sumber ilustrasi: pikiran-rakyat

Aku adalah gadis yang kini menginjak usia 20 tahun, panggil saja Albi. Sudah hampir 5 tahun kira-kira aku tidak pernah lagi melihat sosok itu. Dari usiaku 5 tahun, aku terus menerus melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Sesuatu yang selalu hadir di sudut mataku, membayangi setiap langkah dan momen hidupku. Sosok itu bukan sekadar bayangan atau imajinasi liar anak kecil, melainkan entitas yang nyata dalam dunia yang tak terlihat oleh manusia biasa.

Pada malam-malam yang sunyi, ketika rumah sudah tenggelam dalam kegelapan dan keheningan, dia sering muncul di pojok kamar, berdiri diam memandangku dengan mata yang hampa. Aku tak pernah tahu apa yang dia inginkan, namun kehadirannya selalu meninggalkan jejak ketakutan yang mendalam dalam hatiku. Hingga lima tahun lalu, dia menghilang begitu saja, seakan lelah dengan permainan petak umpetnya. Dan kini, hidupku terasa aneh tanpa keberadaannya.

Aku tak tahu makhluk apa sebenarnya yang selalu muncul di mataku. Ya, tidak selalu makhluk itu—ada banyak rupa makhluk yang pernah aku lihat sejak kecil. Ada yang menyerupai manusia dengan tatapan kosong, ada pula yang berbentuk seperti hewan tetapi dengan ukuran dan perilaku yang aneh. Mereka datang dan pergi sesuka hati, kadang hanya sekejap mata, kadang bertahan cukup lama untuk membuatku merasa tercekik oleh rasa takut.

Namun, ada satu sosok yang paling sering muncul. Dia tidak memiliki bentuk yang jelas, hanya bayangan gelap dengan mata merah menyala. Dia tidak pernah mendekat, tetapi keberadaannya selalu terasa paling menakutkan. Seolah-olah dia adalah raja dari semua makhluk yang pernah aku lihat.

*****

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Kisah ini bermula saat aku duduk di bangku taman kanak-kanak (TK). Suatu hari, setelah selesai mandi, aku berdiri di depan cermin untuk menyisir rambutku yang basah. Di saat itulah aku melihatnya untuk pertama kali. Sosok seperti anak kecil yang transparan muncul di belakangku. Dia membawa boneka kesayanganku, boneka yang selalu kubawa tidur setiap malam. Sosok itu berjalan di belakangku, terpantul oleh cermin. Seketika, aku membalikkan badan, namun tidak ada siapa-siapa di sana. Boneka itu masih tergeletak di tempat tidurku, seolah tidak pernah berpindah.

Aku terpaku, jantungku berdegup kencang. Tidak mungkin apa yang kulihat itu nyata, namun terlalu jelas untuk disebut sebagai imajinasi. Sejak saat itu, pengalaman serupa terus berulang, dengan makhluk-makhluk yang berbeda namun selalu meninggalkan jejak ketakutan yang sama. Dan boneka kesayanganku, sejak hari itu, seakan menyimpan cerita lain yang tak pernah bisa kuceritakan pada siapa pun.

Suatu hari, ketika aku duduk di ruang tamu sambil menggenggam boneka itu erat-erat, kakekku memperhatikan wajahku yang tampak bingung dan ketakutan.

“Albi, kenapa wajahmu begitu pucat? Apa yang terjadi?” tanyanya dengan suara lembut, penuh perhatian.

Aku mengangkat kepala dan menatap kakekku, ragu-ragu untuk menceritakan apa yang baru saja kulihat. Namun, kehangatan dalam tatapannya membuatku merasa aman untuk berbicara.

“Kek, barusan aku melihat tuyul di cermin,” kataku dengan suara gemetar. “Dia membawa boneka ini dan berjalan di belakangku. Tapi ketika aku berbalik, boneka itu jatuh dan tuyulnya menghilang.”

Kakek mengernyitkan alisnya, tapi bukan karena tidak percaya. Dia mengambil napas dalam-dalam, lalu mengangguk pelan.

“Kadang-kadang, ada hal-hal yang tidak bisa kita pahami, Albi,” katanya pelan. “Makhluk-makhluk itu mungkin ada di sekitar kita, tapi jangan biarkan rasa takut menguasai dirimu. Boneka itu tetap milikmu, dan tidak ada yang bisa mengambilnya darimu tanpa izinmu.”

Aku menggenggam boneka itu lebih erat, merasakan sedikit kenyamanan dari kata-kata kakek. Meskipun masih takut, setidaknya aku tahu bahwa aku tidak sendirian dalam menghadapi ketakutan ini.

Hari-hari berlalu, dan setahun kemudian keluargaku pindah rumah. Di rumah baru itu, kejadian aneh kembali muncul. Malam itu dingin, dan aku terlelap di tempat tidurku yang baru. Namun, aku terbangun karena merasa ada sesuatu yang kurang dalam tidurku. Aku membuka mata sedikit, dan melihat ada sepotong tangan yang sedang menemani tidurku.

