
Manusia dikaruniai oleh Allah SWT bermacam-macam jenis hewan agar bisa dimanfaatkan daging, susu, dan bulunya, juga bisa menjadi kendaraan dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nahl ayat 5:
وَالْاَنْعَامَ خَلَقَهَا لَكُمْ فِيْهَا دِفْءٌ وَّمَنَافِعُ وَمِنْهَا تَأْكُلُوْنَ
Dia telah menciptakan hewan ternak untukmu. Padanya (hewan ternak itu) ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai manfaat, serta sebagian (daging)-nya kamu makan. (Q.S. an-Nahl: 5)
Tidak semua hewan bisa dimakan, ada kriteria syariat yang mengatur hewan apa saja yang boleh dimakan. Misalnya saja, ada aturan hewan tersebut tidak boleh bertaring dan berkuku tajam, tidak berupa bangkai baik mati sendiri atau terkaman hewan buas, tidak tergolong hewan yang menjijikkan dan lain sebagainya.
Pada pembahasan kali ini akan terfokus kepada hewan yang menjijikkan, lebih tepatnya hewan yang memakan makanan yang menjijikkan. Hewan yang memakan makanan yang menjijikkan/kotoran biasa disebut al-Jallalah. Dalam sebuah hadis nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda tentang hal ini:
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَقَ عَنْ ابْنِ أَبِي نَجِيحٍ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْلِ الْجَلَّالَةِ وَأَلْبَانِهَا.[1]
Telah menceritakan kepada kami Hannad, telah menceritakan kepada kami Abdah dari Muhammad bin Ishaq dari Ibnu Abu Najih dari Mujahid dari Ibnu Umar ia berkata, “Rasulullah ﷺ melarang untuk memakan al jallalah (hewan yang memakan kotoran) dan meminum susunya.”
Pengertian Hewan al-Jallalah
Secara definisi al-Jallalah adalah:
وَهِيَ الْحَيَوَانُ الَّذِي يَأْكُلُ الْعَذِرَةَ مِنَ الْجَلَّةِ بفتح الْجِيمِ وَهِيَ الْبَعْرَةُ
Hewan yang memakan kotoran dari hewan lain (Unta).
Jika dilihat dari definisi ini, maka hewan apa pun yang memakan kotoran bisa dikategorikan sebagai al-Jallalah. Namun hal ini tidak bersifat mutlak, ada batasan untuk pengkategorian al-Jallalah yakni:
ثُمَّ قِيلَ إِنْ كَانَ أَكْثَرُ عَلَفِهَا النَّجَاسَةَ فَهِيَ جَلَّالَةٌ وَإِنْ كَانَ أَكْثَرُ عَلَفِهَا الطَّاهِرَ فَلَيْسَتْ جَلَّالَةً وَجَزَمَ بِهِ النَّوَوِيُّ فِي تَصْحِيحِ التَّنْبِيهِ
Kemudian dikatakan bahwa jika sebagian besar makanannya (pokok) najis, maka dia adalah al-Jallalah, dan jika sebagian besar makanannya suci, maka dia bukanlah Jalalah, pendapat ini juga disetujui oleh Imam Nawawi dalam kitab Tashih al-Tanbih.[2]
Hukum Memakan Hewan al-Jallalah
Ulama berbeda pendapat mengenai hukum memakan hewan al-Jallalah ini ada yang mengharamkan ada juga yang hanya sebatas makruh.
فأباح المالكية كما تقدم أكل لحم الجلالة. وكرهها مالك، وأحمد في رواية عنه والحنفية والشافعية، وحرمها الحنابلة
Sebagian dari mazhab Maliki memperbolehkan, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, memakan daging hewan yang memakan kotoran (jallalah). Namun, Imam Malik, Imam Ahmad dalam salah satu riwayat dari beliau, serta mazhab Hanafi dan Syafi’i, menghukumi makruh. Sementara mazhab Hanbali mengharamkannya.[3]
Penyebab perbedaan hukum dari beberapa madzhab ini adalah adanya pertentangan antara qiyas dan atsar sahabat.
