
Memahami Pengertian Perempuan Ulama
Sebutan ulama dalam banyak komunitas muslim di dunia selama ini hanya ditunjukan kepada kaum laki-laki dan tidak untuk perempuan. Untuk menyebutkan perempuan sebagai ulama harus ditambahkan kata “perempuan” sehingga menjadi “ulama perempuan” atau “perempuan ulama”.
Mengutip dari Ala’i Nadjib terdapat perbedaan yang mendasar antara “perempuan ulama” dan “ulama perempuan”. Menurut dia, perempuan ulama adalah seorang yang secara biologis perempuan dan memiliki kapasitas keilmuan Islam yang mumpuni. Sedangkan ulama perempuan adalah seseorang yang menguasai ilmu-ilmu keislaman dan memiliki pemihakan terhadap perempuan.
Ala’i juga menyebutkan, keberpihakan ulama perempuan kepada perempuan adalah dengan menafsirkan teks-teks keagamaan dalam kacamata atau perspektif perempuan. Karena umumnya, pemahaman akan teks-teks keagamaan tersebut memang ‘didominasi’ oleh perspektif laki-laki. Oleh karena itu, ulama perempuan tidak hanya mereka yang berjenis kelamin perempuan saja, tetapi mereka yang berjenis kelamin laki-laki pun bisa juga dianggap sebagai ulama perempuan asal memiliki pemihakan kepada perempuan. Sehingga jangan salah jika ada ulama perempuan yang berjenis kelamin laki-laki seperti Kiai Husein Muhammad, Kiai Faqihuddin Abdul Qadir, Kiai Luthfi Kuningan, dan lainnya.
Peran Perempuan Ulama di Indonesia
Tidak banyak dari kita memahami peran dari seorang perempuan ulama. Bahkan, dapat dikatakan, sejarah ulama perempuan masih sangatlah terbatas. Di satu sisi sejarah ulama perempuan adalah sejarah yang masih gelap. Hal tersebut menjadi sebuah kesan umum-yang masih perlu untuk diuji-bahwa ulama perempuan tidak mendapatka tempat yang pantas dalam sumber-sumber sejarah muslim. Tetapi setelah ditelusuri, nyatanya peran ulama perempuan-khusunya di Timur Tengah-tercatat dalam sumber-sumber sejarah Islam. Terdapat cukup banyak ulama perempuan dan sekaligus para perempuan yang memiliki peran penting dalam keilmuan islam, sejak dari hadis, fikih, sampai tasawuf. Demikian juga terdapat peran-peran perempuan yang memiliki peran krusial dalam pembentukan lembaga-lembaga pendidikan islam seperti madrasah, ribat, dan lain-lainnya.
Di Indonesia sendiri, peran ulama perempuan dapat dilihat dari berbagai aspek, antara lain; pendidikan, pejuang kemerdekaan Indonesia, bidang politik, dan organisasi. Teryata dalam melihat peran ulama perempuan di Indonesia, maka tidak terlepas dari kacamata sejarah negeri ini baik, masa-masa kemerdekaan sampai pada masa pasca kemerdekaan Indonesia.
Peran Perempuan Ulama Indonesia Sebelum Kemerdekaan
Pada masa sebelum kemerdekaan Indonesia peranan perempuan ulama terbagi beberapa peran, seperti melalui peperangan, pendidika, dan juga tingkat organisasi. Sebutlah Tengku Fakinah seorang ulama perempuan sekaligus laksamana perang yang turut adil membantu dalam peperangan di Aceh pada abad 19 dengan penjajah Belanda pada tahun 1873 sampai 1910. Peperangan tersebut memakan waktu kurang lebih selama 80 tahun tersebut menyebabkan kerugian yang sangat besar bagi pihak Belanda.
Pada bidang pendidikan, terdapat nama ulama perempuan pada saat itu, yakni Rahmah el-Yunusiah. ia seorang ulama perempuan yang bergerak pada bidang pendidikan bagi kaum perempuan pada masa itu. Diniyah School Putri (Madrasah Diniyah li al-Banat), didirikan olehnya pada 01 November 1923. Lembaga pendidikan tersebut memang sengaja didirikan untuk meningkatkan derajat kaum perempaun di ranah kelahirannya, Minangkabau. Selain mendirikan Diniyah School Putri, ia juga mendirikan lembaga pendidikan untuk kaum ibu yang belum bisa baca-tulis.