Aku merasa lega, mengira itu tangan ibuku. Dengan mata masih setengah tertutup dan lampu kamar mati, aku bergumam, “Ibu, kau di sini?” Tak ada jawaban, hanya keheningan yang semakin mencekam. Aku pun duduk untuk memastikan, dan di situlah aku melihatnya—dua tangan tanpa tubuh, sangat pucat, tergeletak di sampingku.

Jantungku berdegup kencang, rasa takut menjalar ke seluruh tubuh. Aku menjerit dan berlari terbirit-birit keluar kamar, teriakan mengagetkan ayah dan ibuku yang sedang tidur.

“Apa yang terjadi, Albi?” Ayah bertanya panik.

“Ada… ada tangan tanpa tubuh di tempat tidurku!” aku menangis ketakutan.

Ibu segera memelukku, mencoba menenangkanku. Ayah pergi memeriksa kamar, tapi tidak menemukan apa-apa. Hanya kegelapan dan keheningan yang menjawab.

Satu minggu berlalu sejak kejadian itu, dan sore itu menjelang Maghrib, lampu rumahku padam. Pintu depan belum tertutup, dan angin berhembus, membawa suara ngaji dari toa musholla yang terdengar sayup-sayup. Sepeda motor ayahku sudah ada di ruang tamu, dan ibu ingin menutup pintu karena sudah petang. Namun, tiba-tiba ia berlari kembali ke dalam rumah dengan wajah ketakutan.

“Ada apa, Bu?” tanyaku.

“Ibu tidak berani menutup pintunya, Albi,” jawabnya dengan suara gemetar.

Aku merasa terdorong untuk melindungi ibu. “Sini, aku saja yang nutup. Ibu lihat dari sini saja, ya.”

Dengan langkah mantap, aku berjalan menuju pintu dan menutupnya. Setelah menutup pintu, aku hendak kembali ke ruang keluarga, namun sesuatu membuatku berbalik melihat sepeda ayahku. Dan benar saja, ada sosok kuntilanak yang tengah duduk di sepeda, melihatku lalu melambai dan tersenyum.

Aku terkejut, namun perasaan itu tidak terlalu mencekam. Aku sudah terbiasa dengan hal-hal seperti ini. Aku menatapnya beberapa detik, mencoba menenangkan diri, kemudian berjalan kembali ke ruang keluarga seolah tidak terjadi apa-apa. Kejadian-kejadian ini memang sudah menjadi bagian dari hidupku, meski selalu membawa ketakutan, aku belajar untuk menghadapinya dengan tenang.

Masih ada banyak sebenarnya kejadian seperti itu selama 15 tahun hidupku, namun yang paling aku ingat adalah sosok hitam berambut lebat seluruh tubuh yang dari kecil mengikutiku bahkan sampai ikut sekolah di MI dulu.

*******

Pagi itu aku berangkat sekolah naik sepeda, tidak seperti biasanya sepeda yang ku kayuh sangat berat, kemudian aku menoleh kebelakang dan ada sosok hitam yang duduk dibelakangku, 2 kali aku lihat sosok itu hilang dalam hati bergumam ya Allah lindungilah aku, aku nggak ada niat ganggu mereka jadi tolong ya Allah jauhkan aku dari makhluk tak kasat mata seperti mereka.

Sampai di sekolah apel pun tiba, aku mengheningkan cipta dan setelah itu aku mengusap wajahku kemudian melihat sekeliling, dan yang benar saja makhluk hitam kecil itu berjalan-jalan disalah satu di kelas membuatku bingung dan takut.

Menginjak bangku MTs, aku sudah mulai terbiasa mengendalikan emosiku saat bertemu makhluk seperti itu, mulai dari mereka yang menirukan suara tertawaku, melintas di depanku, berdiri di pojok kelas dan sebagainya. Aku hanya bisa bedoa semoga semua baik-baik saja.

Sampai aku di MA, ada sosok baru yang menurutku itu menakutkan sekali, dan membuatku sangat tidak nyaman jika ada makhluk itu, caraku biasanya menutup mata dan berdoa agar semua bayangan hilang dari pandanganku, dan itu selalu kulakukan saat makhluk apapun datang, pagi hari di rumah sat liburan, aku melihat sosok hitam berambut lebat yang dulu kecil sekarang besar, berdiri di sampingku dan hanya terdiam, aku pun terdiam sambil berdoa pastinya, dan mulai saat itu aku sudah sangat terbiasa saat bertatapan langsung dengan makhluk seperti mereka, aku ingat dulu ibu ku pernah bilang.

“Gak usah wedi angger koe ora ganggu, dekne yo ra bakal ganggu.” itu yang sampai sekarang aku anut.

Semua ada hikmanya, aku yang dulu tidak bisa mengendalikan emosi saat bertemu makhluk seperti itu, sekarang lebih bisa, dan aku percaya bahwa kita hidup berdampingan dengan makhluk tak kasat mata.

Penulis: Albii (Mahasiswa KPI Unhasy)