ilustrasi: pelajar

Oleh: Uzair Assyaakir

Selalu ada pembicaraan menarik yang terjadi di kedai kopi. Seperti saat satu pekan yang lalu, ditemani panas kopi dan gorengan sebagai pendampingnya, saya bersama sahabat terlibat satu diskusi menarik tentang optimis. KBBI memaparkan bahwa optimis adalah orang yang selalu berpengharapan (berpandangan) baik dalam menghadapi segala hal. Jika hanya berangkat dari definisi itu, optimis seolah menjadi hal baik yang wajib dibawa dalam menghadapi segala hal. Benarkah demikian?

Memiliki pikiran optimistik nyatanya tak selalu bernasib baik. Kenyataan bahwa “sing mumet gak mok sampean tok” alias setiap manusia memiliki permasalahannya sendiri-sendiri, membuat seseorang yang tadinya berpikiran optimistik berubah menjadi seorang pemurung saat dunia tidak berjalan seperti yang ia harapkan.

Sebelum pembahasan tentang optimis itu mengalir lebih dalam, saya membetulkan posisi duduk sambil menyesap kopi hitam yang panasnya mulai memudar.

Misalnya saat kita masih SMP, optimistik itu berbunyi “saat SMA nanti, aku akan berpacaran dan hidup senang selayaknya sinetron Anak Jalanan di RCTI,” dan saat beranjak menuju SMA, optimistik itu lenyap kala pada kenyataannya, kita digempur tugas yang tak habis-habis dan tak sempat menebar kasih pada lawan jenis.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Atau saat SMA, pikiran “setelah ini, aku akan senang pergi ke kampus dengan pakaian yang bagus, dan akan kuucapkan selamat tinggal pada uang SPP” bisa saja berubah menjadi sambatan-sambatan macam “UKT kok segini mahalnya!”

Lalu saat sudah menyandang gelar sarjana, rencana untuk bekerja di tempat A; fokus upgrade value; atau keinginan berguna di masyarakat, bisa-bisa menguap layaknya air yang dijerang saat hendak menyeduh kopi. Hilang tak berbekas. Optimistik berubah menjadi pesimistis karena hidup yang serba realistis.

Kita kemudian merasa sia-sia dan tidak memiliki motivasi. Hilang arah. Bahkan pada satu kasus, optimistik memiliki kekuatan besar untuk menarik seseorang pada percobaan bunuh diri. Itu sangat mungkin terjadi karena kita yang tidak siap kecewa pada kenyataan-kenyataan buruk dalam hidup.

Dalam buku Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya, Dea Anugrah memaparkan solusi secara tidak langsung akan ke optimistikan semacam itu. Ketika keputusasaan menggerogoti isi kepala dan kita sedang berada di tepi jurang, ingat-ingatlah keindahan-keindahan kecil yang telah diberikan oleh hidup kepadamu.

Ingatan tentang awal mula kau jatuh cinta; kata yang pertama diucapkan oleh anakmu saat berumur dua tahun; kenangan bermain bola sepak saat madrasah, dan sadarilah bahwa di sekitarmu, masih ada orang yang benar-benar memperdulikanmu.

“Aku juga begitu. Tak baik terlalu muluk-muluk memandang ke depan. Aku tahu itu sebab aku sudah pernah mengalami. Aku yang dulu penuh optimis, pagi hingga ke petang giat belajar untuk jadi insinyur hebat saja pada akhirnya malah terbuang dan bekerja di sini bersama kalian.” ujar satu temanku.

Lantas jika tidak bermodalkan optimistik, apa kiranya yang menjadi penawar atas segala ketidakterwujudan berbagai impian?

“Aku cuma mikir, sehari bisa makan tiga kali, tidur di kasur yang empuk, bisa mengobrol bersama kalian, dan lebih peka terhadap momen-momen kecil yang menyenangkan, nyatanya sudah membuatku senang dan tak jadi pemurung.”

Optimistik memang baik. Kendati terlalu berfokus dan mengharap secara berlebihan tentang hidup ke depan yang mulus layaknya jalan tol, bukanlah sesuatu yang benar. Yang lebih penting dari optimis adalah kesadaran akan kebaikan-kebaikan kecil yang mengetuk pintu kehidupan. Kehangatan-kehangatan yang tak kita sadari akibat ambisi tuk mengejar apa yang belum pasti.

Kami kemudian mengakhiri sesi ngopi pada hari itu. Hendak menuju kasir untuk membayar atas apa yang saya pesan, kasir itu mengatakan kalau mbak-mbak yang di seberang meja sudah menraktir saya. Wah, satu lagi hal kecil yang patut saya syukuri.

Yang tadinya saya murung karena satu mimpi yang tak kunjung terwujud, baru saja hadir kesadaran kecil untuk berterima kasih kepada hidup. Membuahkan satu senyum dan ingatan baik, yang menurut saya layak untuk dijadikan modal dalam hidup yang serba tak pasti.