa niat di dalam salat dan wudhu itu wajib, tanpa mempertimbangkan dalil yang ada.

Ketiga, cakupan kaidah ushul fikih merata ke semua pertikular dan objek yang berkaitan dengan kaidah tersebut. Sedang kaidah fikih, bersifat umum, bisa jadi ada satu dua masalah partikular yang dikecualikan dari kaidah tersebut.

Bisa kita aplikasikan sebagaimana berikut. Di dalam kaidah fikih, terdapat satu kaidah “fardu lebih utama daripada sunnah”. Melalui kaidah ini, tidak semua masalah bisa dimasukkan. Buktinya, azan (sunah) lebih utama daripada menjadi imam salat (fardu kifayah).

Secara garis besar, dengan memahami tiga perbedaan di atas, kita bisa mengetahui bahwa antara kaidah fikih dan ushul fikih memang berbeda. Meski sebagaimana penjelasan di awal, antara keduanya memiliki hubungan yang erat. Dari sini, bisa kita simpulkan bahwa pertanyaan dasar yang penulis tawarkan sebelumnya sudah terjawab dengan penjelasan di atas. Sekian, terima kasih.

Baca Juga: Memahami Pengecualian dalam Kaidah Fikih


Sumber:

  • Imam Ibn Mulaqqin berjudul al-Asybah wa al-Nadhair fi Qawaid al-Fiqh
  • Syeikh Ali Jum’ah berjudul al-Madkhal ila Dirasah Madzahib al-Fiqhiyyah

*Mahasantri Mahad Aly An-Nur II Al-Murtadlo Malang.