
Kemarin saya duduk diam menyimak khutbah seorang ustaz. Suaranya mantap, nadanya yakin, dan isi pesannya tegas: umat Nabi Muhammad adalah umat terakhir namun akan masuk surga paling awal. Kalimat itu disambut anggukan khusyuk sebagian jamaah. Namun saya tercekat oleh keraguan yang tiba-tiba menggerogoti nalar. Benarkah begitu cara kerja keadilan ilahi? Mengapa mereka yang lahir terakhir justru disebut paling berhak masuk lebih dahulu ke dalam surga? Apakah agama yang menjunjung keadilan kini mengandung narasi yang menyulut rasa superioritas?
Di titik ini saya merasa perlu berhenti sejenak dari kekhusyukan pasif. Bukankah keimanan yang dewasa menuntut keberanian untuk bertanya? Bila surga ialah puncak ganjaran atas amal baik, mengapa ia tiba-tiba menjadi hak istimewa karena label keumatan? Tidakkah ini mengandung semacam privilese spiritual yang tak berpijak pada pilihan bebas manusia—sebab tak satu pun dari kita memilih untuk lahir sebagai pengikut nabi yang mana?
Gagasan bahwa umat akhir zaman mendapat prioritas surgawi mengandung implikasi moral yang kompleks. Apakah ini tidak mengaburkan prinsip bahwa setiap manusia akan dibalas sesuai perbuatannya, sebagaimana ditegaskan dalam al-Quran, “Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasannya), dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasannya)” (Q.S. Az-Zalzalah: 7–8). Di sini, Tuhan tidak menyebut ‘umat’, tetapi ‘barang siapa’ sebuah frasa universal yang menghapus batas zaman dan sekat agama.
Barangkali yang harus dikritisi bukan dalilnya, tetapi cara sebagian orang menafsirkan dan mengemasnya menjadi narasi eksklusif. Michel Foucault pernah mengatakan bahwa kekuasaan bekerja melalui wacana; dan dalam agama, wacana dapat menciptakan hierarki spiritual yang tak kasat mata. Maka, dalam ceramah-ceramah semacam itu, kita tidak hanya mendengar tafsir agama, tetapi juga produksi wacana kekuasaan: siapa lebih berhak, siapa lebih dulu, siapa lebih mulia.
Dari perspektif filsafat keadilan, pertanyaan ini menyeruak: mungkinkah keadilan dapat ditegakkan bila dimulai dari asumsi bahwa sebagian umat manusia lebih unggul hanya karena kebetulan sejarah? John Rawls dalam A Theory of Justice menjelaskan bahwa keadilan sejati muncul dari posisi “veil of ignorance”—tirai ketidaktahuan di mana seseorang belum tahu status sosial, ekonomi, atau keberagamaan apa yang akan ia sandang. Jika seseorang tak tahu ia akan lahir sebagai umat siapa, tentu ia akan menuntut sistem keadilan yang netral dan tidak bias keumatan.
Lebih jauh lagi, narasi tentang keistimewaan umat tertentu berpotensi melahirkan bentuk baru dari religious narcissism yakni kepercayaan bahwa kelompok sendiri paling dikasihi Tuhan, paling dulu masuk surga, dan paling benar dalam tafsir keimanan. Hal ini pernah dikritik oleh Karen Armstrong dalam bukunya The Battle for God, di mana ia menegaskan bahwa kegagalan memahami simbolisme agama dapat menjelma menjadi fundamentalisme yang menutup ruang bagi kasih sayang dan kebijaksanaan.
Betapa ironisnya, jika ajaran tentang kerendahan hati justru dibungkus dalam bahasa kejumawaan spiritual. Bukankah doa paling menyentuh bukan yang datang dari mereka yang merasa layak, tapi dari mereka yang merasa rapuh? Dalam sebuah doa yang dinisbahkan kepada Imam Hasan Al-Bashri, terucap lirih: “Ya Allah, jika Engkau mencampakkan aku ke neraka, katakanlah itu karena dosaku, bukan karena Engkau tidak adil.” Sebuah pengakuan yang melampaui kalkulasi pahala, menuju wilayah cinta dan kepasrahan sejati.
Barangkali, surga bukanlah tempat yang dibuka berdasarkan urutan kedatangan, melainkan dibuka oleh kunci keikhlasan. Ia tidak mengenal antrian waktu, tetapi mengenal kadar hati. Maka yang pertama bisa saja menjadi yang terakhir, dan yang terakhir bisa menjadi yang pertama.
Di tengah dunia yang semakin terpecah oleh klaim kebenaran mutlak dan kebanggaan identitas, ajaran yang menghibur kelompok sendiri sambil menegasikan yang lain harus dibaca ulang secara kritis. Kita membutuhkan spiritualitas yang merendah, bukan yang meninggi. Kita membutuhkan iman yang membuka, bukan menutup. Iman yang mencintai kemanusiaan sebagaimana ia mencintai Tuhannya.
Lalu, dalam renungan malam, saya bertanya kepada diri sendiri dan barangkali kepada kita semua: apakah benar kita lebih layak masuk surga hanya karena kita umat tertentu, atau justru pertanyaan itu sendiri yang harus kita tinggalkan, digantikan dengan kesadaran bahwa tidak satupun dari kita benar-benar tahu—dan justru dalam ketidaktahuan itulah keikhlasan menemukan bentuknya? Mungkin, surga sejati bukan tentang siapa masuk duluan. Tapi tentang siapa yang benar-benar mengerti makna dari tidak merasa layak.
Baca Juga: Benarkah Dunia Penjara bagi Orang Islam dan Surga bagi Orang Kafir?
Penulis: Fileski Walidha Tanjung, Seorang penulis kelahiran Madiun 1988. Aktif menulis esai, puisi, dan cerpen di berbagai media nasional.
Editor: Muh Sutan