sumber gambar: Pesantren Tebuireng Jombang.

Oleh: Vevi Alfi Maghfiroh*

Pesantren adalah miniatur sebuah negara. Dalam sisi sosial, pesantren telah mengajarkan bagaimana hidup bersama dan belajar toleransi antar individunya yang berasal dari berbagai latar belakang keluarga, daerah, bahkan negara.

Di pesantren sebenarnya lebih dulu mengenal kurikulum pendidikan holistik (integreted curriculum) yang baru muncul pada sekitar tahun 1960-an dan dikembangkan pada tahun 1970-an. Sedangkan jauh sebelum itu, pondok pesantren telah lahir dengan sistemnya yang unik, bukan hanya sebagai tempat pengajaran (transfer of knowledge), tetapi juga mencakup pendidikan karakter, pendidikan spiritual, dan pendidikan emosional.

Para santri tidak hanya diberi asupan otak saja, tetapi juga hati dan fisiknya. Maka barang tentu jauh sebelum konsep-konsep itu ada, sebenarnya pondok pesantren sudah mengamalkan dan menjalankannya.

Jika dilihat pada konsep pembagian tipologi pesantren yang diungkapkan oleh beberapa penulis, pondok pesantren dikenal terbagi menjadi beberapa tipe, diantaranya adalah pesantren salaf (tradisional) dan pesantren khalaf (modern). Namun sebenarnya tipologi ini juga tidak paten berlaku.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Dalam dua belas tahun pengalaman menempuh pendidikan di kedua tipologi pesantren tersebut, ada hal-hal menarik yang saya temui di sana. Pada saat diamanahi menjadi bendahara di organisasi santri, saya menghadapi masalah pelik terkait dengan pencatatan keuangan yang tak terdata rapi. Ternyata permasalahan ini turun temurun dari beberapa periode sebelumnya.

Begitupun saat diamanahi untuk mengabdi di bagian pendidikan dan kurikulum pondok, saya mengalami kesulitan dalam melanjutkan estafet kepengurusan saat tidak bisa  menemukan catatan administrasi program kegiatan secara detail dan terperinci. Manajemen pelaksanaan program masih cenderung berjalan apa adanya, bahkan bisa berubah-ubah sesuai kebijakan kepengurusan dan yayasan.

Dari kedua pola tersebut, saya menemukan satu inti permasalahan bahwa manajemen tertulis dalam dunia pesantren kurang maksimal. Berangkat dari kegelisahan ini, upaya yang dilakukan kala itu adalah membuat dan memperbaiki pola manajemen administrasi pelaksanaan program pesantren tersebut. Dalam sifat manajemen modern, terdapat empat pola yang harus diperhatikan.

Pertama, planning (perencanaan). Dalam tahap perencanaan, seorang manajer harus membuat rencana jangka pendek, menengah, dan jangka panjang. Maka dalam pelaksanaan kurikulum pesantren, para pengurus seharusnya membuat visi, misi, dan menyusun program-program kerja sebagai acuan pelaksanaan.

Kedua, organizing (pengelolaan dan pembagian tugas). Pada tahap ini, seorang pengurus harus membagi tim dan anggota pada pokja-pokja pelaksanaan program. Hal ini dilakukan agar setiap pengurus memiliki tanggung jawab masing-masing atas amanah yang ia tanggung.

Ketiga, actuating (pelaksanaan). Perencanaan dan pengorganisasian yang baik kurang berarti bila tidak diikuti dengan pelaksanaan kerja. Setiap pengurus harus menjalankan amanah sesuai dengan tugas, fungsi, peran, keahlian, dan kompetensi masing-masing untuk mencapai visi, misi, dan program kerja yang direncanakan. 

Keempat, controlling (pengontrolan). Tahapan ini memiliki urgensi sebagai media evaluasi dari semua proses sebelumnya. Untuk mengetahui pekerjaan berjalan sesuai atau tidak dengan visi, misi, aturan, dan program kerja, maka pengontrolan juga dibutuhkan.  

Pola manajemen modern dan tertulis ini perlu diperhatikan oleh pondok pesantren, terutama pesantren salaf (tradisional). Berjalannya kegiatan dan program kurikulum pesantren tidak cukup hanya diatur oleh kiai sebagai tokoh sentral. Pada pola seperti ini, beberapa pesantren yang awalnya berjaya dan memiliki banyak santri, bisa saja tiba-tiba berkurang saat tokoh sentral tersebut tiada.

Figur kiai sebagai tokoh sentral karena kharisma merupakan pemberian dari Tuhan, tidak semua orang bahkan keturunan dan penerus para kiai tersebut belum tentu mendapatkannya. Kharisma atau dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah Haybah merupakan hibatullah (pemberian Tuhan).

Hal ini juga dikuatkan oleh Max Weber, pakar sosiolog Jerman dengan teori kharismanya mengatakan bahwa kharisma didefiniskan sebagai suatu sifat tertentu dari suatu kepribadian seorang individu berdasarkan nama orang itu dianggap luar biasa dan diperlakukan sebagai orang yang mempunyai sifat-sifat ghaib, sifat unggul, kekuatan yang khas, dan luar biasa. Namun karakter tersebut tidak bisa diwariskan dan diturunkan kepada penerusnya.

Oleh karena itu, saya menyimpulkan bahwa manajemen modern dan tertulis sangat penting dilaksanakan di pesantren. Keberlangsungan pesantren tidak bisa disandarkan pada tokoh sentralnya saja. Untuk mencapai perjalanan yang abadi, maka pesantren harus memiliki manajemen tertulis dalam bentuk data dan kata. Setidaknya pembukuan dan manajemen tertulis yang lengkap dan terperinci tersebut, bisa menjadi kerangka acuan agar bisa dilaksanakan di masa berikutnya.

*Alumni Pondok Putri Pesantren Tebuireng Jombang.