ilustrasi overthingking
ilustrasi overthingking

Overthinking terdiri dari dua kata yang  berbeda “over” dan “thinking”. “Over”  bermakna “terlalu,  berlebih”,  sedangkan  “thinking” bermakna pikiran atau pemikiran. Terlalu banyak berpikir adalah  lingkaran  yang  tidak  produktif  dari  proses  berpikir.  Overthinking  bisa  dikatakan  sebagai kuantitas yang telalau banyak memproses beragam pikiran yang ada, namun hakikatnya tidak menjadi penting atau bukan merupakan kebutuhan.

Overthinking ini bisa termanifestasi pada beberapa konteks yang berbeda, misalnya seseorang menjadi overthinking terhadap masa depan, perilaku yang dilakukan terhadap orang lain, dan tentang pandangan orang lain terhadap dirinya. Pada muaranya, overthinking ini  terlahir  dari  tidak  adanya  kepastian  atau  validasi  terhadap  apa  yang  diproses  dalam  pikiran. Seringkali, overthinking yang tidak terkontrol dapat menyebabkan gejala kecemasan (Petric, 2018).

Seseorang mulai membentuk pola overthinking ketika sirkulasi pikirannya beruminasi atas apa yang terjadi di waktu lalu dan mengkhawatirkan sesuatu yang belum terjadi. Seringkali orang salah menafsirkan  bahwa  banyak  berpikir  dengan  adanya  refleksi  diri  atau  kemampuannya  dalam memecahkan  masalah.

Kedua  hal  tersebut  justru  bertujuan  untuk  mencari  solusi  dan  menggali perspektif baru dari apa yang mereka pikirkan. Sedangkan  overthinking sangat identik dengan tidak berkutik atas masalah  yang ada, dampaknya masalah yang ada akan dipandang semakin rumit tanpa ada penyelesaian.

Overthinking tidak akan membantu seseorang untuk mendapatkan pemahaman yang baru terhadap masalah yang mereka hadapi, justru overthinking akan mudah mengundang aspek negatif yang mendorong adanya perasaan “buruk atau bersalah” terhadap diri (Morin, 2020).

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Tanda Mengalami Overthinking

Beberapa tanda seseorang telah mengalami overthinking adalah sebagai berikut (Morin, 2020) :

  1. Merasa bersalah atau malu terhadap apa yang telah terjadi secara berulang
  2. Sering meragukan diri sendiri dengan bertanya pola “what if
  3. Sering tersesat dalam pikiran di masa lalu dan mencoba membayangkan masa depan
  4. Memiliki kesulitan untuk tidur dan mengontrol pikiran untuk berhenti
  5. Ketika merasakan emosi negatif, cenderung memikirkan secara berlebih masalah yang ada
  6. Mengulang pikiran tentang perkataan orang lain terhadap dirinya atau perkataan dirinya terhadap orang lain
  7. Mengkhawatirkan sesuatu yang tiada kontrol atas dirinya
  8. Merasa lelah dan sangat kesulitan untuk membuat keputusan.

Pada hakikatnya, manusia memiliki kecenderungan secara alami untuk mengalami “overthinking” karena manusia rentan terhadap bias negatif dan hal ini merupakan bagian dari naluri “survival instincts” sebagai cara bertahan hidup.

Menurut Smith (2020), overthinking perlu untuk dikhawatirkan atau dalam artian telah melewati batas normal ketika sudah menghalangi kemampuan diri manusia untuk berfungsi dan berdaya sebagaimana biasanya, misalnya overthinking yang telah memengaruhi pola tidur seseorang sehingga berdampak kurang baik pada hari berikutnya.

Dalam perspektif Islam, overthinking yaitu perasaan cemas, khawatir, takut, dan gelisah yang mengarah pada berburuk sangka. Karena pada saat overthinking, perasaan cemas pada kemungkinan-kemungkinan buruk yang belum tentu terjadi akan terus terbayang di otak manusia hingga menimbulkan perasaan berburuk sangka pada siapa pun dan apa pun.

Dalam Q.S. An-Nas : 4, Allah SWT. berfirman:

مِنۡ شَرِّ الۡوَسۡوَاسِ الۡخَـنَّاسِ

Dari kejahatan (bisikan) setan yang bersembunyi.”

Dijelaskan bahwa bisikan-bisikan setan bisa bersembunyi dimana saja termasuk pada hati manusia. Hal inilah yang menyebabkan hati kita dipenuhi dengan rasa was-was terhadap sesuatu yang belum tentu terjadi.

Dalam Q.S. Luqman : 34, Allah SWT. berfirman:

إِنَّ ٱللَّهَ عِندَهُۥ عِلْمُ ٱلسَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ ٱلْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِى ٱلْأَرْحَامِ ۖ وَمَا تَدْرِى نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًا ۖ وَمَا تَدْرِى نَفْسٌۢ بِأَىِّ أَرْضٍ تَمُوتُ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌۢ

Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dialah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Dijelaskan bahwa kita semua tidak ada yang tahu apa yang terjadi pada esok hari. Khawatir memang hal yang wajar bagi semua umat manusia. Tetapi, jika perasaan khawatir tersebut sudah melampaui batas atau sudah mengganggu psikis seseorang, maka itu bisa menimbulkan dosa (karena berprasangka). Alangkah lebih baiknya jika kita berpikir positif dan optimis untuk hal-hal yang kedepannya belum jelas. Kita harus yakin bahwa Allah SWT. sudah menetapkan yang terbaik untuk kita.

Cara Mengatasi Overthinking menurut Islam:

  1. Cognitive restructuring, yaitu mengubah pikiran-pikiran negatif kita menjadi positif dengan yakin bahwasanya Allah sudah merencanakan yang terbaik untuk kita kedepannya. Menyadari bahwa kita adalah makhluk yang tidak sempurna. Dan menyadari bahwasanya segala sesuatu sepenuhnya terjadi di tangan Allah SWT.
  2. Doa dan zikir. Sudah jelas bahwa doa dan zikir merupakan kekuatan kita sebagai umat muslim. Doa dan zikir dapat dijadikan sandaran kita Ketika kita merasa khawatir terhadap sesuatu. Doa dan zikir juga akan membuat hati kita aman dan tentram sesuai Q.S. Ar-Rad : 28:

الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَىِٕنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللّٰهِ ۗ اَلَا بِذِكْرِ اللّٰهِ تَطْمَىِٕنُّ الْقُلُوْبُ ۗ

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”

  1. Bersyukur dan berserah diri (tawakkal) pada Allah SWT. Bersyukur karena kita sudah melakukan yang terbaik pada diri kita. Dan bertawakkal pada ketetapan atau qada yang sudah Allah SWT. takdirkan nantinya.

Baca Juga: Mengatasi Quarter Life Crisis dan Overthinking


Ditulis oleh Firstya Rizky Audina dan Sonia Aqilah Indriani, Mahasiswi Program Studi Psikologi, Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka