Sumber: hipwee.com

Oleh : Galih Budi*

Terlalu sarkastis ketika kita memandang ‘sebelah mata’ suku pedalaman. Secara antropologis, suku pedalaman adalah suku yang menghabiskan masa hidupnya di suatu hutan dengan peraturan yang sangat ketat terhadap orang luar dan masih teguh terhadap ajaran nenek moyang mereka. Dari Sabang sampai Merauke, banyak ditemui suku-suku yang masih memegang teguh ajaran nenek moyang mereka dan terkesan primitif bagi manusia millenial dewasa ini. Contohnya saja Suku Samin (Blora-Bojonegoro), Suku Polahi (Gorontalo), Suku Sakai (Riau), Suku Badui Dalam (Banten), Suku Kombai (Papua), Suku Anak Dalam (Jambi), Suku Kajang (Bulukumba), dan masih banyak lagi.

Situasi Hutan Indonesia

Semua suku pedalaman di Indonesia bertempat tinggal di hutan. Permasalahan pun bermuncul dari sini. Publikasi Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, luas hutan Indonesia pada tahun 2017 seluas 93,6 juta ha. Sedangkan, angka deforestasi atau kerusakan hutan pada tahun yang sama sebesar 64,3 persen. Angka ini menurun apabila dibandingkan dengan tahun 2014 sebesar 73,6 persen. Hampir semua deforestasi didorong oleh kegiatan manusia. Dikutip dari Mongabay, penyebab deforestasi hutan dunia adalah commercial agriculture (49 persen), loan agriculture urban (33 persen), infrastruktur (8 persen), expansion (5 persen), dan mining (5 persen).

Menurut data BPS tahun 2015, luas hutan Indonesia hampir mencapai 130 juta ha. Luas tersebut telah dikurangi sebesar 40 persen dari luas hutan Indonesia pada kurun waktu 1950, menurut analisis yang dilakukan oleh Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch. Hal ini sangat disayangkan karena Indonesia merupakan ranking tiga dunia dengan hutan hujan tropis terluas setelah Brazil dan RD Kongo.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Analisis data satelit, hutan tropis di dunia dirusak pada tingkat setidaknya 8 juta ha atau 31.000 mil persegi per tahun. Luas ini sepadan dengan luas Carolina Selatan atau Republik Ceko yang ditebangi setiap tahun. Brazil, Indonesia, RD Kongo, dan Malaysia memiliki tingkat kehilangan hutan hujan tertinggi dengan rentang tahun 2012-2014.

Antropologis Suku

Efek dari ketamakan hutan ini adalah menyusutnya suku pedalaman di Indonesia dan memaksa modernitas dan mobilisasi global masuk diantara mereka. Kesigapan modernis suku pedalaman pun belum teruji secara matang. Para pengusaha memanfaatkan celah ini untuk membodohi kepala suku dengan surat hukum hak tanah. Hukum pun menyetujui secara sah bahwa tanah itu sudah berpindah tangan karena ‘hitam di atas putih’. Suku pedalaman pun kehilangan habitat aslinya, hutan sebagai tempat tinggalnya. Data UNICEF menyebutkan lebih dari 80 persen yang merawat alam di dunia ini adalah suku pedalaman dan sisanya adalah LSM dan aktivis non pemerintah.

Rentetan permasalahan suku pedalaman dan kejenakaan kita tak berakhir disini. Kita yang mengaku lebih cerdas dan lebih modern nyatanya masih bodoh dan kalang kabut dengan pengelolaan hutan ala suku pedalaman. Seringkali diantara kita mengaku pencinta alam sejati dan menggaung-gaungkan cinta lingkungan. Gampang saja, kita jamak menjumpai ekskul pencinta alam di sekolah swasta maupun negeri. Padahal, kita pun sering abai membuang sampah pada tempatnya. Kita tidak tahu bagaimana mengamalkan teori pemanfaatan alam secara baik dan tepat guna. Kita tidak tahu pengolahan madu sampai proses produksi, irigasi air hulu ke hilir, reboisasi, teknik bercocok tanam, dan sistem berburu yang berwawasan ekoefisiensitas. Kita ini naïf sekali, Bung.

Kita tidakcocok menyandang predikat pencinta alam yang sesungguhnya. Justru, predikatpencinta alam yang sesungguhnya layak disandang oleh suku pedalaman. Tapimereka tidak perlu apresiasi semacam itu. Mereka ikhlas menjaga alam Indonesia.Tanpa penghargaan apapun. Bentuk apresiasi kita kepada suku pedalaman pun cukupmensyukuri bahwa suku pedalaman pun dapat memberi wawasan cara mengolah alamsecara baik dan tepat guna. Sesungguhnya, penikmat alam yang sejati adalah, ya kita-kita ini.


*Siswa SMA Trensains Tebuireng 2