Peran Perempuan Ulama Indonesia Pasca Kemerdekaan
Peranan perempuan ulama pasca kemerdekaan mengalami pengesaran. Biasanya peranan yang diambil adalah menjadi seorang ‘Bu Nyai” yang berfokus menangani permasalahannya para santri, khususnya santri putri, peranan ulama perempuan atau biasa disebut denya “Nyai” baik itu istri kyai atau saudara perempuan kyai yang cukup peran penting dalam kelangsungan dalam sebuah pondok pesantren belum banyak di ungkapkan. Nyai dalam lingkungan pondok pesantren memiliki peranan dan kedudukan yang tak kalah penting juga, selain kyai.
Pada umumnya peranan nyai hanya dapat dirasakan di lingkungan pesantren saja. Untuk itu perlu adanya penelitian yang mendetail tentang figur seorang nyai agar peranan dan kedudukan nyai dapat diungkapkan secara khusus, sehingga merekapun (nyai) dapat dijadikan sebagai salah satu figur publik baik bagi santri wanita maupun masyarakat umum. Nyai sebagai tokoh agama sekaligus juga sebagai pembawa perubahan kearah transformasi budaya, khususnya tentang peranan wanita pada era pembangunan dewasa ini.
Peranan perempuan ulama tidak berhenti disitu saja, mereka bersama-sama bersatu suara dalam menyelesaikan masalah yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, dengan melalui media fatwa guna menggaungkan dakwahnya. Tetapi otoritas ulama perempuan dalam mengambil sebuah keputusan fatwa, atau bahkan memberikan fatwa di Indonesia, masih dianggap sebelah mata bahkan tidak diakui fatwanya. Hal tersebut didasari hanya ulama laki-laki yang hanya diperbolehkan guna memberikan fatwa.
Adapun pada realitanya para perempuan ulama lebih sering berperan sebagai pengamat dan peserta dalam proses pembahasan dan perumusan fatwa. Otoritas keagamaan dan pemberian fatwa dilakukan oleh laki-laki sebagai pemimpin institusi. para ulama perempuan hanya dapat benar-benar memiliki otoritas agama ketika mereka memainkan peran yang sama dengan laki-laki. Untuk mendapatkan peran dalam organisasi yang didominasi laki-laki itu, para ulama perempuan tidak cukup sekadar menunjukkan kapasitas pengetahuan keagamaan yang memadai, tetapi juga perlu memiliki posisi dan jaringan yang kuat dalam organisasi. Singkatnya, otoritas agama di institusi fatwa cenderung dari atas ke bawah. Karenanya, ulama perempuan perlu punya posisi di atas untuk punya pengaruh ke bawah.
Baca Juga: Sejarah Kedudukan dan Peran Ulama Perempuan
Maka pada tanggal 25 hingga 27 April 2017, sekitar 500 ulama perempuan dan dihadiri juga oleh 15 negara lainnya dari seluruh benua, berkumpul guna membentuk Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang bertujuan antara lain;
- Mengakui dan mengukuhkan keberadaan dan peran ulama perempuan dalam kesejarahan Islam dan bangsa Indonesia;
- Membuka ruang pejumpaan para ulama perempuan tanah air dan dunia untuk berbagi pengalaman tentang kerja-kerja pemberdayaan perempuan dan keadilan sosial dalam rangka membumikan nilai-nilai keislaman, kebangsaan dan kemanusiaan;
- Membangun pengetahuan bersama tentang keulamaan perempuan dan kontribusinya bagi kemajuan perempuan dan peradaban umat manusia;
- Merumuskan fatwa dan pandangan keagamaan ulama perempuan Indonesia tentang isu-isu kontemporer dalam perspektif Islam rahmatan lil alamin.
Penulis: Dimas Setyawan Saputra
(Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya)