ilustrasi: Amir/to

oleh: M. Zulfikri*

Di depan gerbang kantor DPR berdiri seorang pemuda dengan megaphone di tangannya bersama suara serak nan lantang membakar semangat kawan-kawannya di bawah terik siang itu, terlihat juga peci hitam yang tak hitam lagi, entah sudah berapa lama peci itu menaungi rambut ikal panjangnya. Sebab, sudah terlihat garis-garis kecoklatan mengelilingi peci hitamnya. 

Sebagai seorang mahasiswa, anto meyakini bahwa turun ke jalan bersama rakyat yang tertindas, menyuarakan keadilan adalah salah satu cara menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi: pengabdian kepada masyarakat, dan sebagai seorang yang pernah belajar di pondok pesantren (santri) selama 6 tahun,  hal ini sebagai bentuk Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Diamnya orang alim adalah suatu bencana. Iya, Anto menganggap dirinya orang yang alim, meskipun teman-temannya tidak beranggapan demikian.

Terik matahari siang itu tidak menghentikan langkah para mahasiswa dan petani, sekitar 50 orang berkerumun di depan kantor DPRD Morowali. Mereka menuntut keadilan atas terjadinya pencemaran lingkungan serta perampasan lahan oleh perusahaan tambang. 

“Salam perjuangan kawan-kawan!” dengan tangan mengepal dan suara lantang. Anto memulai orasinya di depan gerbang. Para aparat yang berjaga menatap Anto dan masa aksi dengan tatapan yang tajam.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Atas nama keadilan, kita bersama dalam satu barisan yang solid, untuk menuntut keadilan di negeri ini. Hak hidup kita diambil dengan paksa, tak bisa digantikan dengan uang. Jangan pernah gentar untuk melawan segala bentuk penindasan!!!” 

“Betuulll.!!!” riuh masa aksi mendengar orasi Anto.

Aksi mereka siang itu tidak membuahkan hasil, pintu gerbang ditutup rapat, dan dijaga ketat oleh para aparat. Anto mau mengambil langkah lebih, namun ia sadar kalah jumlah, ia terpaksa menarik mundur masa.

Sejak aksi siang itu, anto dan teman-temannya memutuskan untuk tinggal di desa bersama masyarakat untuk memikirkan langkah apalagi yang harus ditempuh, serta menyadarkan masyarakat yang lain akan dampak tambang bila beroperasi dengan waktu yang lama, merasakan bagaimana hidup dengan  sulitnya air bersih dan udara yang tidak sehat membuat kesulitan bernapas akibat kegiatan perusahaan tambang di desa itu. 

Mengalah bukan berarti kalah. Anto tak akan berhenti untuk memperjuangkan dan membela rakyat yang tertindas. Kendati pun Anto dan teman-teman mahasiswa yang lain harus tinggal dan hidup bersama mereka di desa.

Malam itu, tepat malam Jumat, Anto, teman-temannya dan beberapa warga sedang ngobrol, ngopi santai di teras salah satu rumah warga. Di tengah perbincangan hangat, pak Imam datang dengan raut wajah yang bingung. 

“Assalamualaikum…”

“Waalaikumsalam…” Anto dan orang-orang di teras itu menjawab salam pak Imam.

“Duduk pak Imam, kok kelihatannya resah pak?” kata salah satu warga menebak.

“Iya, lagi mikirin shalat Jumat besok,” jawab pak Imam.

“Loh kenapa pak? Shalat tinggal shalat kok,” tanya salah satu warga sambal memegang gelas kopi.

“Bukannya gitu, ustadz Ridwan tadi sore ke kota, antar istrinya lahiran.” pak Imam menjawab  dengan nada yang lembut.

“Terus yang jadi khotib besok siapa pak?” tanya warga lagi.

“Itu yang saya pikir, kalian di sini ada yang bisa nggak ?” tanya pak Imam.

Orang-orang di teras itu saling menatap mendengar pertanyaan pak Imam. 

“Anto aja pak, dia bisa nih, lulusan pesantren masa ngga bisa?” kata teman Anto memecah kebingungan.

Anto kaget ditodong seperti itu oleh temannya. Mengingat ia sudah lama tidak menjadi khatib, terakhir 6 tahun yang lalu, itu pun saat muhadhoroh di pondok.

“Kamu bisa Anto ?” tanya pak Imam.

Untung saja Anto masih mengingat bacaan-bacaan saat khutbah Jumat dan beberapa ayat yang masih menempel di kepalanya, “InsyaAllah bisa pak.” jawab Anto memantaskan diri.

Makin malam suasana makin dingin begitu juga segelas kopi mengikutinya, tersisa obrolan yang kian hangat. Pak Imam pulang dengan bahagia, sebab ada Anto yang siap mengisi khutbah Jumat esok hari.

Keesokan harinya, Anto bangun lebih pagi tidak seperti biasanya. Meskipun, semalam begadang hingga larut. Tepat jam 10 pagi ia membuka mata dari tidur, segera ia bergegas mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan. Mulai dari memakai baju terbaik, memakai wangi-wangian, dan datang lebih awal ke masjid. Bahkan Anto adalah orang kedua yang datang ke masjid setelah pak Imam.

Warga desa sudah mulai mendatangi masjid, Anto  duduk dengan tenang di shaf paling depan, mengingat-ingat kembali  ayat-ayat yang ingin ia sampaikan dan tata cara menjadi khatib yang baik dan benar.

Setelah adzan pertama berkumandang, melakukan sholat qobliyah jumat, bilal berdiri dan menghadap para jamaah jumat. “Yaa Ma’asyiral Muslimin wazumrotal mu’miniin Rahimakumullah……”

Anto naik ke atas mimbar memberikan salam dan kembali duduk. Tetap tenang, yakin dan percaya diri. Bilal kemudian membaca bacaannya lagi dan mengumandangkan adzan kedua.

Innalhamdalillah…” Anto memulai khutbah dengan menatap para jamaah. Ia membuka khutbah seperti khutbah pada umumnya. Membaca hamdalah, sholawat, syahadat, dan mengingatkan jamaah untuk selalu bertakwa kepada Allah.

Jama’ah jumat rahimakumullah….

Sebagai pemimpin yang diutus Allah dimuka bumi ini, sudah seharusnya kita merawat dan menjaganya, ketika kita bisa melakukan tugas itu, maka alam akan memberikan manfaat besar bagi kita semua. Karena Allah menciptakan alam ini untuk kebutuhan manusia. Sebagaimana dalam Surat Al-Baqarah ayat 29. 

Artinya ‘Dia (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untuk kalian, kemudian Dia menuju langit, lalu menyempurnakannya menjadi tujuh lapis langit. Dia maha mengetahui atas segala sesuatu” Lugas anto menyampaikan.

Jama’ah jumat rahimakumullah….

Alam akan memberi manfaat bagi kita, jika kita tidak merusaknya. Dan sekarang alam disekitar kita telah rusak oleh tangan-tangan manusia yang tidak bertanggung jawab. Maka, kita sebagai orang beriman tidak boleh membiarkan hal itu terjadi, sebagaimana dalam hadist nabi

Barang siapa melihat sebuah kemungkaran, maka hendaklah ia merubah dengan tangannya, dan jika tidak sanggup maka hendaklah ia merubah dengan lisannya, dan jika  tidak sanggup maka hendaklah merubah dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman’

 “Hidup Jama’ah Jumat!!” teriaknya sambil mengepal dan mengangkat tangan kiri. 

“HIDUP!!!” Disambut dengan semangat teman-teman seperjuangannya yang mendengarkan khutbah sambil merokok di luar masjid.

Sontak kaget mendengar teriakan teman-temannya, ia mengangkat tangan. Namun, kali ini tidak mengepal, melainkan mengambil sikap berdoa untuk mengakhiri khutbah.

Barakallahu lii wa lakum fill qur’aanil azhiim….”

*Mahasiswa Unhasy Tebuireng Jombang.