
Orang-orang bilang aku anak yang beruntung. Tinggal di rumah tiga lantai berlapis marmer, punya mobil pribadi sebagai hadiah ulang tahun, uang jajan yang tak pernah habis, dan lemari penuh baju mahal, bahkan banyak yang belum sempat kupakai, tapi sudah kuberikan ke pembantu di rumah ini.
Namun, di balik pintu kamarku yang selalu tertutup rapat, tak ada seorang pun yang tahu bahwa aku tidur dengan rasa takut yang begitu dalam.
Ibuku keras, bahkan terlalu keras. Saat aku mendapat nilai 90, ia bertanya kenapa bukan 100. Jika aku pulang telat lima menit saja, ia akan mengunci pagar dan menyuruhku tidur di teras. Ketika aku jatuh sakit, bukan pelukan atau perhatian yang kudapatkan, melainkan omelan, “Itu karena kurang ibadah.”
Pernah aku menangis seharian hanya karena tak sengaja menyenggol gelas hingga pecah. Ibu menyeretku ke dapur dan menekan jariku ke pecahan kaca. “Biar tahu rasa,” katanya dingin. Tapi anehnya, aku tak sepenuhnya menyalahkannya. Ibu adalah korban dari didikan keras yang juga pernah ia terima sejak kecil. Mungkin, luka itu diwariskannya padaku.
Aku belajar untuk diam. Menyimpan semuanya sendirian. Tapi tubuhku tak bisa terus-menerus menampung trauma yang mendalam. Sejak usia dua belas, aku mulai merasa ada yang berubah dalam diriku. Suara-suara aneh mulai terdengar di kamar: langkah kaki, tangisan perempuan, tawa melengking yang memekakkan telinga. Kadang, aroma melati menyusup dari sudut ruangan yang tak pernah tersentuh cahaya.
Pertama kali aku melihatnya, sosok perempuan berambut panjang, wajah rusak, berdiri di pojok kamar sambil menatapku dengan pandangan tajam, aku hampir pingsan. Tubuhku menggigil hebat. Aku lari ke kamar ibu, memeluk kakinya. Tapi ia malah menepis tubuhku dan berteriak:
“Kamu itu kenapa sih?! Jangan drama! Sakit aja sampe lari ke sini!”
Keesokan harinya, aku demam tinggi. Diam-diam, ayah membawaku ke seorang kiai di pinggiran kota. Sang kiai hanya menatapku sebentar, lalu menghela napas.
“Kirimannya kuat, Pak. Ini bukan halusinasi. Anak njenengan ini kena santet.”
Entah siapa yang begitu membenci keluarga kami hingga tega mengirim santet pada anak perempuan seperti aku. Tapi sejak itu, malam-malam menjadi neraka. Tubuhku menggigil hebat, menjerit tanpa sebab, lalu terkulai lemas. Aku mulai kehilangan kesadaran atas diriku sendiri. Ibu tetap menyebut semua itu sebagai bentuk lemahnya iman. Tapi ayah tidak.
“Gak papa, Nak. Ayah percaya kamu sakit. Ayah akan carikan jalan supaya kamu cepat sembuh dan keluarga kita selamat,” katanya sambil memelukku erat, seolah tahu waktunya bersamaku tak lama lagi.
Sejak itu, ayahlah yang setia mengantarku ruqyah. Kami bahkan pernah bermalam di rumah si kiai yang sangat sederhana dan terpencil. Dinding rumahnya dari kayu, lampunya redup. Tapi ayah selalu bilang, “Yang penting kamu sembuh.”
Setiap kali aku kerasukan, ayah akan menggenggam tanganku dan membaca ayat-ayat Al-Qur’an dengan suara parau. Suaranya penuh cinta dan kekuatan, meski aku kadang melihatnya menangis diam-diam. Pernah aku mencakarnya sampai berdarah, tapi ia hanya memelukku makin erat.
“Lepaskan anakku, dia milikku, bukan milikmu,” ucapnya pada entitas yang menguasai tubuhku. Suaranya masih terngiang, walau samar.
Tubuhku makin lemah. Rambutku rontok, wajahku pucat. Aku semakin jarang ke sekolah. Masa remajaku lenyap, tergantikan oleh rasa takut yang tak pernah habis. Aku iri pada teman-temanku yang bisa tertawa lepas, tapi aku tahu, hidupku tidak ditakdirkan sesederhana itu.
000
Suatu malam, aku bermimpi duduk di pangkuan ayah di bawah pohon jambu di dekat rumah. Ia memelukku erat, tertawa dengan candaan khas bapak-bapak. Tak ada rasa sakit, tak ada jeritan. Hanya ketenangan. Rasanya seperti pulang.
Besok paginya, aku tak bangun lagi. Kata ibu, wajahku sangat tenang, seperti seseorang yang akhirnya bisa tidur setelah bertahun-tahun kelelahan. Latar perawat menunjukkan jantungku berhenti sejak subuh tadi.
Pemakamanku ramai. Banyak yang menangis. Ibu pingsan berkali-kali. Tapi ayah hanya duduk di samping nisanku, menggenggam batu nisan itu lama sekali.
“Mungkin aku kalah, Nak,” bisiknya pelan. “Tapi kamu sudah bebas sekarang.”
Tiga bulan setelah aku tiada, rumah itu dijual. Ayah pindah ke desa, dekat pesantren tempat terakhir aku diruqyah. Ia berhenti dari pekerjaannya di kantor besar. Katanya, ia ingin dekat dengan tempat yang mengingatkannya padaku.
Sedangkan ibu… entah. Mungkin malu, atau masih marah pada dunia.
Tapi setiap malam Jumat, ayah datang ke makamku. Membacakan Yasin, menabur bunga, dan berbicara seolah aku masih duduk di sampingnya. Dan aku? Meski sudah tiada, setiap kali angin sore menyapa pohon jambu depan rumah lama kami, aku percaya… ayah masih di sana, memeluk kenangan tentangku yang hilang bersamanya.
Penulis: Wan Nurlaila Putri
Editor: Rara Zarary