Pendapat Ulama Malikiyah
وأما القياس المعارض لهذا: فهو أن ما يرد جوف الحيوان ينقلب إلى لحم، فالمالكية القائلون بالحل نظروا إلى الانقلاب أو التحول إلى لحم، كانقلاب الدم لحماً
Adapun analogi (qiyas) yang bertentangan dengan pendapat ini, yaitu: bahwa apa yang masuk ke dalam perut hewan akan berubah menjadi daging. Maka mazhab Maliki yang membolehkan (memakannya) memandang kepada perubahan atau transformasi menjadi daging, seperti halnya darah yang berubah menjadi daging. (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu li az-Zuhaili)
فَإِذَا قُلْنَا: إِنَّ لَحْمَ الْحَيَوَانِ حَلَالٌ وَجَبَ أَنْ يَكُونَ لِمَا يَنْقَلِبُ مِنْ ذَلِكَ حُكْمُ مَا يَنْقَلِبُ إِلَيْهِ، وَهُوَ اللَّحْمُ، كَمَا لَوِ انْقَلَبَ تُرَابًا، أَوْ كَانْقِلَابِ الدَّمِ لَحْمًا
Maka jika kita mengatakan: ‘Daging hewan itu halal’, maka wajib bahwa apa yang berubah darinya memiliki hukum seperti apa yang berubah kepadanya, yaitu daging, sebagaimana jika ia berubah menjadi tanah, atau seperti perubahan darah menjadi daging.[4]
Maksudnya jika daging hewan tersebut asalnya halal maka perubahan yang berasal dari apa pun menjadikannya halal seperti darah yang awalnya najis kemudian menjadi daging yang halal.
Pendapat Ulama Hanafiyah
يكره لحم الجلالة ولبنها، كما يكره لحم الأتان ولبنها ولبن الخيل، وبول الإبل، وأجازه (أي بول الإبل ولحم الفرس) أبو يوسف للتداوي به. وتحبس الجلالة حتى يذهب نتن لحمها، وقدر بثلاثة أيام لدجاجة، وأربعة لشاة، وعشرة لإبل وبقر على الأظهر. ولو أكلت الجلالة النجاسة وغيرها بحيث لم ينتن لحمها، حلت، كما حل أكل جدي غذي بلبن خنزير؛ لأن لحمه لا يتغير، وما غذي به يصير مستهلكاً لا يبقى له أثر. وعليه: لا بأس بأكل الدجاج، لأنه يخلط أكل النجس مع غيره، ولا يتغير لحمه
Makruh daging dan susu jallalah sebagaimana dimakruhkan daging dan susu al-Atan (keledai betina) dan susu kuda, serta urine unta. Dan Abu Yusuf membolehkannya (yaitu urine unta dan daging kuda) untuk pengobatan. Dan hewan jallalah harus dikurung (karantina) hingga hilang bau busuk dagingnya, yang diperkirakan selama tiga hari untuk ayam, empat hari untuk domba, dan sepuluh hari untuk unta dan sapi menurut pendapat yang paling kuat. Namun, jika hewan jallalah memakan najis dan lainnya sehingga dagingnya tidak berbau busuk, maka hukumnya menjadi halal, seperti halnya memakan anak kambing yang diberi makan susu babi, karena dagingnya tidak berubah dan apa yang dimakannya menjadi tidak berbekas. Berdasarkan hal ini, tidak masalah makan daging ayam, karena ia bercampur makan yang najis dengan yang lain, dan dagingnya tidak berubah.” (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu li az-Zuhaili)
Pendapat Ulama Syafi’iyah
يكره أكل الجلالة: وهي التي أكثر أكلها العَذِرَة (الغائط) من ناقة أو شاة، وبقرة، أو ديك، أو دجاجة؛ لحديث ابن عمر المتقدم: ولا يحرم أكلها، لأنه ليس فيها أكثر من تغيير لحمها، وهذا لا يوجب التحريم. فإن أطعم الجلالة طعاماً طاهراً لم يكره، لقول ابن عمر: «تعلف الجلالة علفاً طاهراً: إن كانت ناقة أربعين يوماً، وإن كانت شاة سبعة أيام، وإن كانت دجاجة ثلاثة أيام».
Hukumnya makruh memakan jallalah, yaitu hewan yang sebagian besar makanannya adalah kotoran (tinja) dari unta, domba, sapi, ayam jantan, atau ayam betina, berdasarkan hadits dari Ibnu Umar yang disebutkan sebelumnya. Namun, hukumnya tidak haram, karena hanya ada perubahan pada daging hewan tersebut, dan hal itu tidak menyebabkan keharaman. Jika jallalah tersebut diberikan makanan yang suci, maka tidak lagi makruh untuk memakannya, berdasarkan perkataan Ibnu Umar: ‘Jika jallalah itu unta, maka hendaklah diberi makanan yang suci selama empat puluh hari. Jika domba, maka tujuh hari. Dan jika ayam, maka tiga hari’.” (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu li az-Zuhaili)
Pendapat Ulama Hanabilah
والحنابلة أخذوا بظاهر النهي المقتضي للتحريم، ولأن اللحم يتولد من النجاسة، فيكون نجساً، كرماد النجاسة
Sementara mazhab Hanbali berpegangan pada zhahir hadis larangan yang menunjukkan keharaman, serta karena daging berasal dari kotoran, maka daging tersebut dianggap najis, sebagaimana halnya abu dari sesuatu yang najis. (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu li az-Zuhaili)
وعبارة الحنابلة: وتحرم الجلالة: وهي التي أكثر طعامها النجاسة، كما تحرم ألبانها وهي رواية عن أحمد، وفي رواية أخرى أنها مكروهة غير محرمة، وتزول الكراهة بحبسها اتفاقاً. واختلف في قدره فروي عن أحمد أنها تحبس ثلاثاً، سواء أكانت طائراً أم بهيمة. وروي عنه أيضاً: تحبس الدجاجة ثلاثاً، والبعير والبقرة ونحوهما يحبس أربعين. ويكره ركوب الجلالة
Hewan jallalah hukumnya haram untuk dimakan, yakni hewan yang sebagian besar makanannya adalah najis (kotoran). Demikian pula susu dari hewan jallalah hukumnya haram. Ini merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Namun, ada riwayat lain dari Imam Ahmad yang menyatakan bahwa jallalah hukumnya makruh saja, bukan haram, dan kemakruhannya akan hilang jika hewan tersebut dikandangkan atau diisolasi selama beberapa waktu. Ada perbedaan pendapat tentang berapa lama hewan jallalah harus dikandangkan. Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa ayam jallalah harus dikandangkan selama tiga hari, sedangkan unta, sapi, dan sejenisnya harus dikandangkan selama empat puluh hari. Selain itu, diharamkan juga untuk menunggangi hewan jallalah.” . (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu li az-Zuhaili)
Itulah definisi dari hewan Jallalah dan hukum mengkonsumsinya menurut beberapa madzhab yang ada, sejatinya hewan Jallalah adalah hewan yang aslinya halal untuk dikonsumsi teapi dengan adanya konsumsi pakan yang berasal dari perkara yang kotor atau bahkan najis menjadikan hukum memakannya menjadi berbeda-beda.
Baca Juga: Hukum Biogas dari Kotoran Hewan/Manusia
[1] HR Imam Tirmidzi no 1824, DKI Ilmiyah
[2] ‘Abd al-Raḥmān al-Mubārakfūrī, Tuḥfat al-Aḥwādhī, 447/5
[3] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu li az-Zuhaili, 2597/4
[4] Ibn Rushd al-Ḥafīd, Bidāyat al-Mujtahid wa Nihāyat al-Muqtaṣid, 18/3
Ditulis oleh Nurdiansyah Fikri Alfani, Santri Tebuireng